Pagelaran hari keempat Festival Sastra Kota Malang (Minggu, 22/10/2023) berlangsung dengan meriah. Rangkaian kegiatan yang ada di final day festival sastra salah satunya adalah temu penerbit. Jika bertemu dengan kata penerbit, banyak yang akan langsung tertuju kepada penerbit-penerbit mayor seperti Gramedia dan Elex Media Komputindo. Pada kegiatan temu penerbit tersebut, yang hadir bukan dari nama-nama penerbit mayor melainkan dihadiri oleh penerbit-penerbit indie yang ada di Kota Malang.
Sebelum mengenal lebih dalam terkait penerbit indie, perlu diketahui perbedaan penerbit indie dan self publishing. Self Publishing menerbitkan naskah-naskah garapan sendiri tanpa bantuan penerbit, sedangkan penerbit indie adalah penerbit mandiri yang menyediakan jasa untuk menerbitkan naskah orang lain dan tidak selalu mengikuti tren industri pasar buku.
Penerbit indie kini menjadi alternatif bagi penulis yang ingin menerbitkan karyanya. Pada pagelaran Festival Sastra Kota Malang ini, terdapat tiga penerbit indie yang diboyong ke kursi narasumber.
Temu penerbit pada siang yang terik dan panas mengangkat tema “Semangat Indie dalam Mengupayakan Buku”. Pada perjumpaan itu, panitia mengajak Penerbit Edisi Mori, Footnote Press, dan Penerbit Pelangi Sastra untuk membagikan kisah di balik terbentuknya penerbit dan segala perjalanan mereka dalam bertumbuh menerbitkan buku.
RH. Authonul Muther, pemilik penerbit Edisi Mori, menjadi orang pertama yang membagikan kisahnya. Penerbit Edisi Mori adalah penerbit yang lahir dari bantuan Denny Mizhar (Pelangi Sastra) dan M. Dandy (Footnote Press). Penerbit yang masih berumur satu tahun ini mendapatkan informasi percetakan dari Denny dan Dandy. Penerbit Edisi Mori fokus menerbitkan naskah-naskah filsafat, sosial humaniora, dan non-fiksi terjemahan. RH. Authonul Muther mengatakan pada tahun-tahun selanjutnya, Edisi Mori juga akan melebarkan sayapnya untuk menerbitkan karya-karya fiksi.
M. Dandy juga membagikan kisahnya membangun dan mengelola penerbit Footnote Press. Ia menceritakan bahwa ide awal lahirnya Footnote Press berasal dari keresahannya secara pribadi ketika membaca salah satu buku ilmiah populer yang kurang nyaman. Beberapa buku bahkan menggunakan footnote secara berantakan. Maka dari itu, Footnote Press ingin menjadi penerbit yang menerbitkan naskah ilmiah populer yang nyaman dibaca.
Footnote Press menerbitkan karya-karya berbasis riset di bidang humaniora, sosial-politik, dan pendidikan. Karya-karya tersebut kemudian diolah menjadi buku ilmiah populer dan fiksi.
Berbeda dengan dua penerbit indie sebelumnya, penerbit pelangi sastra berawal dari sebuah komunitas sastra yang masih aktif hingga saat ini, yakni komunitas Pelangi Sastra. Pelangi Sastra mulai merambah ke dunia penerbit setelah 4 tahun komunitas tersebut berdiri.
Denny mengaku bahwa penerbit Pelangi Sastra bermula hanya karena iseng belaka. Sebagai penerbit yang paling tua di antara dua penerbit lainnya, Denny menyebutkan bahwa dalam merintis Penerbit Pelangi Sastra, ia banyak dibantu oleh teman-temannya dari penerbit indie di Jogjakarta.
Dalam kerja penerbitan, ketiga penerbit ini seringkali saling bekerja sama. Pelangi Sastra misalnya saat menerbitkan sebuah karya sering melibatkan orang-orang dekatnya, termasuk Dandy. Begitu pula sebaliknya.
Penerbit indie memiliki strategi pemasaran tersendiri untuk mengenalkan buku-bukunya ke khalayak pembaca. Mereka menyambung mata rantai ekosistem perbukuan lewat jaringan reseller, promosi media sosial, dan diskusi buku. Melalui penerbit-penerbit indie seperti Edisi Mori, Footnote Press, dan Pelangi Sastra wacana-wacana keilmuan alternatif berkembang. Dengann demikian para pembaca akan memiliki banyak pilihan di luar tren pasar perbukuan yang ada.