Academy Awards atau yang biasa akrab disebut Piala Oscar atau hanya Oscar saja, menjadi salah satu ajang apresiatif film yang lumayan ‘dikatakan’ prestisius. Penghargaan ini diorientasikan untuk indsutri perfilman Amerika, sebetulnya. Oscar pertama kali tergelar pada 16 Mei 1929, dengan Wings karya Wellman sebagai pemenang film terbaik pertamanya. Karena Oscar datang dan berada di Amerika, pastilah dibesar-besarkan. Wellman disebut sineas terbaik, Wings disebut film terbaik. Terlalu memaksa, kendati Wings tak sekalipun intens menjadi topik pembicaraan sebagaimana karya-karya sineas di luar arus utama. Namun seiring waktu Oscar selalu menjadi buah bibir—ia secara tidak langsung menjadi parameter mana film bagus dan mana yang tidak—walau sebatas bagi mereka yang awam film.
Namun seiring waktu pula Oscar kadang-kadang nyeleneh dan asem. Pemenang bisa terbalik, dan yang kalahpun bisa terbalik. Ini karena sistematika judgment Oscar yang bisa dikatakan tidak kompetitif dan tidak paten. Judgment diambil dari suara terbanyak yang dikumpulkan oleh para akuntan (dalam hal ini Oscar telah lama bekerja sama dengan PwC), bukanlah dari orang-orang film atau pengamat-pengamat film yang telaten. Dari sana, dilihat mana film yang memiliki suara terbanyak—yang sedikit disingkirkan, yang banyak diperhitungkan—oleh seorang akuntan. Hasilnya disimpan di brankas kemudian dibawa pada saat acara berlangsung dengan didampingi puluhan polisi.
Maka bukan keterkejutan kalau-kalau hasil film terbaik dari Oscar sebetulnya hasil terburuk, atau hasil yang tak memuaskan—sebut saja Crash, Nomadland, The English Patient, Shakespare in Love, Gladiator, Argo, Forrest Gump, The King’s Speech, atau yang baru-baru ini unggul; Everything Everywhere All at Once.
Kemenangan EEAAO merupakan kemenangan yang menurut hemat saya selain nyeleneh itu tadi, juga asem itu tadi. Bukan berarti EEAAO sangat buruk, dan bukan berarti ia tak pantas untuk menang. Sebaliknya, ia film yang luar biasa dan juga pantas untuk menang. Tapi saya setuju dengan Gandhi Tiktokers itu: kalau EEAAO bisa menang Oscar, kenapa film Nolan tak bisa—masuk nominasi saja tak pernah (kecuali Inception dan Dunkirk). Bukankah ide Nolan lebih dahulu visioner? Bukankah visualnya, permainan aksinya, dan segala gerak-gerak sinema menjual itu lebih hebat dari James Gunn, Michael Bay, dan Duo Daniels ‘tentunya’? Bukankah jenis-jenis efek yang disangsikannya malah lebih nyata ketimbang Lucas, Spielberg, mungkin Cameron. Kalau EEAAO bisa menang kenapa film-film Nolan malah tidak? Kenapa Civil War: Avengers juga tidak? Atau, kenapa Avatar Cameron tidak? Bukankah itu penemuan yang paling gemilang, mentereng, dan menghasilkan?
Sistem penilaian yang sok ketat dan hasil-hasil yang tak akurat inilah yang membuat Oscar bagi saya cuma serangkaian ajang turistik saja, tidak kompatibel, bukan penghargaan yang menghargai film seutuhnya. Coba cek, kalau ditilik lagi dalam-dalam, sineas-sineas luar biasa baik di dalam Hollywood maupun luar Hollywood tak ada yang memasang raut bahagia nan bangga ketika mendapat kesempatan hadir atau menang di Oscar. Hitchcock hanya mengucap ‘terima kasih’ ketika pidato kemenangannya—Ostlund tampak biasa-biasa saja karena sudah mengantongi 2 Palme d’Or yang lebih terpercaya. Lynch jarang duduk, atau bahkan memang tak pernah, atau juga memang tak ingin ada di bangku-bangku Oscar. Loach malah tak berharap ada di Oscar. Apalagi Kar-wai. Apalagi orang sekelas Tarkovsky dan Jodorovsky.
