Agus Salim
Sumber foto: Kompas.id

The Grand Old Man” atau “Orang Tua Agung,” adalah julukan  yang disematkan kepada H. Agus Salim. Bagaimana kiprah Agus Salim sehingga ia diberi titel akbar semacam itu?

Agus Salim‒berarti “pembela kebenaran”‒lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat. Agus Salim muda menunjukkan kegemarannya dalam belajar. Karena kecerdasannya, ia diterima di sekolah elite pribumi dan Eropa, Hogere Burger School (HBS). Hasil belajarnya pun cemerlang (Historia.id, 2020).

Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 1903, ia hendak melanjutkan studi ke Belanda melalui jalur beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda yang hanya diperuntukkan bagi satu orang siswa. Namun, permohonan beasiswanya ditolak, beasiswa itu telah diberikan kepada R.A. Kartini. Rupa-rupanya Kartini batal mengambil beasiswa itu karena ia akan dinikahkan. Saat pemerintah menawarkan beasiswa kepada Salim, ia menolaknya lantaran tidak ingin memperoleh sesuatu yang bukan karena kemampuannya dan pula menilai pemerintah Hindia-Belanda berlaku diskriminatif (Metro TV, 2019).

Tak jadi lanjut sekolah dengan jalur beasiswa, Salim lantas memutuskan untuk bekerja. Ia bekerja di sebagai tenaga alih bahasa di Batavia. Sebagai penerjemah bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Pekerjaan itu tak lama dilakoni Agus Salim, beberapa kali ia berganti pekerjaan.

Hingga suatu ketika, Salim muda kehilangan ayahnya. Kepergian sang ayah memengaruhi jalan pikiran Salim muda. Ia memantapkan diri merantau ke luar negeri, ke Jeddah, Saudi Arabia pada 1906. Salim bekerja sebagai Konsulat Belanda di bawah naungan Drageman (Historia.id, 2020). Pekerjaan sebagai konsulat berlangsung 6 tahun hingga 1911.

Pecinta Ilmu

Di Jeddah, Salim muda tak pernah berhenti belajar menempa pengetahuan dan pengalamannya. Pada masa itu pula, ia membuat risalah pertamanya, yang mengantarkannya menulis risalah-risalah berikutnya (agama, kebudayaan, politik) di kemudian hari (Historia.id, 2020).

Salah satu bidang yang giat dipelajari Agus Salim ilmu bahasa. Ia menguasai sembilan bahasa asing; Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, Jepang, Arab, Cina, dan Latin. Bahasa-bahasa ini dipelajarinya secara mandiri melalui interaksi langsung dengan penutur asli. Keterampilan bahasa yang luar biasa ini memungkinkannya berkomunikasi dengan diplomat dari berbagai negara dan menyampaikan pandangan Indonesia secara efektif. Pula, kemampuannya berbahasa turut memperluas wawasannya dan memberinya akses sumur pengetahuan.

Secara akademis, Agus Salim seorang pemikir encer. Namun, ia tidak hanya berfokus pada aspek akademis belaka. Nilai hidup dari pengalaman perjalanannya juga dimiliki. Pengalamannya dalam perjalanan diplomasi dan perjuangan kemerdekaan menjadi ilmu berharga. Agus Salim melihat setiap situasi sebagai pelajaran dan memanfaatkannya untuk terus belajar dan berkembang.

Agus Salim pernah berujar, “pelajaran di sekolah saja tidak cukup. Kita harus belajar sendiri untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Sekolah hanyalah salah satu tempat pendidikan, setelah itu pendidikan di luar sekolah akan terus belajar selama manusia hidup” (Kutoyo dan Safwan, 2021: 19). Keinginannya mengasah pengetahuan dan keterampilan adalah bukti nyata keuletannya sebagai seorang pembelajar.

Kecintaan Agus Salim pada ilmu pengetahuan tak hanya mewujud kegemarannya dalam belajar, ia juga memiliki semangat berbagi ilmu. Ia senang berdiskusi, memberikan ceramah, dan menulis artikel untuk berbagi pengetahuan dan pandangannya kepada orang lain.

Berbagi pengetahuan, baginya, sebagai sebuah tanggung jawab intelektual. Karena itu, lebih lanjut, Agus Salim juga mendirikan sebuah sekolah untuk bumi putera di kampung halamannya, di Koto Gadang. Di sekolah itu, selama 3 tahun lamanya, Agus Salim menanamkan nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme. Selepas membangun pondasi sekolah, ia lalu berangkat ke Batavia untuk mencari pengalaman baru.

Di Batavia, Agus Salim terjun ke dalam dunia politik. Ia menjadi anggota dari Sarekat Islam (SI) yang kelak dipimpinnya menggantikan HOS Cokroaminoto‒sebuah organisasi yang berperan penting dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Melalui kendaraan politik SI itu, Agus Salim terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pijakan perjuangan Agus Salim jelas, “di dalam negeri kita, janganlah kita menumpang”.

Bersahaja

“Leiden is Lijden; Memimpin adalah Menderita”

Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim dipilih sebagai Menteri Luar Negeri. Kemampuan diplomasi ‘The Grand Old Man’ berperan penting dalam perjuangan memperoleh kedaulatan Indonesia. Ia sering diutus untuk mewakili Indonesia dalam konferensi internasional dan pertemuan diplomatik.

Salah satu momen penting hidupnya ketika ia menjadi anggota delegasi Indonesia dalam perundingan di Konferensi Meja Bundar pada 1949, yang berbuah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Ia berani mengemukakan pendapatnya secara tegas dan lugas, terutama ketika berbicara tentang isu-isu penting yang berkaitan dengan kemerdekaan dan kepentingan nasional. Teguh membela dan memperjuangkan prinsip-prinsip yang diyakininya, bahkan jika itu berarti berhadapan dengan tekanan politik atau oposisi.

