“Tidak ada film yang baik dan buruk, yang ada hanya sutradara yang baik dan buruk.”
– Francois Truffaut
Seperti air mata, film, adalah sesuatu yang dapat dipahami tanpa kata-kata. Ia mengungkap banyak hal, mengutarakan suatu keresahan, dari yang personal sampai ke yang universal—melalui bahasanya sendiri. Bahasa yang menembus batasan waktu, ruang, dan dimensi. Bahasa yang mencampuradukkan antara yang transenden dan yang imanen. Bahasa yang menjalin-kelindankan yang tampak dan tak tampak.
Bahasa sinematik, semenjak penemuannya memiliki kemungkinan-kemungkinan yang demikian luas dalam menjangkau yang jauh, dan mengimprovisasi yang dekat. Lewat film dan bahasanya, apapun bisa terbentuk; bentuk ingatan yang retak, bentuk kesedihan yang kukuh, sampai dengan bentuk kematian yang kelam. Bahasa sinema lebih mencengkram dibandingkan bahasa lisan. Bahasa sinema mendobrak ekspresivitas yang terbatas pada kondisi riil primordial kehidupan kita. Bahkan, ia dapat lebih puitis dari puisi, atau, lebih diam dari kata diam itu sendiri.
Oleh karena itu, film, barulah sempurna ketika ia mampu meleburkan bahasa lisan, atau minimal mengendurkannya—yang pada kemudian menyediakan kawasan bagi akumulasi gambar-gambar untuk dapat lebih leluasa menubuh, membangun satu kesatuan yang bakal menjembatani antara sinema dan penontonnya yang kerap berjarak.
Sepanjang perjalanan sinema, sulit melacak 10 tahun terakhir ini sineas-sineas yang bermain di lini tersebut; yang mengemukakan maksud atau makna dengan bahasa sinematik, dan mengeksplor lebih dalam lagi potensi teknik dari medium film. Sekalipun kita bergeser jauh ke rentang dekade 50-an sampai 90-an, film-film tak cukup banyak memanfaatkan bahasa gambar sebagai pialang sentral atas terjamahnya makna, maksud, dan tujuan oleh para penonton, pegiat, maupun kritikus.
Film, selalu ramai oleh bahasa lisan, dialog-dialog, di samping shot per shotnya yang bobrok. Ditambah lagi latar musik yang tak jelas juntrungannya, kehilangan esensinya dalam pengembangan naratif sebuah film. Namun di sini, yang perlu dicatat bahwa bahasa lisan bukan berarti semena dipahami sebagai instrumen yang tidak punya kedudukan. Ia jelas fundamen, apalagi menyangkut struktur kisah. Hanya saja, bahasa lisan tak bisa ekuivalen, atau senilai dengan bahasa gambar. Ia tak menjadi poros paling utama pada seni film itu sendiri.
Sebab sebenarnya, juga yang perlu kita ketahui, bahwa film-film yang memuat banyak dialog seperti di antaranya Pulp Fiction, Manchester by the Sea, Forrest Gump, The Square, I Daniel Blake, Fight Club, Green Book dan yang sejenis-sejenisnya, menjadi menarik bukanlah dari dialog yang menunjang ceritanya, melainkan dari unsur potogenik yang pintar—yang terwujud di dalam film. Itu yang membikin penonton bertahan untuk menikmatinya, tak menjenuhkan.
Memang pada kenyataannya tak keseluruhan, dan memang selalu ada yang bercorak di tengah gebalau bahasa lisan dalam film, dan inilah yang ingin saya contohkan; yakni sineas-sineas yang meramu sinematiknya sendiri dengan baik, seperti Andrei Tarkovsky, Krzysztof Kieslowski, dan Wong Kar Wai. Ketiganya merupakan sineas yang menurut pandangan saya, adalah pusat dari terkoneksinya pelbagai film. Dengan bahasa lain; induk tata surya ‘perfilman’ (agak berlebihan memang). Aspek teknik, dan segala kemungkinan yang dapat dicuil dari medium film telah dijajah hingga ke pangkal paling dangkal oleh mereka bertiga.
Kendati pernah pada 20 tahun setelah cinematographe Lumierre diciptakan, orang-orang seni rupa yang tergolong aliran dadaisme dan surealisme, dibersamai sineas berpengaruh Jean Epstein, menemukan setidaknya kurang lebih 3 bahasa sinematik yang cukup mapan. Yang nantinya menjadi pengaruh besar dari kemunculan jenis film eksperimental. Satu jenis film yang agak tidak jelas itu.
3 bahasa film ditemu-terapkan memang merupakan langkah yang sangat visioner pada masanya. Sebab dari penemuan itulah tercipta dinding pemisah antara teater dan film—yang mana selama ini, keduanya masih sama-sama saling bersitegang.
Namun tanpa maksud menyinggung atau menyakiti—sepanjang pembacaan yang saya lakukan, saya menemui bahwa; bahasa film, pada titik kulminasinya, menemui kesempurnaannya ketika Tarkovsky, Kieslowski, dan sineas Asia Wong Kar Wai, menerapkannya. Ketiganya menciptakan teritorial tuturnya sendiri yang berkarakter, juga otentik. Filmnya adalah dirinya sendiri, mereka tak bisa terpisahkan dari kekuatan tutur film-film mereka. Sehingga ketika orang-orang dunia menonton film-film mereka, takkan pernah ada yang menanyakan satu pertanyaan konyol seperti berikut, “karya siapa ini?”.
Sebab mereka telah terkonfirmasi, teridentifikasi dengan sendirinya lewat karakteristik sinema mereka masing-masing. Tarkovsky bergerak bebas dengan absurditasnya, perjalanan menempuh kesunyian, menggapai yang abstrak dan memilih meragukan yang konkret. Kieslowski mengandalkan potret relasi antar manusia melalui ketegangan, melankolia, dan kepedulian. Sementara Kar Wai meremukkan asumsi nakal publik terhadap cerita romansa dengan film-film cintanya yang bergaya, urban, dan estetika yang berkelas.
Nyaris keseluruhan dari film-film ketiga sineas tersebut, narasi dibingkai dengan dialog yang miskin, sangat fakir, dan tempo yang berlarut-larut. Ketiganya memilih bermain dalam gerak-gerik elemen tubuh para karakter, jagat tanda, dan horison bahasa visual yang terampil. Namun dari sanalah keindahan film-film mereka tercipta. Kata-kata sengaja dibikin tak memadai, dilelehkan, dimobilisasi ke jarak yang demikian jauh. Seketika bahasa gambar menunjukkan kinerjanya sendiri, dan seketika itu juga kita menyimpan tanya;
“Di dunia ini, air mata apa yang paling indah?”
Terbukti, film-film mereka melintasi dekade, melintasi masa, melintasi abad yang tak pernah menunda penghabisan. Film-film mereka adalah pusat utama dari suatau keindahan yang terdapat dalam rahim sinema dunia. Begitulah film terbaik tercipta, ia selalu lahir kembali (terestorasi) sebagai karya yang mahahebat. Ia dapat melebur ke dalam zaman yang telah kontras, menyatu-padu lewat bahasanya yang berhasil terpaku pada titik yang tak gamang, juga tak gamblang. Seperti puisi.