
“Saya mendapatkan inspirasi dari kehidupan. Ketika sesuatu menyinggung saya atau membuat saya marah, saya mendapatkan inspirasi untuk melawan. Menulis buat saya adalah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi pejuang.”
Semasa kuliah, saya mendapatkan tugas untuk menulis buku nonfiksi yang bisa digunakan untuk menunjang pembelajaran, khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia. Kemudian, saya dan rekan sekelompok terinspirasi untuk menulis tentang sastrawan yang karya-karyanya menceritakan tentang sejarah Indonesia, yang mungkin tidak diceritakan saat mapel sejarah. Tujuannya, ya, selain mengenalkan tokoh sastrawan dan karyanya adalah untuk menginspirasi siswa agar berani menyuarakan pemikirannya melalui tulisan.
Dari tugas tersebut, saya mulai membaca referensi tentang sosok sastrawan Indonesia yang karyanya menjadi momok bagi bangsanya sendiri tapi justru berkilau di mata internasional, Pramoedya Ananta Toer. Sebelumnya, saya hanya membaca karya-karya Pramoedya tanpa menyelisik bagaimana latar belakangnya, dari mana inspirasinya berasal, atau apa yang membutanya aktif menulis padahal pemerintah kala itu terus memberedel karyanya. Lalu, bertemulah saya dengan buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! yang mana di dalamnya berisi perbincangan Pramoedya dengan André Vltchek dan Rossie Indira, sepenggal percakapan itu ada di kalimat pembuka dalam tulisan ini.
Memang benar, melalui karya-karyanya Pramoedya berusaha mengungkap persoalan martabat manusia dan mengajak untuk melawan ketidakadilan. Akibat dari gagasan tersebut, banyak karyanya yang dimusnahkan oleh pemerintah Orde Baru dan dilarang terbit. Tapi, semangat Pramoedya untuk menulis tidak pernah padam. Saat dalam masa tahanan di Pulau Buru misalnya, Pramoedya tetap produktif menulis, dibantu oleh umat gereja di sekitarnya. Tubuhnya boleh terkurung, tapi pemikirannya tetap menjadi pisau paling tajam yang mencabik-cabik penindasan. Melalui tulisannya, Pramoedya mampu membangkitkan semangat orang-orang untuk melawan penindasan.
Dari karya-karya yang ditulisnya, Pramoedya berhasil menyabet beberapa penghargaan, seperti Penghargaan Balai Pustaka (1951), Hadiah Magsaysay dari filipina (1995), PEN International (1998), Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) Jepang (2000), dan Norwegian Authors’ Union Award (2004). Pada tahun 1999, Pram mendapatkan gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan.
Salah satu karya Pramoedya yang dimusnahkan pemerintah kala itu adalah dua naskah lanjutan novel Gadis Pantai. Naskah tersebut dibakar bersama dengan karya lain, seperti tiga buku Serial Kartini, satu kumpulan tulisan asli Kartini yang tersebar di majalah-majalah di Belanda, dan sebuah buku sejarah bahasa Indonesia. Untungnya, naskah pertama Gadis Pantai bisa diselamatkan dan diterbitkan pertama kali pada tahun 2003 oleh Lentera Dipantara. Sebelumnya, pada tahun 1962-1965 cerita ini terbit dalam bentuk cerita bersambung. Gadis Pantai telah diterjemahkan ke dalam sepuluh bahasa asing, seperti bahasa Rusia, Malaysia, Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, Amerika, Portugal, Yunani, dan Polandia.
Novel Gadis Pantai menceritakan tentang gadis berusia empat belas tahun yang mengalami ketidakadilan di hidupnya. Gadis Pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampung nelayan di keresidenan Jepara Rembang. Seorang gadis yang manis, sehingga ia menjadi bunga kampung nelayan. Ia cukup manis untuk memikat hati seorang Bendoro; seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Mulanya, kehidupan Gadis Pantai baik-baik saja. Ia tidak pernah merasa miskin dalam empat belas tahun ini. Hingga suatu hari perutusan seseorang datang ke rumah orang tua Gadis Pantai. Beberapa hari setelahnya, ia dibawa ke kota, ke kediaman Bendoro sampai akhirnya kehidupannya berubah drastis.
Seperti yang dikatakan Pramoedya sebelumnya, bahwa sumber inspirasinya untuk menulis berasal dari kehidupan. Apabila berbicara mengenai novel Gadis Pantai, saya tertarik untuk menggali cerita dibalik lahirnya karya yang luar biasa tersebut. Kehidupan seperti apakah yang menjadi inspirasi Pramoedya untuk menulis Gadis Pantai?
