Nyai Ontosoroh Simbol Perlawanan Perempuan Jawa dalam Karya Pramoedya Ananta Toer (sumber foto: Falcon Pictures)
Nyai Ontosoroh Simbol Perlawanan Perempuan Jawa dalam Karya Pramoedya Ananta Toer (sumber foto: Falcon Pictures)

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Barangkali kutipan dari Pramoedya Ananta Toer ini banyak dikenal khalayak. Tak terkecuali saya, sangat mengagumi ucapan Pram itu, dan bahkan menjadikannya layaknya kompas dalam sebuah perjalanan hidup. Ya, perjumpaan saya dengan karya-karya Pram boleh jadi terlambat. Kala itu, saya masih duduk di bangku perkuliahan. Terlibat dalam kegiatan pers mahasiswa membawa saya pada ide-ide, diskusi dan pengetahuan baru. Termasuk dalam membaca buku. Di bangku perkuliahan, kegemaran membaca buku sudah terbentuk. Terlebih membaca karya sastra saya jadikan sebagai kebutuhan untuk menunjang keilmuan yang sedang digeluti, yakni antropologi.

Suatu kali sebuah kegiatan diklat, sang pemateri berujar “jika kalian mau tahu bagaimana kisah hidup RM. Tirto Adhi Soerjo (tokoh pers nasional), cobalah baca-baca bukunya Pram”. Kurang lebih itu yang saya ingat. Dan benar saja, rasa ingin tahu saya didorong oleh dua hal: bagaimana kisah hidup Tirto yang diceritakan? Serta bagaimana membaca buku Pram. Buku yang katanya ditulis oleh tahanan politik, dan ada satu masa di mana mahasiswa atau orang yang membaca karyanya juga digelandang ke penjara? Sejujurnya, pengetahuan sosial-politik saya minim. Saya hanya ingin memperluas cakrawala dunia saya melalui sastra. 

Dan benar saja, saya langsung terpana dengan karya-karya Pramoedya. Antara lain pada karya Tetralogi Pulau Buru. Satu hal yang semakin membuat saya berdecak kagum, lantaran satu tokoh karakter kuat seorang perempuan bernama Nyai Ontosoroh. Karakter Nyai Ontosoroh hadir dalam novel Bumi Manusia, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru. Nyai Ontosoroh pun menjadi salah satu karakter ikonis dalam dunia sastra Indonesia. Saya sebagai pembaca, sulit untuk tidak terkesima oleh karakter perempuan tangguh ini. Meskipun karakter fiksi, karakter yang ditulis oleh Pram ini rupanya menunjukkan simbol perlawanan terhadap sistem patriarki dan kolonialisme yang menindas. Seperti apakah karakter Nyai Ontosoroh dan bagaimana Pramoedya menunjukkan sisi perlawanan perempuan Jawa?

Nyai Ontosoroh dalam Karya Pramoedya Ananta Toer

Dalam sebuah hasil penelitian mengenai produktivitas karya Pram, ia telah menulis 70 judul buku. Adapun 24 judul buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Apabila ditotal keseluruhan, terdapat 139 judul buku terjemahan karya Pram yang terbit di berbagai negara. Adapun buku terlaris yang diterjemahkan adalah Tetralogi Buru. Pada Karya Tetralogi Buru, Pram mengangkat aspek sosial yang sangat kompleks, baik dari perbedaan sosial antara masyarakat pribumi dan masyarakat Belanda, hingga mengangkat isu penindasan terhadap perempuan oleh sosial dan budaya. 

Bermula pada judul Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh dikisahkan merupakan seorang perempuan pribumi bernama asli Sanikem. Demi sebuah jabatan, Sanikem dijual oleh ayahnya sendiri saat usia 14 tahun kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema. Adapun gelar “nyai” melekat pada Nyai Ontosoroh merujuk pada statusnya sebagai gundik (istri tak resmi). Akan tetapi, Sanikem tak gentar dengan nasib buruk yang menimpanya. Situasi yang terjadi justru sebaliknya. Sanikem memanfaatkan hal itu untuk mendidik dirinya sendiri. Misalnya, ia belajar dari Herman Mellema, seperti mempelajari bahasa Belanda, manajemen, serta keahlian administrasi. Pengetahuan inilah rupanya justru jarang dimiliki laki-laki pribumi kala itu. Berkat ketekunan Nyai Ontosoroh, ia mampu menjadi pengelola utama perusahaan pertanian milik Mellema. Tak sekedar bertransformasi sebagai nyai cerdas dan mandiri, namun juga seorang perempuan yang berani melawan hukum kolonial kala memperjuangkan hak asuh anak-anaknya. Karakter semacam inilah yang berusaha dibangun oleh Pramoedya.

