Siti Rukiah Kertapati, seorang sastrawan perempuan yang pernah menjadi suara penting dalam dunia sastra Indonesia, hampir terlupakan dalam sejarah setelah peristiwa politik 1965. Padahal, Rukiah bukan hanya penulis produktif tetapi juga seorang aktivis kebudayaan yang memiliki pengaruh besar pada masanya.
Awal Kehidupan dan Karier Kepenulisan
Rukiah lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 27 April 1927. Di masa pendudukan Jepang, ia hanya sempat mengenyam pendidikan di sekolah rendah perempuan selama dua tahun. Setelah itu, pada tahun 1946, di usia yang masih sangat muda, ia mulai bekerja sebagai guru di sekolah rendah perempuan. Namun, tidak hanya mengajar, Rukiah juga mulai menapaki dunia literasi dengan menulis puisi di majalah Godam Djelata, sebuah majalah yang turut didirikan oleh Sidik Kertapati, yang kelak menjadi suaminya.
Namun, perjalanan Rukiah dalam dunia sastra tidak selalu mulus. Pada awal kariernya, beberapa karyanya ditolak oleh berbagai majalah. Tantangan lainnya adalah tuduhan plagiarisme yang sempat dialamatkan kepadanya. Meskipun demikian, atas saran dari kritikus sastra ternama, H.B. Jassin, Rukiah terus berkarya tanpa menanggapi tuduhan tersebut. Semangatnya untuk menulis dan mengembangkan bakatnya tidak pernah pudar.
Kiprah di Majalah dan Penerbitan Karya
Di usia 21 tahun, Rukiah mulai bekerja di berbagai majalah terkemuka pada masa itu seperti Indonesia dan Mimbar Indonesia. Ia juga menjadi koresponden di Purwakarta untuk majalah Pujangga Baru, sebuah majalah sastra penting pada masa itu. Pada tahun 1949, ia mendirikan dan menjadi redaktur majalah budaya Irama di Purwakarta.
Produktivitas Rukiah dalam menulis semakin meningkat hingga akhir tahun 1950. Dalam kurun waktu tersebut, ia berhasil menciptakan 22 puisi, enam cerpen, serta sebuah novel berjudul Kejatuhan dan Hati. Novel ini awalnya diterbitkan sebagai edisi khusus di Pujangga Baru sebelum akhirnya diterbitkan ulang oleh Pustaka Rakyat pada tahun 1950.
Penghargaan dan Karya-Karya Terkenal
Karya-karya Siti Rukiah diakui tidak hanya oleh para pembaca, tetapi juga oleh berbagai lembaga sastra. Pada tahun 1952, ia menerima Penghargaan Seni Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk kumpulan cerita pendek dan sajaknya. Dalam periode 1946-1952, Rukiah banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Rukiah juga dikenal karena perhatiannya terhadap anak-anak, yang terbukti dalam kumpulan sajaknya berjudul Taman Sandjak Si Kantjil, yang ditujukan untuk anak-anak berusia 8-10 tahun. Selain itu, ia menulis berbagai cerita anak seperti Si Rawun dan Kawan-Kawannya (1955) dan Dongeng-dongeng Kutilang (1962).
Keterlibatan dalam Aktivisme dan Lekra
Selain sebagai penulis, Siti Rukiah juga aktif sebagai aktivis. Ia tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Rukiah turut hadir dalam kongres nasional pertama Lekra di Solo pada Januari 1959, di mana ia menggagas konsep “turba” atau turun ke bawah, yang harus dilakukan oleh para seniman Lekra. Dalam kongres tersebut, ia terpilih sebagai anggota Dewan Nasional Lekra bersama seniman-seniman besar seperti Affandi dan Hendra Gunawan.
Aktivismenya semakin mengukuhkan posisinya dalam dunia sastra dan kebudayaan. Pada tahun 1961, Rukiah bahkan mewakili Lekra dalam kongres penulis di Jerman Timur. Di awal tahun 1960-an, tulisannya kerap menghiasi lembaran Api Kartini, Zaman Baru, dan Harian Rakyat. Bersama Pramoedya Ananta Toer, ia juga mengasuh rubrik kebudayaan di surat kabar Bintang Timur, Lentera.
Masa-Masa Sulit dan Penahanan
Namun, keterlibatan Rukiah dalam Lekra membawa dampak besar pada kariernya setelah peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) pada tahun 1965. Ia ditahan karena afiliasinya dengan Lekra dan terpaksa berpisah dari keluarganya. Selama masa penahanannya, Rukiah mengalami tekanan mental yang berat, terutama karena tidak bisa bertemu dengan anak-anaknya.
Dalam sebuah surat balasan kepada Annabel Gallop pada Desember 1985, Rukiah menulis: “Selama di penjara, saya tidak diizinkan untuk melihat anak-anak yang saya cintai. Dan selama saya ditahan, saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak saya: apakah mereka hidup melarat di kolong jembatan, atau apakah mereka mati kelaparan?”
Pada 24 April 1969, setelah mengajukan permohonan, pemerintah akhirnya menerima permohonan pembebasan Rukiah. Namun, ia harus menerima syarat bahwa ia dilarang untuk menulis kembali. Pemerintah juga mengancam akan melarang setiap penerbit menerbitkan karyanya jika ia melanggar syarat tersebut. Rukiah menerima kondisi ini demi cintanya kepada anak-anaknya.
Akhir Hayat dan Warisan yang Terlupakan
Setelah dibebaskan, Rukiah kembali ke Purwakarta dan menjalani hidup yang penuh kesulitan. Ia tidak bisa bertemu lagi dengan suaminya, Sidik Kertapati, yang melarikan diri ke Belanda dan menjadi eksil setelah peristiwa Gestok. Pada tahun 1996, Rukiah meninggal dunia di Purwakarta. Karya-karyanya sempat terlupakan dalam dunia sastra Indonesia.
Namun, pada tahun 2017, dua karyanya yang paling terkenal, Kejatuhan dan Hati serta Tandus, diterbitkan kembali oleh Penerbit Ultimus di Bandung. Penerbitan ulang ini menandai upaya untuk mengembalikan nama dan karya Siti Rukiah ke dalam sejarah sastra Indonesia yang seharusnya tidak pernah dilupakan.
Siti Rukiah Kertapati adalah contoh nyata bagaimana seorang perempuan bisa berdiri di garis depan dunia literasi dan aktivisme pada masa revolusi, meskipun harus menghadapi berbagai tekanan dan tantangan yang tidak mudah.