Postmodernisme

Istilah postmodernisme memiliki historisitas yang masih belia jika dibandingkan dengan era filsafat yang lain. Dalam perkembangan sejarah filsafat, postmodernisme diawali dengan kemunculannya dalam beberapa bidang. Penggunaan kata postmodern(isme) pertama kali muncul dalam bidang seni yang digunakan oleh Federico de Onis dalam karyanya dengan judul Anthologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana sekitar tahun 1930. Namun, dalam bidang historiografi pertama dikenalkan oleh Arnold Toynbee dalam A Study of History pada tahun 1974. Postmodernisme merupakan era setelah modern yang sampai saat ini pengertian secara definitif tentang postmodernisme mencapai titik final untuk disepakati sebagaimana yang dikemukakan oleh Sugiharto.

Bambang Sugiharto dalam buku ini menjelaskan dengan cukup cermat perihal linguistic turn hingga solusinya dalam memandang filsafat sebagai ‘metafora’ dan redefinisi konsep pemahaman tentang ‘bahasa’. Bambang memetakan arus pemikiran kontemporer tanpa membuat hal rumit menjadi semakin sulit. Dari Paul Ricoeur, Lyotard, Wittgenstein, Derrida, Merleau-Ponty, dan Gadamer saling didialogkan dengan ciamik sehingga tampak seperti diskusi kecil dalam bentuk sebuah buku. Sebagaimana buku-buku pengantar lainnya, buku ini hanya berupaya membuka khazanah baru.

Periode postmodernisme (hlm. 52) dicirikan oleh beberapa kecenderungan sebagai berikut: 1) Kecenderungan untuk menganggap klaim atas realitas (subjek diri, sejarah, budaya, Tuhan) sebagai konstruksi semiotik, buatan, dan ideologis; 2) Skeptis terhadap segala bentuk kepercayaan tentang “substansi” objektif (walaupun tidak selalu bertentangan dengan konsep universalitas); 3) Realitas dapat ditangkap dan dikelola dengan banyak cara, serta oleh banyak sistem (pluralitas); 4) interkoneksi antarsistem untuk memunculkan ruang publik yang saling bersilang dan bergerak dinamis; 5) peleburan oposisi biner menjadi fragmentasi realitas yang tidak dikotomi sehingga semua elemen saling menentukan interaksi jaringan dan proses; 6) Melihat secara holistik berbagai kemampuan selain rasionalitas yang meliputi emosi, imajinasi, intuisi, maupun spiritualitas; 7) Menghormati hal-hal yang belum dibahas atau bahkan teralienasi oleh wacana modern secara lebih leluasa, misalnya perempuan, tradisi lokal, agama, masyarakat adat dan keberagaman.

Di era postmodern, bahasa menjadi sarana penting dalam penyampaian hasil pemikiran. Hal tersebut diafirmasi oleh Immanuel Kant dalam konsep skematismenya yang menganggap bahasa sebagai metode memberikan imaji atas konsep tertentu. Selaras dengan Kant, Cartesian menyatakan bahwa kesadaran akal (melalui praktik kebahasaan) menjadi elemen utama dalam pembentukan konsensus istilah tertentu.

Observasi atas istilah postmodern dengan pembacaan hermeneutis secara mendalam menjadi sajian tahap pertama dalam analisis kajian postmoden. (bab pertama) Observasi tersebut berujung pada fenomena kematian filsafat yang mengarusutamakan narasi besar (grand narrative) sehingga muncul narasi-narasi kecil atas realitas. Secara spesifik, persoalan tersebut meliputi paradoks epistemik yang senantiasa menjangkit segala sistem filsafat, ketidakmungkinan sekaligus kebutuhan terhadap standar rasionalitas universal yang positivistik, dan akhirnya soal kegagalan fondasionalisme dan representasionalisme dalam epistemologi modern. (bab kedua)

Bahasa memiliki peran krusial dalam kontestasi filsafat dunia yang menjadi akar persoalan atas ketimpangan gagasan pemikiran antarfilsuf. Adalah suatu kepincangan bila memandang bahasa hanya dilihat dari fungsi deskriptifnya saja atas objektifikasi tanpa melihat fungsi transformatifnya. (bab ketiga) Bambang menekankan atas fungsi transformatif yang menjadi tahapan penting untuk melihat kedudukan metafor dalam linguistikalitas manusia.

Bambang menyajikan peran metafor dalam dua pengertian: sempit dan luas. Dalam dua pengertian tersebut, Bambang menilik peran metafor sebagai inti bahasa yang memiliki peran mengikat konsep di luar dirinya dengan istilah-istilah yang spesifik. (bab empat) Dalam uraian lebih rinci, hubungan antara yang metaforis dengan tiga pemaknaan (literal, referensial, dan imajinasi) menjadi dasar reflektif atas metode berpikir dalam memandang realitas-kebenaran dengan amunisi imajinasi sebagai sumber dari metafor. (bab kelima)

Di ulasan terakhir, Bambang meninjau kembali ketiga persoalan yang sudah dijelaskan di dua pembahasan sebelumnya dengan kebaharuan sudut pandang bahwa paradigma Metafor dengan unsur tegangan (tension) untuk merumuskan kembali hakikat dan posisi filsafat, rasionalitas, dan kebenaran. (bab keenam)

Menurut Paul Ricoeur, bahasa memperoleh prestisenya dari kemampuan untuk membawa aspek-aspek tertentu dari apa yang disebut Husserl sebagai Lebenswelt. Bahasa mampu menjangkau suatu cakrawala yang selalu menjauh sehingga cakrawala tersebut bisa hadir di dalam dan bersama manusia. Kendati demikian, Nietzsche menyatakan bahwa ‘konsep’ merupakan penyamaan apa yang semula tak sama, tetapi semesta tidak mengenal bentuk dan konsep, melainkan hanya mengenal “X” yang tak akan tercapai dan terbatasi bagi manusia. Dengan adanya unsur yang tidak terbagi di semua hal, manusia memiliki keterbatasan dan eksklusivitas diri yang menjadikannya berkembang dalam dirinya sendiri. Oleh karenanya, bahasa menjadi alat transformasi dengan beragam pretensi untuk dilakukan dalam gerak kehidupan.

Manusia menjalani hidup di era postmodern dewasa ini memberikan “X” tersebut sebuah kehidupan dalam ancaman yang bertubi-tubi, atau desakan di setiap saat untuk melakukan rekonfigurasi dalam identitas-identitas, dibekukan dalam konsep dan kategorisasi, dan kemudian dijajah atau bahkan dibinasakan. Buku Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat dapat dijadikan batu pijakan dalam menapaki tangga pemahaman postmodernisme kebahasaan dengan muatan penjelasan yang lugas dan memudahkan pembaca dalam memahami era postmodernisme dari kajian filsafat bahasa.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here