Judul buku: Cendekiawan Dalam Arus Sejarah
Penulis: Peter Kasenda
Penerbit: Beranda
Ukuran: 15,5 cm x 23 cm;
Ketebalan: xii+192
ISBN: 9786026181664
Harga P. Jawa: 77.000
Sebuah bangsa dibentuk oleh proses sejarah yang sampai saat ini bahkan hingga kedepannya tak akan pernah selesai. Perjalanan sebuah bangsa dan perubahannya tak luput dari peran aktif cendekiawan. Akademisi barulah merupakan status, sedang cendekiawan merupakan fungsi.
Dewasa ini, kita dalam fase sejarah ketika perguruan tinggi dibangun di mana-mana. Lulusan perguruan tinggi meningkat pesat. Namun, nampak ada yang keliru dalam orientasi dan proses produksi perguruan tinggi kita.
Arahnya adalah mencetak tenaga kerja, dan karena itu, pendidikan diselenggarakan dengan model ala tukang yang memangkas kreativitas. Hasilnya, negara ini surplus sarjana, tapi defisit cendekiawan. Padahal situasi dan kondisi bangsa yang belum keluar dari keterpurukan sangat memerlukan peran cendekiawan. Dalam kondisi itulah kita perlu belajar dari kisah-kisah yang dirasa dapat memantik semangat muda untuk melanjutkan estafet perjuangan dan perubahan yang lebih baik di Indonesia. Berikut adalah beberapa tokoh intelektual yang harapannya bisa menjadi dorongan untuk kita agar terus berkarya.
Pertama ada Soedjatmoko, beliau sering dijuluki dekan Intelektual bebas Indonesia. Julukan ini adalah hasil pemikiran dan pandangan Soedjatmoko yang cemerlang dengan bobot kearifan yang dilakukannya hampir empat puluh tahun. Ia meninggalkan warisan pemikirannya yang tertuang dalam lebih dari seratus tulisan mengenai masa depan umat manusia yang berdimensi luas.
Ia bergerak pada masalah kebudayaan, sastra, sejarah, pembangunan, ilmu pengetahuan, politik, diplomasi, percaturan internasional, dan agama. Perhatiannya yang begitu luas dan besar menyebabkan pendengarnya tidak bisa menunjukkan di kotak mana Soedjatmoko berada.
Selanjutnya, keberhasilan Soedjatmiko menjalankan tugasnya dengan baik telah mengantarnya menjadi dubes RI (1968-1978). Kemudian pada pertengahan tahun 1980-an beliau dipercaya menjadi rektor Univesitas PBB. Atas berkat usahanya beliau memperoleh Bintang Tanda Jasa Harta Suci Agung dari kaisar Jepang tahun 1988. Ia dianggap memperkokoh hubungan antara Universitas PBB dengan Jepang.
Selanjutnya ada Soe Hok Gie, tokoh dari gerakan mahasiswa. Dapat dikatakan bahwa ia seorang arsitek gerakan mahasiswa tahun 1966 dan mengotaki long-march Salemba Rawamangun untuk menuntut penurunan harga bensin dan karcis bis di jakarta. Tulisan-tulisannya yang kritis dan tajam tersebar di berbagai media massa mampu menggetarkan hati nurani para pembacanya yang berada dalam lingkaran kekuasaan atau yang menjadi korban perubahan politik.
Kata-katanya yang mengusik kalbu dan membayangi langkahnya telah menjadi kenyataan, Soe Hok Gie menyadari bahwa seorang intelektual yang bebas adalah pejuang yang selalu sendirian. Ia turut membantu menggulingkan kekuasaan yang lama. Akan tetapi, setelah kekuasaan baru berkuasa, orang seperti dirinya terlempar keluar dari sistem kekuasaan.
Tokoh gerakan satu ini pernah mengucapkan satu hal yang menarik, mengutip dari kata-kata Filosof Yunani kuno yang disukai Soe Hok Gie,“berbahagialah mereka yang mati muda”. Rasa cintanya pada kalimat itu seolah berhubungan erat pada suratan takdir. Sehari sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke 27 tahun, ia meninggal dalam pendakiannya ke gunung Semeru. Dirinya menjadi korban gas beracun yang mematikan tanpa bau tanpa warna yang merembes dari permukaan gunung.
Tentu banyak turut bersedih atas kejadian tersebut. Namun, yang menjadi kebanggaan tersendiri adalah tulisan dan gagasannya masih menjadi bacaan wajib bagi para aktivis generasi muda.
Selanjutnya, tokoh yang menginspirasi adalah Sartono Kartodirjo. Historiografi sebagai sejarah intelektual sangat besar peranannya dalam pembentukan negara nasional, peradaban nasional, dan identitas nasional bangsa.
Dengan tanggung jawab ilmiah dan kesadaran profesinya, Sartono Kartodirdjo merekonstruksi sejarah nasional. Ia mengungkapkan realitas pengalaman kolektif bangsa indonesia sebagai solidaritas nasional dan meningkatkan kesadaran berbangsa pada dirinya.
Sejarah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan seharusnya tidak hanya menyampaikan fakta-fakta sejarah sebagai pengetahuan yang nyata, tetapi juga berfungsi sebagai proses penyadaran bangsa indonesia di masa lampau, masa kini dan di masa depan. Sartono kartodirdjo meninggal dunia dalam usia delapan puluh enam tahun (15 februari 1921-7 desember 2007). Sartono Kartodirjo senantiasa dikenang sebagai peletak dasar bagi perkembangan kajian secara kritis. Sisi kehidupan Intelektual menjadi tauladan bagi pencari kebenaran sejarah.
Dari beberapa tokoh di atas kita dapat merenung dan memahami berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para cendekiawan di masa lalu. Pembaca juga tidak semata membaca untuk menikmatinya saja. Selain itu, tidak hanya sekedar mengoleksi kisah dan sosok mereka, tetapi harapannya kedepan adalah generasi muda menjadi estafet pelanjut perjuangan para cendekiawan terdahulu.