Si Kribo, demikian anak perempuan itu dipanggil. Meski menurutku panggilan itu tidak tepat pula untuk disematkan padanya. Barangkali aku memang tak pandai membedakan jenis-jenis rambut, tapi kurasa kata keriting, ikal atau bergelombang lebih tepat disematkan untuk menamai rambutnya.
Ah, anak-anak memang begitu, suka sekali melebih-lebihkan. Mungkin karena potongan rambutnya yang pendek, sehingga rambutnya yang keriting itu dalam sudut pandang teman-temannya tak jauh beda dengan kribo.
Ia adalah seorang anak perempuan yang bangkunya tak jauh dariku, tepatnya jarak dua meja di depanku. Di antara teman-teman sekelasku, si Kribo adalah seorang yang paling cengeng, barangkali jika ditanya hobi, menangis bisa menjadi sangat wajar kalau ditulis olehnya. Atau kalau ada perlombaan menangis, barangkali pula dia juara satu dan satu-satunya.
Aku yakin semua anak-anak pernah menangis, begitu pula denganku, aku pun pernah. Namun percayalah, si Kribo ini terlalu handal dalam hal menangis.
Misalnya saja kala bermain, ia selalu menjadi pihak yang kalah dan tak jarang dikerjai oleh teman-teman lainnya. Lama-lama ia muak juga, kemudian menangis. Ia memang bukan seorang yang pandai membalas kata-kata orang, bukan pula orang yang blak-blakkan dalam mengatakan perasaannya, pun bukan pula orang yang disegani oleh teman-temannya yang lain.
Bahkan kurasa ia adalah seorang yang memang selalu dijadikan kalah-kalahan oleh teman-temannya. Maka dari itu, menangis adalah senjata terbaiknya. Sebab tidak mungkin pula ia mengadu, bisa-bisa makin habis diejek pula. Pun kurasa tak akan berguna. Orang dewasa, dalam kasus ini adalah guru, hanya memberikan ceramah saja, setelah itu apa? Ia dicecar dengan label “tukang ngadu” lalu dipermainkan lagi. Tak ada yang berubah.
Seperti kejadian waktu itu, kala seorang teman menjahilinya. Barangkali niatnya memang bercanda. Kala tempat pensilnya disembunyikan, dan tak ada siapapun yang membantunya mencari atau minimal memberi tahu siapa pelakunya, tak ada.
Mereka bahkan turut menikmati raut kebingungan Si Kribo. Meski ia mencari ke tiap-tiap sudut kelas, tiada ia temukan. Karena sudah terlampau putus asa, ia lapor pada guru. Tahu apa jawab si pelaku?
“Maaf bu, saya cuma bercanda, Si Kribo saja yang terlalu berlebihan.” Ujar pelaku itu dengan raut sedih sambil menunjukkan jarinya ke arah si Kribo. Nampaknya si Kribo pun jengah, jengkel pada mereka-mereka yang mempermainkannya, ia terus bertanya-tanya, benarkah ini bercanda?
Teman-teman sekelasnya kian getol menjahili si Kribo, si tukang menangis, begitu pikir mereka. Sebab ia memang hanya pandai menangis. Ah, tidak! Seingatku si Kribo juga cukup bagus dalam memahami pelajaran.
Nah, ini dia. Meski mereka gemar menjahili Si Kribo, mereka gemar pula meminta bantuannya kala tidak paham akan sesuatu. Kala ujian pun mereka sering meminta contekan darinya. Barangkali si cengeng itu terlalu baik hati, sampai-sampai pada teman-teman yang sering mengerjainya pun ia bantu pula. Atau mungkin lebih tepatnya ia terlalu naif saja? Entahlah.
Namun si Kribo memang termasuk orang yang pandai, walau secara rangking ia bukan peringkat pertama, tapi ia termasuk peringkat 5 besar di kelas. Bukankah itu juga sudah bagus? Setidaknya orang seperti si Kribo masih memiliki hal yang dapat diunggulkan, selain kecengengannya.
Dengar-dengar guru-guru juga cukup menyenangi kepandaiannya, ia mudah memahami pelajaran, sering menjawab benar soal yang diajukan, dan kebanyakan nilai tugasnya cukup bagus. Tapi sayangnya itu hanya setitik sisi baik dari si Kribo atau barangkali sepotong keberuntungan yang dimilikinya.
Sebab di dunia ini kepandaian dan perilaku baik saja tak pernah cukup. Mereka yang punya wajah cantik atau tampan selalu menjadi perhatian guru dan memiliki nilai plusnya tersendiri. Tak peduli bagaimana kepandaian atau perilakunya, selama wajahnya good loking, maka itu cukup untuk membuatmu disegani dan diperhatikan.
