Tak terasa di suatu pagi saat menikmati satu judul buku sambil minum teh manis hangat dengan kudapan rebus singkong, tiba-tiba ada suara dari pengeras suara, suara adzan penanda masuk waktu salat zuhur. Sebelum beranjak melaksanakan salat, saya membuka handphone karena ada notifikasi kiriman pesan. Saya buka aplikasi WhatsApp dan mulai memutar kiriman video melalui salah satu media sosial tersebut dan mucul gambar disertai penjelasan dari seorang tokoh pendidik dan penggagas komunitas Rumah Perubahan, yaitu Rheynald Kasali. Nama ini sudah cukup familiar bagi pelaku ekonomi, penikmat kegiatan kewirausahaan sosial, maupun hal-hal lainnya yang terkait dengan perubahan cara pandang dan perilaku seseorang untuk terus bergerak berubah ke hal yang lebih baik dan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Saya agak terperanjat manakala mendengar penjelasan sekilas di video tersebut. Ada kalimat, “ …kerja, kerja, kerja,… kemudian sakit Tipes”. Saya menghela nafas dengan sempurna dan sejurus kemudian saya menata perasaan dan mulai berpikir jernih tentang apa yang disampaikan oleh Rheynald Kasali, seorang guru besar dan telah banyak menginspirasi saya dan kolega sebagai tim kerja dalam menjalankan usaha mulai dari terhuyung-huyung membangun hingga saat ini bisa dikatakan lumayan untuk turut serta menjalankan amanah ideologi negara Indonesia, yaitu membuka lapangan pekerjaan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang bergotong royong.
Setelah saya simak dengan baik penjelasannya, pesannya adalah bagaimana menikmati kegiatan bekerja agar tidak terhuyung-huyung saat melakukannya setiap hari. Kenapa saya menggunakan kata terhuyung-huyung? Karena, selama ini saya seringkali mendengar pembicaraan bahwa, bekerja di sana enak, karena tidak terlalu ketat aturannya, enak kerja bisa sambil ngobrol. Di lain sisi ada kalimat berbeda, kerja di sana tidak enak, aturannya ribet, HRD-nya galak, dan lain sebagainya tentang hal-hal yang negatif. Penuturan kalimat ini sangat sering saya dengarkan, baik dari keluarga maupun dari teman-teman.
Pertanyaannya, apakah dua kalimat di atas ada yang salah? Tentu sama sekali tidak ada. Itu adalah hal yang lumrah bagi setiap orang untuk menyampaikan opini atau pendapatnya tentang suatu hal, seperti kalimat di atas. Yang menjadi menarik adalah bukan pernyataan kalimatnya, melainkan perspektif atau cara pandang seseorang terhadap suatu hal yang melahirkan pernyataan dalam bentuk kalimat di atas.

Maksud saya adalah, sebelum seseorang melontarkan pendapat, ia dipengaruhi oleh stock of knowledge dan pengaruh lingkungan sekitar. Hal inilah yang kemudian membentuk pernyataan kalimat seperti di atas, yaitu ringkasnya adalah ada kerja yang enak dan ada kerja yang tidak enak.
Jika seseorang meletakkan suatu hal dengan perspektif negatif, maka negatif pula yang akan dijumpai, demikian sebaliknya, perspektifnya positif akan mengeluarkan pendapat yang positif.
Nah, sekarang hubungannya apa antara kata “kerja-kerja-kerja” dan “sakit tipes”? Secara sederhana, penjelasannya adalah, seseorang melakukan aktifitas kerja secara terus menerus hingga tak kenal waktu, dan fisiknya betul-betul diporsir untuk menunaikan tanggungjawab kerjanya. Tindakan ini adalah sesuatu yang normal, tidak ada yang salah. Perilaku ini alasannya bisa beragam. Salah satunya bisa karena mengejar target atau alasan lainnya, daripada menunda pekerjaan, lebih baik pekerjaan tersebut segera diselesaikan meskipun melewati batas waktu jam kerja normal.
Hal inilah yang mesti dipahami dengan baik dan sempurna, bahwa, jika keadaan ini dipahami dalam perspektif yang negatif, akan muncul pendapat bahwa bekerja ini betul-betul melelahkan. Namun, jika ini diletakkan dalam perspektif yang positif, bahwa bekerja adalah bagian dari menjalankan ibadah, ia akan merasa nyaman dan senang. Kenapa? Karena ibadah itu harus menyenangkan, menggembirakan. Jangan sampai ibadah itu menjadi berat dan menyusahkan bagi orang yang melakoninya.
Maka dari itu, dalam bekerja mesti mempunyai tujuan, perspektif atau cara pandang, bahwa apa yang dilakukannya dalam konteks bekerja ini adalah bagian dari ibadah. Saat bekerja, seseorang tidak boleh letih pikiran dan fisik. Karena kedua hal ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Harus menjadi satu kesatuan. Bekerja bukan untuk mendapatkan keletihan, tetapi untuk mendapatkan kebermanfaatan dan kemartabatan bagi seseorang.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Rheynald Kasali, bekerja bukan hanya urusan fisik dan semata-mata menikmati pekerjaanya karena passion-nya. Passion dalam bekerja bukan satu-satunya hal yang menjadi penyumbang terbesar bagi kedamaian seseorang dalam bekerja.

Passion bukanlah mencocokkan pekerjaan atau memilih pekerjaan yang sesuai. Passion perlu diciptakan. Seseorang menyiapkan diri untuk selalu bisa kompatibel dengan keadaan apapun. Oleh karena itu, orang yang bekerja namun tidak punya perspektif dan cita-cita untuk melakukan percepatan dan perubahan untuk maju dalam bekerja, ia hanya akan menikmati keletihan dalam bekerja. Ia hanya akan menikmati orang lain yang bekerja penuh semangat dan dedikasi. Sementara dirinya hanya akan menggerutu dalam melakukan pekerjaannya.
Tahun 2023 menurut astronomi Tiongkok adalah tahun kelinci yang penuh kesabaran dan keberuntungan. Semoga kita tidak masuk dalam kelompok orang-orang yang selalu mengutuk diri dan menggerutu dalam kegelapan.