Latar Belakang Sosial Budaya Pramoedya
Peristiwa yang terjadi di kehidupan nyata sering kali memberi ide bagi pengarang untuk menceritakan kembali dalam karyanya sesuai dengan keyakinannya. Hal itu dikarenakan pengarang bukan sekedar orang yang menciptakan karya sastra, tetapi juga menjadi bagian dari makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh segala hal yang ada di masyarakat. Pengarang sebagai makhluk sosial tentunya akan memahami dan menghayati kondisi di sekitarnya. Jadi, struktur masyarakat serta situasi sosial budaya yang melingkupinya, yang mana adalah tempat pengarang dibesarkan, tinggal, dan berkarya bisa mempengaruhi proses kreatif penciptaan karyanya.
Kembali lagi tentang kehidupan yang menjadi inspirasi Pramoedya menulis Gadis Pantai, jika dikaitkan dengan latar belakangnya Pram adalah keturunan Jawa. Ya, seperti yang sebagian orang tahu, Pramoedya dilahirkan dan tumbuh di lingkungan masyarakat budaya Jawa. Pramoedya lahir di Blora, 6 Februari 1925.
Ia merupakan putra sulung dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Mastoer, ayah Pramoedya, terlahir dari pasangan Iman Badjoeri dan Sabariyah yang notaben keluarga yang agamis. Sedangkan ibunya, Oemi Saidah atau Siti Kadarijah terlahir dari pasangan Haji Ibrahim dengan selir Satimah. Setelah melahirkan ibu Pram, Satimah diceraikan dan diusir dari kediaman Haji Ibrahim. Jika dilihat dari latar belakang kehidupannya, Pramoedya termasuk dalam golongan priayi. Ayahnya berasal dari golongan priayi atas dan ibunya berasal dari golongan santri.
Latar belakang keluarga Pram, khususnya kisah kehidupan Satimah, neneknya, memberikan pengaruh besar pada karyanya yang berjudul Gadis Pantai. Dalam novel ini, tampak bagaimana Pramoedya memahami dan menghayati struktur masyarakat serta situasi yang melingkupinya, yang kemudian memengaruhi proses kreatifnya. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui catatan Pramoedya yang dikumpulkan oleh Teeuw serta perbincangan Pramoedya dengan André Vltchek dan Rossie Indira, seperti berikut. Nenek itu, Ibu Satimah ‘wanita yang tak kukenal namanya’, adalah ibu kandung ibunya, yang diambil selir oleh kakeknya, Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anak (yakni ibu Pramoedya), Satimah dienyahkan dari ‘gedung’ tuannya. “Ceritanya berlanjut dengan hubungan antara nenek dan ibu saya, juga termasuk kesaksian saya sendiri.”
Novel Gadis Pantai menggambarkan bagaimana para tokoh yang tinggal di lingkungan masyarakat budaya Jawa menghayati dirinya sebagai makhluk sosial yang terikat dengan klasifikasi kelas sosial. Struktur masyarakat Jawa pada masa itu menunjukkan ciri feodal dengan klasifikasi sosialnya. Masyarakat Jawa terbagi atas tiga golongan yaitu priayi, santri, dan abangan (orang rendahan). Pembedaan golongan tersebut didasari oleh kekuasaan, hak istimewa, dan atau prestise di lingkungan masyarakatnya. Dalam novel Gadis Pantai, terdapat dua lapisan sosial masyarakat yaitu golongan priayi yang diwakili oleh Bendoro dan orang kebanyakan (orang rendahan) yang diwakili oleh Gadis Pantai. Gadis Pantai digambarkan sebagai perempuan Jawa dari keluarga nelayan miskin yang dinikahkan secara paksa dengan Bendoro, seorang pembesar santri setempat yang bekerja pada Belanda.
Selain budaya masyarakat Jawa yang diekspresikan melalui kehidupan priayi dan wong cilik, novel ini juga menggambarkan latar kehidupan masyarakat pesisir pantai di Keresidenan Jepara Rembang, yang mana Rembang adalah kampung halaman nenek Pram. Pramoedya dapat menggambarkan secara detail bagaimana pemandangan dan aktivitas penduduk kampung nelayan. Perjalanan hidup Pramoedya juga tidak bisa dipisahkan dari masa kolonial, sebab sejak kecil ia sudah mengalami masa pemerintahan kolonial, baik masa kolonial Belanda maupun Jepang. Oleh karena itu, dalam novel Gadis Pantai ditemukan sepucuk tembang sebagai wujud penghayatan Pramoedya atas pengalaman hidupnya selama masa kolonial.