Banyak contohnya di sekitar, pun khususnya di kelas. Sayangnya, wajah si Kribo jauh dari kata cantik, tentu aku tidak akan mengatakan jelek. Hanya saja rambutnya yang keriting dan pendek, bahkan banyak orang menganggapnya kribo, kulitnya yang gelap, dan tubuhnya yang pendek, tentu membuatnya kalah saing soal wajah dibanding temannya yang lain.
Bahkan pernah ada seorang guru yang mengidentikkan rambut si Kribo dengan sebuah cangkriman bahasa jawa, wiwo wit e, lesbo godhonge. Meski jujur saja, aku tidak paham apa kaitannya, sebab jika melihat arti dari cangkriman itu sama sekali tidak pas jika dikaitkan dengan rambut si Kribo.
Namun, teman-teman sekelasnya peduli apa. Bagi mereka itu adalah cara baru mengejek Si Kribo. Jujur saja, aku percaya bahwa niat guru itu hanya bercanda pun juga teman-teman lain yang turut mengejeknya.
Namun, melihat raut wajah geram si Kribo, harusnya semua orang tahu, itu bukan lagi hal yang lucu. Sebab aku sadar, bahwa nama pemberian orang tua adalah doa, tentu setiap orang tua berharap doa itu akan turut diamini pula bersamaan dengan terucapnya nama.
Selain guru itu, ada pula pernah kudengar seorang guru yang mengkritisi rambut Si Kribo dengan berkata “rambut kok keriting!”. Aku sendiri tidak paham, seberapa dosakah memiliki rambut keriting sampai-sampai sering menjadi bahan ejekan tiada berujung?
Sedari tadi yang kuceritakan hanya tentang si Kribo yang cengeng dan kerap dikerjai, lantas bagaimana dengan teman, apa ia tidak punya teman dekat? Kujawab, tentu saja punya. Setahuku ia punya dua orang teman dekat.
Barangkali pertemanan mereka adalah sebuah keharusan, karena mereka bertetangga dekat dan sering bermain bersama sejak kecil. Maka mau tidak mau mereka menjadi teman dekat. Sebab pada kenyataannya mereka pun tak jauh beda dari teman-teman Si Kribo yang sering menjahilinya. Andil mereka pun tidak sedikit pula.
Menurutku si Kribo bodoh, sudah sangat jelas ia adalah orang yang dipinggirkan dari pergaulan. Dua temannya itu, rasanya hanya menjadikan si Kribo orang ketiga, pengganggu, dan tidak seharusnya hadir dalam pertemanan. Namun ia betah saja, dan dengan naifnya tetap berteman dekat dengan mereka.
Kalau boleh dibilang, menurutku ia hanya seorang yang dimanfaatkan, sebab kenaifannya, dan sebab keterlalubaikannya. Ia tak menyadari betapa tak diharapkannya dirinya atau bahkan seberapa mengganggu dirinya. Namun, di sisi lain kalaupun ia sadar, bisa betindak apa si Kribo?
Ya, itu hanyalah kisah masa SD. Kalau kita mengingat kisah itu hari ini, barangkali kita hanya akan tertawa, mengingat betapa bodohnya si Kribo yang gampang menangis, gampang mengadu, dan gampang pula dipermainkan.
Atau tertawa-tawa kala mengingat betapa serunya mengerjai Si Kribo, membuatnya kesulitan, ah betapa menyenangkannya candaan itu. Ya, semua tawa itu menggema memenuhi ruangan kecil ini. Sebuah ruang tamu di salah satu rumah teman SD-ku dan si Kribo dahulu. Salah seorang teman mengadakan acara buka puasa bersama sekaligus reuni masa SD. Semua hadir, kecuali si Kribo.
Tidak ada yang tahu, mengapa si Kribo tidak hadir meski telah diundang. Meski dalam hati, aku yakin betul bahwa undangan untuk si Kribo hanyalah sebuah formalitas sebab sama-sama teman masa SD. Mengapa aku begitu yakin?
Karena setelah lulus SD, si Kribo melanjutkan ke sekolah yang bisa dibilang cukup jauh dari rumahnya, dan tentunya tidak ada seorangpun dari teman SD-nya yang satu sekolah dengannya. Maka sejak saat itu pula, ia tidak lagi akrab dengan siapapun dari teman masa SD-nya dan punya dunianya sendiri. Meski setiap kali aku berpapasan dengannya, ia tak pernah lupa melontar senyum ramahnya.
Di sela-sela gemuruh tawa itu, salah seorang teman berceletuk padaku yang sedari hanya diam dan tidak ikut serta tertawa. “Tapi asli ya, momen yang paling sulit lupa itu pas lihat wajahnya si Kribo waktu kamu ambil tempat pensilnya itu loh, sampai sekarang aku gak bisa lupa loh saking lucunya.” Dan lagi, gelak tawa itu kembali berdengung bak lebah bising.