Kurang lebih 2 dekade sebelum lahirnya film eksperimental, pada awalnya medium film, yakni yang dimaksud merupakan akumulasi gambar yang bergerak, memiliki kegunaan, tujuan, dan harfiah yang terbatas. Ketika itu pada kenyataannya, Lumiere Bersaudara tidaklah benar-benar membuat film, begitu juga Edison, begitu juga Louis Le Prince. Mereka sekadar merekam suatu momen tanpa ada konsep yang jelas untuk sesuatu hal yang ingin disampaikan; buruh pulang kerja, buruh datang bekerja, buruh pulang kerja, begitu seterusnya. Film, di mata masyarakat dan penggunanya pada masa itu sebagaimana kamera perekam di mata kita untuk saat ini: merekam kejadian, keseharian, tanpa sekelumit maksud dan konsep—paling banter sebagai kenangan.
Barulah D.W. Griffith memanfaatkan penemuan ‘cinematographe’ Lumiere Bersaudara itu menjadi media dalam menyampaikan satu kesatuan cerita utuh yang terkonsep, terkonten, dan terkonteks. Langkah visioner itu disusul oleh beberapa seniman lain yang notabene datang dari orang-orang tonil, seniman pantonim Charlie Chaplin, juga pengembang mime artist Buster Keaton. Namun seiring itu juga polemik antara pegiat teater dan perintis film mencuat. Film, dianggap hanya sebagai sandiwara panggung yang direkam saja—bukanlah bagian seni yang memiliki keberadaannya sendiri.
Asumsi tersebut barangkali memang benar adanya—tak bisa dibantah. Sebab film tidak memiliki indikator atau ciri-ciri yang mutlak sebagai satu identitas seni. Film masihlah sangat terikat dengan struktur teater pada masa itu, dan para pegiatnya pun mayoritas berasal dari dunia sandiwara panggung, sampai warga Vaudeville. Meski sinema arus utama telah berkembang di Hollywood, film tetap saja tak memiliki eksistensi yang berarti dalam konstelasi dunia seni.
Lantas yang menjadi pertanyaan atas kegamangan ini ialah; kapan sebetulnya ‘film’ itu muncul sebagai film? Jawaban atas pertanyaan di samping sangat unik dan mengejutkan, bahwa tanpa dugaan; ‘film’ muncul sebagai film ketika satu orang yang bernama Jean Epstein, juga diikuti para pegiat seni rupa, di antaranya orang-orang dadais-surealis, melihat adanya kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari medium film—sebuah potensi kelahiran satu kesenian yang baru. Inilah yang kemudian mempengaruhi kelugasan Sergei Eisenstein, Luis Bunuel, Dudley Murphy, sampai Lev Kuleshov dalam melahirkan ragam bahasa sinematik, bahasa gambar, bahasa visual.
Seketika itu juga film terlepas dari belenggu pakem teater sewaktu menemukan bahasanya sendiri, yakni yang sekarang disebut sinematik. Dengan kata lain: bahasa film. Bahasa film bertumpu pada kekuatan editing terhadap fragmen-fragmen yang dihasilkan masa produksi. Gambar-gambar itu, selain skenario yang berarti, kelak menjembatani narasi antara sineas dan penontonnya. Dudley Murphy dibersamai Fernand Leger, seorang pelukis, mengeksplor semesta simbol yang dapat dikupas dari media film, yang kemudian melahirkan karya film eksperimental (yang barangkali pertama di dunia) berjudul Ballet Mecanique, tahun 1924.
Pada 1929 Luis Bunuel juga menggandeng kolaborator pelukisnya, Salvador Dali, dalam garapan Un Chien Andalou, sebuah film eksperimental. Begitu pun yang terjadi dengan proses kreatif Sergei Eisenstein dan Lev Kuleshov. Keterpengaruhan mereka akan tampilan film-film eksperimental melahirkan banyak teori editing dari tangan mereka seperti Efek Kuleshov (editing spasial) dan Soviet Montage—yang sampai saat ini masih awet dan banyak digunakan. Meski beberapa pendapat menyebutkan bahwa Efek Kuleshov telah ada sekitar tahun 1910-an, entah kenapa saya menyangsikan itu. Karena terasa aneh kalau melihat Kuleshov menciptakan teori sinema ketika ia berumur bocah, 11 tahun.
Namun keseluruhan di atas—kelahiran-kelahiran teori editing sinematik dari para sineas berpengaruh abad 20 itu, takkan bisa terjadi setidaknya jikalau Jean Epstein tak merevolusi inovasinya dalam film. Sentuhan editing tumpang tindih yang dibuka-tutup dengan efek fade, teknik close-up, dan kontinuitas naratifnya sangatlah mempengaruhi perubahan sinema pada masa itu—ia berhasil mengkonstruksi dinding pemisah antara mana yang teater dan mana yang film. Dan langkahnya itulah yang menyulut tercetusnya sinema avant-garde, sebuah film eksperimental yang pada kemudian hari mempengaruhi banyak gerakan-gerakan lahirnya pelbagai pendekatan film, gaya film, maupun teori film, hanya dengan cirinya yang mayoritas menggunakan potongan-potongan gambar.
Film eksperimental secara jelas menggabungkan aliran dadais-surealis yang ada pada seni rupa dengan medium film untuk melihat potensi filosofis yang dapat muncul dari sebuah sinema. Dengan pendekatannya yang mengkonvensi skema narasi ortodoks dalam film ke dalam bentuk yang lebih non-naratif—satu jalur alternatif di luar arus utama. Sederhananya, atau dengan kata lain penggambaran yang jujur terhadap film eksperimental, saya sebut sebagai ‘ketidakberaturan sinema’.
Kendati tidak jelas, film eksperimental merupakan konsep pendekatan yang membentuk ragam film yang dapat kita nikmati sampai sekarang ini. Film eksperimental menjadi salah satu tali yang menarik keluar film dari keterkungkungannya di tangan teater. Kekuatan pengaruh persuasif dari film-film eksperimental terhadap sinema juga melahirkan bermacam-macam idealis sinema di antaranya ekspresionisme Jerman, impresionisme Prancis, dan barangkali juga neorealisme Italia tak lepas dari film-film eksperimental yang nyaris kesemuanya berorientasi melawan arus utama. Film-film eksperimental juga yang nantinya, secara tak langsung, telah menjadi pengaruh besar dari munculnya Nouvelle Vague.
Pada masa sekarang, dekade-dekade dewasa ini, keberadaan film-film eksperimental tak menemui pemikatnya. Ini tak lain dan tak bukan karena ‘ketidakberaturan sinema’ itu sendiri. Di sisi lain, perkembangan film telah merubah ekspektasi pada pengalaman menonton seseorang. Film saat ini, mayoritasnya haruslah gamblang dan bersifat menghibur—sekalipun itu film-film artsy, sisi hiburan selalu diupayakan untuk ada. Titik terakhir dari kembalinya sorotan publik terhadap film-film eksperimental terjadi sewaktu karya Jean Luc Godard, The Image Book, mendapatkan penghargaan Istimewa Palme d’or Cannes 2018. Namun setelah itu, tak ada apapun. Film kembali menjelma kacang yang lupa kulitnya.
Tulisan ini sekaligus saya persembahkan untuk Michael Snow, seorang sineas film-film eksperimental yang pada 5 Januari 2023 kemarin menjemput kematiannya, tepat pada usia senjanya 94 tahun.