Bisa dikatakan, karakter Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang melampaui zaman. Dalam novel, Nyai Ontosoroh dikisahkan sebagai sosok cerdas, tegas dan tak ragu menyuarakan pendapat. Minke, tokoh protagonis utama dalam Bumi Manusia, sangat menghormati Nyai Ontosoroh dan banyak belajar darinya. Bahkan, Minke menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai mentor moral terutama upaya ketekunan menulis dan kerja jurnalisme sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme.

Dalam sebuah, wawancara, Pramoedya mengungkapkan bahwa penciptaan karakter Nyai Ontosoroh merupakan personifikasi ibunya sendiri. Pram mengatakan bahwa ia sangat dekat dengan ibunya. Pram juga menyebut ibu adalah guru utama dalam hidupnya. Dengan demikian, inspirasi ini memberi warna personal pada karakter Nyai Ontosoroh. Kita bisa merasakan bahwa karakter nyai ini seolah begitu dekat dan melebihi dari karakter fiksi semata. 

Untuk pertama kalinya, kisah mengenai Nyai Ontosoroh diceritakan Pram secara lisan kepada sesama tahanan politik di Pulau Buru. Pram menggunakan kisah Nyai Ontosoroh untuk membangkitkan semangat para tahanan yang menghadapi tekanan sosial-politik. Pram bahkan menantang para tahanan dengan pertanyaan, “Apakah kalian sebagai laki-laki tidak malu terhadap Nyai Ontosoroh? Dia menghadapi kekuasaan kolonial seorang diri!” Dari sini kita bisa menyaksikan bahwa upaya Pram tak hanya sekedar berhasil menciptakan karakter perempuan yang tegas, berani serta inspiratif, namun pesan moral dibalik karakter seperti membangkitkan moralitas dan harapan di tengah situasi yang pelik.

Nyai Ontosoroh: Simbol Perlawanan Perempuan Jawa

Jika kita telusuri lebih lanjut di dalam karya-karya Pram. Seperti pada karakter Nyai Ontosoroh, kita bisa merefleksikan bahwa Nyai Ontosoroh merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Adapun ketidakadilan yang terjadi dalam konteks kolonial maupun patriarki. Nyai Ontosoroh jelas-jelas menolak tunduk pada sistem yang menindasnya. 

Selama ini, kita ketahui bersama budaya Jawa terkenal sangat feodal dan menempatkan perempuan pada posisi inferior. Jika kita merujuk pada berbagai ungkapan   keseharian  dalam budaya Jawa, akan jelas nampak posisi inferior   perempuan.  Sebagai misal, kata wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa ”wani ditata” yakni artinya berani ditata. Hal itu memperlihatkan posisi perempuan sebagai objek yang ditata. Selain itu juga ada istilah yang sering kita kenal lainnya seperti perempuan sebagai kanca wingking (teman di belakang). Lagi-lagi, hal itu memperlihatkan posisi perempuan hanya berkutat di ranah   domestik hingga tak ada akses untuk berperan di ranah publik. Selanjutnya, perempuan Jawa erat kesehariannya denagn peran domestik terbatas pada 3 area (dapur, kasur dan sumur). Perempuan Jawa memiliki tugas utamanya hanya masak (memasak), macak (berhias diri) dan manak (melahirkan anak). Dalam urusan akhirat pun, perempuan yang telah menikah dan menjadi istri akan bergantung pada posisi laki-laki atau suami. Hal itu tersirat pada ungkapan: suwarga nunut neraka katut. Seorang isteri kelak akan mendapatkan nunutan (tumpangan) ketika sang suami mendapatkan surga,  tetapi jika suami masuk neraka maka isteri akan ikut masuk neraka. 

Dari uraian di atas nampak bahwa posisi perempuan di dalam konteks budaya Jawa sangatlah memprihatinkan. Namun demikian, realitas semacam itulah yang diangkat Pram melalui karyanya. Sanikem atau Nyai Ontosoroh dikisahkan oleh Pram menjadi lebih berdaya daripada sikap perempuan pada masa itu yang pasrah menerima penindasan. Hal itu menjadi bukti bahwa perempuan, tak memandang dari mana sukunya, kedudukannya, namun jika ia bertekad ingin mengubah nasib, maka selalu ada jalan. Inilah yang sepatutnya menjadi perhatian kita bersama, tak terkecuali, bagi para perempuan pejuang perubahan. Seperti halnya saya pribadi, saya yakin perempuan di luar sana mampu beradaptasi dan berkehendak. Mereka tak perlu merasa terjerat dalam budaya dan lingkungan hingga menyebabkan mereka harus memilih jaln hidup mereka. Mereka bisa menentukan nasib mereka apakah berkarir, menjadi ibu rumah tangga, atau bahkan menjadi seorang aktivis. Semua itu diputuskan oleh perempuan tanpa ragu dan tanpa adanya keterpaksaan.  