Sumber foto: Koran-Jakarta.com

Sebagai seorang diplomat ulung, Agus Salim memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa yang terbukti dari penguasaan sembilan bahasa asing. Kemampuannya dalam berkomunikasi dengan berbagai bahasa memungkinkannya untuk menjalin hubungan yang kuat dengan diplomat dari berbagai negara dan mengartikulasikan pandangan Indonesia secara efektif.

Selain itu, pengetahuan yang mendalam tentang diplomasi dan hukum internasional juga dimiliki Agus Salim. Ia mampu memahami dinamika politik global dan menggunakan pengetahuannya untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam forum internasional. Keahliannya dalam merumuskan argumen dan strategi diplomasi membuatnya menjadi negosiator yang sangat efektif.

Tak kalah penting faktor keberhasilannya dalam berdiplomasi adalah sikap bersahaja dan toleransinya yang tinggi. Ia tidak terjebak dalam ego, tetapi lebih fokus pada tujuan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Sikap toleransinya membuatnya mampu menjembatani perbedaan pendapat dan membangun hubungan yang baik dengan diplomat dari berbagai latar belakang budaya dan agama.

Kendati memiliki jabatan prestisius, ia tetap berlaku hidup sederhana. Kesederhanaannya termasyhur menginspirasi hingga kini. Terlebih akhir-akhir ini banyak dipertontonkan pemimpin negeri yang korup dengan gaya hidup mewah. Kiranya kita perlu mengenang dan belajar dari para pemimpin Republik terdahulu yang mengutamakan kepentingan publik layaknya seperti sosok sang Haji.

Agus Salim, dalam banyak kesaksian, diceritakan tidak mengutamakan kemewahan meteri (asketis), tetapi lebih fokus pada perjuangan kemerdekaan dan kemajuan bangsanya. Kesederhanaan Agus Salim tercermin dalam berbagai aspek kehidupannya dengan pola hidup sederhana. Bahkan, saat menjabat sebagai menteri, ia berpindah-pindah kontrakan karena tak punya rumah sendiri (Mojokdotco, 2022). Lantaran punya ilmu menjulang tinggi dengan sikap membumi kepada setiap orang itulah Agus Salim dihormati teman-temannya bahkan musuhnya.

Selain dari gaya hidup, kesahajaan Agus Salim juga tampak dari kedekatannya dengan rakyat. Ia sering mengunjungi desa-desa, berdialog dengan masyarakat untuk mendengarkan masalah dan kebutuhan mereka secara langsung. Ia lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Melayani, begitulah sejatinya pelayanan bagi ‘The Grand Old Man’.

Lijden

Bagi Agus Salim, ungkapan “pemimpin itu menderita” memiliki makna mendalam yang mencerminkan pandangannya tentang tanggung jawab dan pengorbanan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Baginya, menjadi seorang pemimpin bukanlah semata-mata tentang kekuasaan, kehormatan, atau keuntungan pribadi, tetapi juga melibatkan beban dan penderitaan yang harus ditanggung.

Keyakinannya, seorang pemimpin sejati harus bersedia menderita untuk kepentingan rakyat dan bangsanya. Seorang pemimpin harus siap mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kenyamanan pribadinya demi melayani dan memperjuangkan kebaikan bersama (Mojokdotco, 2022). Pemimpin yang menderita akan merasakan beban dan kesulitan yang dihadapi oleh rakyatnya, sehingga dapat memahami dan mengupayakan solusi yang nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan.

Penderitaan seorang pemimpin juga meliputi tekanan politik, konflik, kritik yang tajam, serta keputusan sulit yang harus diambil demi kepentingan yang lebih besar. Pemimpin yang tangguh harus memiliki ketabahan, integritas, dan keberanian menghadapi tantangan dan mengambil keputusan yang adil meskipun pahit. Agus Salim menegaskan pentingnya sikap pengabdian dan rasa tanggung jawab dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati bukanlah yang mencari kenyamanan diri atau keuntungan pribadi, tetapi mereka yang siap menderita demi kebaikan dan kesejahteraan orang banyak.

Pada November 1954, ‘The Grand Old Man’ Agus Salim menghembuskan nafas terakhirnya. Warisannya sebagai seorang diplomat ulung dan tokoh perjuangan kemerdekaan yang rendah hati, tidak tergoda oleh dunia materi, dan selalu melayani, laik dikenang dan diteladani. Kisahnya adalah oase kesahajaan di tengah gaya hidup mewah yang acap dipamerkan pejabat publik kini.

 

Daftar Pustaka

Kutoyo, Sutrisno, Madanas Safwan. 2021. Seri Pahlawan: Haji Agus Salim. Bandung: Angkasa.

Metro TV. 2019. Melawan Lupa: Agus Salim, Pejuang Besar yang Bersahaja. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=1wgjsFC-ZnU pada 23 Juni 2023.

Pamungkas, M., Fazil. Historia.id. 2020. Agus Salim Tak Pernah Berhenti Belajar. Diakses dari https://historia.id/agama/articles/agus-salim-tak-pernah-berhenti-belajar-PKlJg/page/1 pada 23 Juni 2023.

Mojokdotco. 2022. JasMerah: ‘The Great Old Man’ KH. Agoes Salim: Memimpin adalah Menderita. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=hZ70FmHPKHw pada 7 Juli 2023.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here