Beberapa minggu lalu, saya janjian dengan seorang teman yang cukup lama tidak ketemu karena situasi. Melalui pesan Whatsapp, temanku mengajak bertemu di Waroeng Latte yang terletak di pusat Kota Madiun. Kami bersepakat jam 07.00 malam untuk bertemu, akan tetapi karena suatu hal temanku terlambat tiba di lokasi. Dengan terpaksa saya akhirnya harus menunggu beberapa menit.
Sambil menunggu teman yang masih otw, saya memesan minuman affogato. Buat yang belum tau, affogato adalah minuman yang disajikan dengan satu gelas vanilla gelato atau es krim dengan satu cangkir espresso panas. Sebelum meminumnya, harus kita campur dulu si espresso dengan es krim vanilla agar lebih nikmat.
Sudah menjadi kebiasaan saya jika berada di suatu tempat tertentu, maka saya melihat-lihat dan mengamati sekeliling. Tak terkecuali malam itu. Di depan warung tertulis di papan hitam Buka 10.00-21.00 Dine In 60 menit, hal ini sebagai tanda kepada pelanggan bahwa warung tutup jam 09.00 malam mengingat masih masa PPKM level 3.
Sambil mengaduk segelas affogato, di sebelah kanan saya terdapat beberapa pasangan muda yang sedang duduk melingkar di sebuah meja yang lebih besar dari meja yang saya duduki. Ketika pesanan mereka mulai disajikan oleh pramusaji, beberapa ibu-ibu muda itu mengambil handphone dan cekrek-cekrek. Beberapa foto makanan dan minuman di hadapan mereka sudah abadi dalam smartphone miliknya. Bahkan, tak ketinggalan mereka juga selfie ria dengan pose-pose unik.
Sedangkan di meja lain yang kebetulan berhadapan langsung dengan saya, tampak tiga orang gadis yang sedang berbincang-bincang ringan. Salah satu dari mereka kulihat sibuk mengambil angle foto dari berbagai sudut cangkir kopi yang tersaji di hadapannya. Sampai akhirnya kulihat blitz smartphone-nya menyala beberapa kali sebagai tanda gambar sudah terambil. Dan tentunya tidak berhenti disitu saja, meja-meja yang lain juga melakukan hal yang hampir sama dengan dua meja tersebut.
Saya yakin dari kita semua pernah mengalami fenomena itu. Bahkan mungkin kita sendiri yang melakukannya seperti mereka agar tidak dibilang ketinggalan trend?
Yang membuat saya heran, orang-orang itu seperti tidak peduli dengan rasa lapar atau haus yang sedang mereka rasakan dan bahkan lupa tujuan datang ke restoran atau café atau warung untuk apa? Tapi justru sebaliknya, mereka lebih memilih handphone terlebih dahulu ketimbang sendok atau garpu. Sebuah foto atau bahkan puluhan foto lebih memuaskan dahaga mereka ketimbang minuman yang sebenarnya.
Tidak berhenti di situ, setelah melakukan pengambilan foto tersebut mereka akan langsung mengunggah ke platform media sosial yang dimiliki, baik itu instagram, twitter dan facebook maupun media-media sosial lainnya yang sedang hits saat ini.
Dalam Top 100 HashTags on Instagram, hashtag (tagar) #food menjadi tagar ke-27 terpopuler dengan jumlah foto sebanyak 391,9 juta, lebih sedikit di bawah #girls diurutan ke-26 dengan jumlah foto sebanyak 393,8 juta.
Informasi di atas menunjukkan bahwa fenomena mengunggah foto makanan seolah sudah menjadi hal normal dan wajar saja di era kontemporer sekarang ini. Era kontemporer, menurut dosen saya, ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi. Khususnya komunikasi dan digital mulai dari terciptanya smartphone, kehadiran internet, serta maraknya platform media sosial yang banyak mempengaruhi perubahan sosial dan budaya masyarakat. Peran teknologi ini pula yang menciptakan budaya masyarakat konsumerisme.
Fenomena mengambil foto makanan untuk kemudian di-upload ke instagram dengan memberi caption, tagar, dan tag lokasi ini kemudian disebut foodstagramming. Lantas apakah fenomena foodstagramming merupakan sebuah realitas atau kenyataan? Kita tidak pernah tahu apa foto makanan tersebut benar-benar dimakan atau tidak. Kita juga tidak benar-benar tahu antara kenyataan dan kepalsuan yang ditampilkan dalam foto tersebut.
Saya mencoba meminjam konsepsi pemikiran Jean Baudrillard. Menurutnya, saat ini manusia sedang memasuki era kontemporer yang ditandai dengan munculnya masyarakat simulasi. Simulasi berarti bahwa citra tidak terkait dengan kenyataan apapun. Masyarakat postmodern tidak lagi mengonsumsi objek berdasarkan manfaat atau fungsi dari objek, tetapi konsumsi didasarkan atas tanda, simbol, dan prestise.
Intinya, dalam masyarakat postmodern, makan yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok manusia kini hanya dikonsumsi secara simbolik. Konsumsi simbolik hanya bersifat konsumsi bayang-bayang atau imaginary seperti halnya gambar atau foto yang diunggah ke instagram.
Foodstagramming merupakan salah satu budaya konsumerisme yang menjadi ciri dari masyarakat postmodern yang lebih mengutamakan konsumsi. Konsumsi bukan hanya dimaknai dari segi guna, melainkan konsumsi dimaknai sebagai tanda dan simbol prestise yang melampaui kenyataan dari objek itu sendiri. Dalam hal ini, objek adalah makanan. Makan dengan menu tertentu seolah-olah strata sosial seseorang berada di atas ketimbang lainnya.
Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita ingin terjebak dalam citra buatan itu? Sehingga tidak bisa lagi membedakan antara batas realita dengan citra yang nampak di atasnya? Jawabannya, silahkan Anda mencari sendiri. Mengingat saya harus menghentikan tulisan ini karena teman yang saya tunggu tadi sudah datang dengan memesan makanan dan minuman. Selanjutnya tanpa basa-basi dia mengeluarkan handphone dan cekrak-cekrek.