Kembali pada konteks karya Pram, seperti halnya Nyai Ontosoroh yang tak merasa kehilangan kehormatan serta jati dirinya meski ia sendiri dijual oleh ayahnya. Hal yang terjadi adalah Nyai Ontosoroh memilih untuk bangkit, memberdayakan dirinya demi menentukan nasibnya sendiri. Dari sini, kita bisa mengambil nilai dan pesan moral dari karakter yang dilukiskan oleh Pram. Saya pribadi, sebagai perempuan sungguh merasakan betapa luarbiasanya karakter Nyai Ontosoroh ini. Tak heran, meski sebagai tokoh dalam novel fiksi, namun Nyai Ontosoroh layak menjadi salah satu tokoh inspiratif dari kancah sastra Indonesia.

Selanjutnya, dalam novel kedua, Anak Semua Bangsa, Nyai Ontosoroh tetap menjadi sosok sentral yang mendorong Minke untuk terus menulis dan menyuarakan nasib bangsa. Tak tanggung-tanggung, Nyai Ontosoroh menjadi sosok penting dibalik upaya Minke mendirikan surat kabar pertamanya, Medan Prijaji. Nyai sepenuh hati mendukung Minke dengan memberikan dukungan moral dan finansial. Dengan demikian, lagi-lagi, Nyai Ontosoroh menjadi figur yang mampu menjadi teladan tak hanya bagi Minke, namun bagi segenap pembaca melalui karya Pramoedya.

Penutup 

Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan Indonesia yang karya-karyanya banyak dikenang. Pram juga telah menorehkan pada catatan sejarah sebagai sastrawan yang produktif menulis dan membuahkan karya-karya, baik fiksi, artikel maupun esai. Karya luar biasa Pram—sapaan akrabnya tak hanya berhasil melukiskan sejarah pembentukan bangsa pada masanya, namun juga menciptakan tokoh karakter yang gemilang. Bermula pada judul Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh dikisahkan merupakan seorang perempuan pribumi bernama asli Sanikem. Kita tahu, barangkali Nyai Ontosoroh merupakan karakter novel fiksi semata. Namun demikian, jika kita telaah lebih lanjut, suatu karakter yang diciptakan penulisnya juga mencerminkan struktur dan logika berpikirnya. 

Nyai Ontosoroh yang dilukiskan oleh Pram bukan hanya karakter fiksi. Nyai Ontosoroh merupakan simbol perempuan Indonesia, perempuan Jawa yang melampaui zaman.  Sebagai seorang gundik, dengan gelar nyai yang melekat padanya, kenyataan pahit hidup yang menimpa, menjelma keberanian luar biasa. Nyai Ontosoroh merupakan figur yang penuh dengan keberanian, kemandirian serta keteguhan moral. Hal itu sungguh berlawanan dengan gambaran perempuan Jawa yang identik pada masa itu atau sekarang, seperti perempuan yang manut (penurut), lemah, sekedar berperan dalam ranah dapur sumur kasur. 

Karakter Nyai Ontosoroh sendiri rupanya tidak terlepas dari sosok inspiratif yang dikagumi penulis, yakni penghormatan pada sosok ibunda Pram. Dengan demikian, Nyai Ontosoroh adalah simbol perempuan dengan suara lantang dan tegas, sosok yang tak lekang waktu serta ingatan pembaca. Dan, bagi saya sebagai pembaca, saya sangat mengagumi sosok Nyai Ontosoroh. Bagi saya, ia adalah pemantik semangat, bahwa di tengah keterbatasan akan selalu ada ruang untuk melawan dan memperjuangkan apa yang diyakini. 

Sumber Referensi:

Pramoedya Ananta Toer. (2005). Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Pramoedya Ananta Toer. (2010). Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara.

Indonesia.go.id. (n.d.). Siapakah Nyai Ontosoroh? Indonesia.go.id. Diakses pada 15 Desember 2024, dari https://indonesia.go.id/ragam/budaya/sosial/siapakah-nyai-ontosoroh

Indonesia Kaya. (n.d.). Pramoedya Ananta Toer: Menulis adalah Sebuah Keberanian. Diakses pada 22 Desember 2024, dari https://indonesiakaya.com/tokoh-indonesia/pramoedya-ananta-toer-menulis-adalah-sebuah-keberanian/.

Historia.id. (2019, Juli 25). Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda. Historia.id. Diakses pada 22 Desember 2024, dari https://historia.id/kultur/articles/nyai-ontosoroh-dan-kisah-pergundikan-di-hindia-belanda-DrLgw

Kompas.id. (2022, April 15). Nyai Ontosoroh. Kompas.id. Diakses pada 25 Desember 2024, dari https://www.kompas.id/baca/analisis-budaya/2022/04/15/nyai-ontosoroh

Harian Jogja. (2019, Agustus 21). Nyai Ontosoroh, Karakter Paling Kuat dalam Film Bumi Manusia. Harian Jogja. Diakses pada 25 Desember 2024, dari https://hiburan.harianjogja.com/read/2019/08/21/509/1013422/nyai-ontosoroh-karakter-paling-kuat-dalam-film-bumi-manusia

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here