Tahukah Anda bahwa Abdoel Moeis adalah orang Indonesia pertama yang diangkat sebagai kierk (juru tulis) di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Hindia Belanda, sebuah posisi yang saat itu belum pernah dipegang oleh pribumi? Hal ini menunjukkan betapa cemerlangnya kemampuan berbahasa Belanda yang dimiliki oleh Abdoel Moeis, hingga melebihi rata-rata orang Belanda pada zamannya.

Abdoel Moeis, yang juga dikenal sebagai Abdul Muis, lahir di Sungai Pua, Agam, Sumatera Barat, pada 3 Juli 1883. Ia adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan yang menjadi salah satu tokoh utama dalam pergerakan anti-kolonial pada awal abad ke-20. Sosok ini tidak hanya dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang gigih, tetapi juga sebagai penulis yang menghasilkan beberapa karya sastra penting dalam sejarah sastra Indonesia.

etelah menyelesaikan pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), Abdoel Moeis diangkat oleh Mr. Abendanon, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Hindia Belanda, sebagai seorang kierk. Namun, meskipun prestasi ini sangat membanggakan, Abdoel Moeis tidak merasa nyaman bekerja di bawah tekanan para pegawai Belanda yang tidak suka melihat pribumi memegang posisi penting. Akibatnya, ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya pada tahun 1905 setelah bekerja selama dua setengah tahun.

Pada tahun yang sama, Abdoel Moeis diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang fokus pada berita politik di Bandung. Namun, setelah majalah ini dilarang terbit pada tahun 1907, Abdoel Moeis bekerja di Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung selama lima tahun, hingga akhirnya ia diberhentikan karena perselisihan dengan seorang controleur Belanda pada tahun 1912. Selanjutnya, ia bekerja di surat kabar Belanda, De Prianger Bode, sebagai korektor, dan dalam waktu tiga bulan, ia diangkat menjadi korektor kepala berkat kemampuan berbahasa Belandanya yang luar biasa.

Selain aktif di dunia pers, Abdoel Moeis juga terlibat dalam pergerakan politik melawan penjajahan. Ia dikenal sebagai tokoh penting dalam Serikat Islam, organisasi yang memimpin gerakan anti-kolonial di Indonesia. Bersama H.O.S. Cokroaminoto, ia memimpin Serikat Islam dan pada tahun 1917 ia dikirim ke Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar, sebuah komite yang mendukung upaya perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1918 tidak menghentikan semangatnya dalam berjuang. Ia menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan) dan terus menyuarakan penderitaan rakyat Indonesia serta menuntut perubahan. Salah satu aksi penting yang dipimpinnya adalah protes terhadap landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang rencananya akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatera Barat. Berkat perjuangannya, aturan tersebut akhirnya tidak jadi diterapkan.

Abdoel Moeis juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang karyanya tetap dikenang hingga saat ini. Meskipun ia tidak terlalu produktif menulis, karya-karyanya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sastra Indonesia. Salah satu karya paling terkenalnya adalah novel Salah Asuhan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928. Novel ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia karena mengangkat tema-tema baru seperti konflik pribadi, dendam, cinta, dan cita-cita, yang berbeda dari tema-tema lama yang biasanya berkisar pada pertentangan antara kaum tua dan kaum muda serta kawin paksa.

Selain Salah Asuhan, Abdoel Moeis juga menulis beberapa novel dan karya terjemahan lainnya, seperti Surapati (1965), Robert Anak Surapati (1953), dan Pertemuan Djodoh (1961). Ia juga menerjemahkan karya-karya sastra Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti Tom Sawyer Anak Amerika (1928) karya Mark Twain dan Sebatang Kara (1949) karya Hector Malot. Melalui karya-karyanya, Abdoel Moeis tidak hanya mengkritik feodalisme dan adat yang tidak lagi sesuai dengan zaman, tetapi juga mengingatkan bahwa tidak semua budaya Barat dapat diterapkan begitu saja di Indonesia.

Abdoel Moeis meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun dan dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan dua orang istri dan 13 orang anak. Meskipun telah tiada, warisan perjuangan dan karya-karyanya tetap hidup dan terus dikenang sebagai bagian penting dari sejarah Indonesia.

Sebagai seorang pejuang, sastrawan, dan wartawan, Abdoel Moeis memberikan kontribusi besar bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia serta perkembangan sastra Indonesia. Karya-karyanya, seperti Salah Asuhan dan Surapati, menjadi bukti nyata dari dedikasinya dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi rakyat Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, Abdoel Moeis berhasil membuka mata masyarakat Indonesia akan ketidakadilan yang mereka alami dan memotivasi mereka untuk terus berjuang melawan penjajahan.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here