Kalau memang Oscar diorientasikan untuk film-film kelas hiburan—bukankah The Banshees of Inisherin lebih kuat pada tahun ini? Itu pula yang terjadi dengan Civil War: Avengers 2016 lalu? Yang tak masuk nominasi, yang lebih menghibur ketimbang Moonlight yang datar dan berpola lurus-lurus saja. Mungkin tak hanya menghibur, namun juga berbobot—tetapi kenapa The Pianist karya Jane Campion tak menang? Bukankah itu film sangat berbobot. Dan Fargo oleh Joel & Coel, dan Arrival, dan Life is Beautiful, dan Saving Private Ryan, dan masih berlimpah lagi. Sudah sejak lama pengamat mempertanyakan dan melemahkan Oscar tapi ia tak kunjung berbenah. Kadang ikut arus populer, kadang di luar genetiknya sendiri, dan kadang mengikuti keinginan masyarakat untuk siapa yang berhak jadi juaranya.
Ini yang kemudian berdampak pada kategori-kategori primer lainnya seperti Best Actress, Best Actor, Best Supporting Actress, Best Supporting Actor. Kemenangan Jamie Lee Curtis dipertanyakan ketepatannya; apakah memang pantas, di samping peran Angela Basset yang benar-benar totalitas? Jamie Lee Curtis memang orang lama dan tak pernah masuk nominasi. 2023 ia diuntungkan dengan dapat langsung naik ke podium memberikan pidato kemenangannya. Namun peran Jamie Lee Curtis dalam EEAAO sangatlah minor—persis dengan Maheshala Ali pada Moonlight yang minor tapi malah berkesempatan memenangkan penghargaan kategori serupa. Ini memperjelas kepincangan Oscar sebagai penghargaan yang kompetitif.
Peran memukau Ke Huy Quan memang dapat ditimbang-timbang—dan ia bisa dibilang memang layak untuk menerima Oscar—meski ada yang lebih layak. Namun adalah Brendan Fraser yang mendapuk best actor melahirkan tanda tanya dengan sendirinya. Kenapa bisa Brendan Fraser? Padahal di sampingnya bersanding itimasi Elvis Presley, seorang tolol yang kesepian di pedesaan Inisherin, birokrat tua yang menuju kematian, sampai seorang ayah muda yang harus menyembunyikan depresinya dari putri semata wayangnya.
Ketidakakuratan Oscar pada ragam kategorinya semakin jelas (walau sudah sejaka tahun-tahun dulu) ketika Michelle Yeoh injak kaki di panggung dan menyampaikan kegembirannya di podium. Lawan-lawannya, sebut saja Anna de Armas si Madonna yang sudah totalitas walau kurang memasang wajah binal, Michelle Williams yang jarang dilirik namun masih muda, dan Cate Blanchett yang memang sudah pernah mencicipi, pun perannya sebagai Lydia Tar bukan peran terbaiknya—tampak akan masih punya kesempatan di lain waktu. Namun bagaimana dengan Andrea Riseborough yang sangat berkualitas dalam perannya di To Leslie; gila, cemerlang, dahsyat, dan sangat berintegritas. Sepertinya sulit melihat peran yang demikian lagi. Tentu bila disandingkan dengan Yeoh dan nominasi lainnya, bagaikan langit dan bumi tapi sedikit di pucuk-pucuk gunung. Fakta Yeoh lebih memiliki jam terbang lebih dulu memang tak bisa dibantah. Namun fakta Andrea yang pantas mendapuk Oscar tahun ini juga tidak bisa dibenamkan begitu saja.
Hanya dengan logika dan sedikit pengalaman menonton sebenarnya kita sudah mampu meragui Oscar sebagai penghargaan yang ‘katanya’ prestisius itu. Cukup lihat dan nikmati suasana, keglamoran, keseruan, dan kekocakan tolol dari Oscar adalah jalan alternatif membanggakannya sebagai penghargaan yang ‘internasional’. Lebih dari itu, AAEEO memang layak. Meski film-film Nolan lebih layak.