Perlawanan Terhadap Praktik Jawanisme
Melalui cerita Gadis Pantai, Pramoedya memandang masalah sosial budaya di Indonesia, khususnya budaya Jawa sebagai keadaan yang menyebabkan penderitaan bagi wong cilik. Pram sendiri seperti yang diketahui dari latar belakangnya, sejak kecil ia dididik dalam keluarga yang beraliran nasionalisme kiri, “Saya dibesarkan dalam keluarga yang beraliran nasionalis kiri, yang tentu saja tidak setuju dengan sistem kolonial. Saya dididik dalam suasana ini. Apa yang kami impikan adalah sebuah negara merdeka yang demokratis. Itulah yang diajarkan kepada saya sejak kanak-kanak. Pandangan-pandangan saya selalu cenderung beraliran kiri, yang berarti saya tidak mengekor pada kekuasaan, tetapi pada rakyat.”
“Namun demikian dia mengatakan bahwa realisme sosialis masih merupakan bentuk karya sastra yang paling dekat di hatinya, dan bahwa sistem sosial yang paling adil dan paling berperikemanusiaan di dunia ini dapat dilihat pada masyarakat sekuler di Eropa sekarang ini, bukan di Asia ataupun di Amerika serikat.”
Dalam novel Gadis Pantai, Pramoedya jelas ingin menyuarakan gagasannya dengan menentang Jawanisme. Menurutnya, Jawanisme sendiri mengakibatkan setiap orang harus patuh dan setia kepada atasan. Atau secara tidak langsung Jawanisme menjadi suatu aturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa perintah atasan harus dipatuhi. Pram mengkritik para priayi yang seolah-olah memiliki kekuasaan mutlak atas kehidupan wong cilik. Di dalam “gedung”nya, priayi bebas memerintah apapun tanpa ada yang berani menentang perintahnya. Kehidupan Gadis Pantai pun hanya dipenuhi oleh pengabdian dan perintah.
Selain ketaatan terhadap perintah atasan, novel Gadis Pantai juga merepresentasikan permasalahan sosial budaya dalam masyarakat Jawa mengenai sistem kawin paksa. Dalam novel ini, Pramoedya menentang keras sistem tersebut. Pram memandang sistem tersebut sebagai keadaan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang bawahan, khususnya pada perempuan Jawa yang digambarkan melalui Gadis Pantai. Hak-hak kebebasan yang seharusnya dimiliki oleh Gadis Pantai sebagai seorang ibu telah dirampas Bendoro. Ia dipisahkan dengan putrinya secara paksa. Posisi Gadis Pantai yang dipandang sangat rendah menyebabkan dirinya tidak dapat melawan kekuasaan Bendoro.
Secara keseluruhan novel Gadis Pantai menggambarkan gagasan, aspirasi, dan perasaan Pramoedya yang cenderung memihak pada masyarakat yang tertindas. Pram menyuarakan pandangannya terkait orang Jawa yang selalu bekerja dan patuh, tanpa memahami apakah dirinya diperas dan siapa yang memerasnya. Novel ini merupakan bentuk penghayatan dan kritikan terhadap kebudayaan dan mentalitas kehidupan priayi. Berdasarkan hal tersebut, maka latar belakang serta ideologi yang tertanam dalam diri Pram memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap novel Gadis Pantai. Seperti yang Pramoedya katakana bahwa inspirasi untuk menulis berasal dari kehidupan. Ideologinya menyebabkan Pram selalu melawan ketidakadilan yang menindas rakyat kecil.
Penutup
Novel Gadis Pantai berhasil merefleksikan kehidupan masyarakat Jawa yang dikemas dalam bentuk konkret. Pramoedya Ananta Toer yang mempunyai latar belakang masyarakat budaya Jawa merepresentasikan hal tersebut melalui kehidupan para tokoh yang tidak dapat dipisahkan dari masalah stratifikasi sosial masyarakat Jawa. Selain itu, Pramoedya juga mengekspresikan pengalamannya selama masa penjajahan dengan gaya yang puitis melalui tembang-tembang. Novel ini menjadi bentuk perlawanan Pramoedya terhadap praktik Jawanisme yang dikemas dengan gaya yang lembut. Pramoedya memandang masalah sosial budaya masyarakat Jawa sebagai keadaan yang menyebabkan penderitaan bagi wong cilik.
Daftar Bacaan:
Teeuw, A. (1997). Citra manusia Indonesia dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Pustaka Jaya
Toer, P. A. (2021). Gadis Pantai. Lentera Dipantara
Vltchek, A., & Rossie, I. (2006). Saya terbakar amarah sendirian!. Kepustakaan Populer Gramedia
[…] itu), masih ada deretan panjang nama-nama yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan endrin di Pulau Buru ini. “Entah berapa di antara kami yang kehilangan keluarganya, bahkan dirinya sendiri sebagai […]