Nama Armijn Pane dikenal sebagai salah satu sastrawan Pujangga Baru yang juga merupakan pendiri majalah Pujangga Baru. Sastrawan yang merupakan adik dari Sanusi Pane ini merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Armijn Pane lahir dari keluarga Minangkabau yang berkecimpung di dunia politik dan sastra. Ayah dari pria kelahiran 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara ini dikenal sebagai seniman, guru, dan sekaligus aktivis pada masa itu. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan dan juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional di Palembang.
Jiwa cinta tanah air yang tinggi dari ayahnya ditularkan pada Armijn. Hal itu dapat dilihat dalam sajaknya yang berjudul Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Bahkan pada ceramahnya yang berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”, Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ceramahnya yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki, sebulan sebelum ia meninggal ini juga membicarakan seputar kecintaanya pada sastra.
Kecintaanya pada sastra juga ia ungkapkan lewat tulisan-tulisannya yang menyuarakan kepeduliannya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Tulisannya tersebut berupa esai-esai tentang sastra yang tersebar di berbagai majalah yang belum dibukukan, di antaranya “Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan?” dalam Poedjangga Baroe No. 8 Tahun 9, dan “Seniman, Pujangga, dan Masyarakat” dalam Spektra No. 1 Tahun 1.
Selain itu, dalam tulisannya yang berjudul “Kesusastraan Baru Yang Kuno dan Yang Baru” dalam Poedjangga Baroe Nomor 2, Armijn Pane menyerukan dengan lantang terkait perkembangan bentuk kesusastraan Indonesia,
“Kami tiada hendak mempertahankan form yang lama, kami tiada hendak bernyanyi, berseloka, bergurindam seperti moyang kami, kami hendak menimbulkan form baru yang sepadan dengan semangat masyarakat kami yang senantiasa berubah-ubah itu, yang senantiasa berjuang itu. Kami hendak menimbulkan form baru yang sesuai dengan roh perjuangan bangsa kami ke arah kemerdekaan”.
Menurutnya, sastra akan selalu berubah-ubah mengikuti kenyataan sosial masyarakat dari zaman ke zaman. Pemikirannya tersebut juga menjadi landasan tujuan didirikannya majalah Pujangga Baru, yakni memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.
Sebagai sastrawan, Armijn Pane memiliki gayanya khas-nya sendiri. Menurut Dr. H.B. Jassin, prosa maupun sajak Armijn terlihat memiliki gaya impresionistis. Dalam novelnya berjudul Belenggu ditemukan gaya romantis sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Dr. H.B. Jassin juga mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.
Meskipun demikian, Armijn Pane yang dikenal sebagai seorang penulis sempat menempuh pendidikan di sekolah kedokteran. Ia mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS), Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian, ia masuk Europese Lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 ia menjadi studen stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak melanjutkannya. Tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya.Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.
Setelah berhasil menamatkan pendidikannya, Armijn memulai langkahnya di dunia karir dengan menjadi wartawan di surat kabar Soeara Oemoem Surabaya. Langkahnya kemudian membawanya ke dunia pendidikan dengan menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan di Jakarta. Setelah itu, Armijn mulai fokus di bidang kesusastraan hingga akhir hayatnya.
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta. Makamnya berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya. Kepergiannya meninggalkan seorang istri bernama Ny. Pudjiati Yong Brot, dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun.
Karir Armijn Pane
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Armijn Pane memulai karirnya sebagai seorang wartawan surat kabar Soeara Oemoem Surabaya pada tahun 1931-1932. Selepas itu, Armijn menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri, Malang, dan Jakarta pada tahun 1932-1934. Bersamaan dengan itu, ia mulai terjun ke dunia kepengarangan.
Berdirinya majalah Pujangga Baru pada tahun 1933 menjadi tonggaknya di dunia kepengarangan. Ia mendirikan majalah tersebut bersama pelopor lainnya, yakni Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana. Tujuan didirikannya majalah ini adalah untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra dengan mengumpulkan para penulis dari seluruh penjuru Indonesia. Majalah ini terbit dari bulan Juli 1933 hingga Februari 1942 dan mulai tahun 1933 hingga 1938, Armijn menjabat sekretaris redaksi majalah.
Di majalah tersebut Armijn menulis banyak esai dan karya-karya sastranya. Novelnya yang berjudul Belenggu pun dimuat dalam majalah Pujangga Baru sebelum diterbitkan sebagai buku. Selain menduduki kursi sekretaris redaksi majalah Pujangga Baru, ia juga menjadi wartawan freelance pada tahun 1934-1936. Atas jasanya yang gemilang sebagai sastrawan, ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah pada tahun 1969.
Karirnya merambah ke bidang penerbitan pada tahun 1936 dengan menjadi pegawai Balai Pustaka dan akhirnya diangkat menjadi redaktur Balai Pustaka. Namun, ketika Jepang telah duduk di Indonesia, Armijn Pane bersama kakaknya, Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjabat sebagai Kepala Bagian Kesusastraan hingga tahun 1945.
Armijn yang sebelumnya juga merupakan penganjur di Balai Bahasa Indonesia akhirnya menjadi Sekretaris Komisi Istilah di masa penjajahan Jepang tersebut. Dia juga tercatat pernah menjabat sebagai sekretaris Kongres Bahasa Indonesia I pada tahun 1938. Dalam bidang penerbitan, Armijn Pane pun tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman dalam majalah itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan.
Armijn Pane juga aktif dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan. Ia tercatat sebagai anggota sekaligus sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Ia juga tercatat aktif dalam dunia film sebagai anggota sensor film pada tahun 1950 hingga 1955.
Karya-Karyanya
Karya-karya gubahan Armijn Pane meliputi karya kreatif, karya terjemahan, saduran dan esai. Karya-karya kreatifnya adalah puisi, novel, cerpen, dan drama. Sebagian besar karya Armijn berangkat dari latar belakang kenyataan hidup zamannya. Puisi-puisinya dihimpun dalam buku kumpulan puisi berjudul Gamelan Djiwa (Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Jakarta, 1960) dan Djiwa Berdjiwa (Balai Pustaka, Jakarta, 1939).
Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Puisi Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987:77) percobaan menulis sajak tentang hal sehari-hari dilakukan Armijn Pane pada tahun 1930-an. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Djiwa Berdjiwa penuh semangat perjuangan bangsa, tetapi dalam Gamelan Djiwa memperlihatkan keberanian penyairnya untuk melukiskan keadaan nyata sehari-hari dengan mempergunakan kata sehari-hari. Sedangkan, novelnya merupakan karya novel legendaris berjudul Belenggu (Dian Rakyat, Jakarta, 1940).
Drama garapannya banyak ditulis sebelum masa perang dunia. Ia membuat drama “Lukisan Masa” berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Menurut Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Cetakan Kedua, Binacipta, 1976), cerpennya “Barang Tiada Berharga” melukiskan kemelut dan tingkah laku masyarakat Indonesia pada zaman malaise (tahun 1930-an) dengan sangat kuat yang kemudian menjadi dasar romannya Belenggu. Cerpen “Barang Tiada Berharga” tersebut dibukukan dalam Kumpulan cerpan Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, Jakarta, 1940). Selain, Djinak-Djinak Merpati, terdapat juga kumpulan cerpen Kisah Antara Manusia (Balai Pustaka, Jakarta, 1953).
Drama karya Armijn Pane lainnya, dibuat berdasarkan karya roman pengarang lain, drama tersebut antara lain, drama berjudul “I Swasta Setahun di Bedahulu” yang dibuat berdasarkan roman karya I Gusti Nyoman Pandji Tisna dan drama “Nyai Lenggang Kencana” yang dibuat berdasarkan cerita M.A. Salmun dalam bahasa Sunda. Sedangkan, dramanya berjudul “Antara Bumi dan Langit” ditulis sesudah proklamasi kemerdekaan yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam Indonesia merdeka.
Selain karya-karya kreatif, Armijn Pane juga menulis esai tentang sastra yang tersebar di berbagai majalah yang belum dibukukan, di antaranya “Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan?” dalam Poedjangga Baroe No. 8 Tahun 9, dan “Seniman, Pujangga, dan Masyarakat” dalam Spektra No. 1 Tahun 1. Dalam bahasa Belanda ia menulis Kort Overzicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949) dan Sandjak-Sandjak Muda Mr. Mohammad Jamin (1954). Buku terjemahannya antara lain adalah Tiongkok Zaman Baru, Sedjarahnja: Abad ke-19 Sekarang (1953), Membangun Hari Kedua (novel karya Ilya Ehrenburg, 1956), dan Habis Gelap Terbitlah Terang (karya R.A. Kartini, 1968). Buku sadurannya, antara lain, adalah Ratna (drama karya Hendrik Ibsen, Nora, 1943).