Setelah menonton film ini jiwa saya sempat terguncang. Penyebabnya karena selain adrenalin saya yang diajak terjun bebas, ada emosi yang benar-benar dipermainkan.
Sebelum menonton film ini, saya tidak punya ekspektasi tinggi. Apalagi saya tidak menonton trailernya terlebih dahulu. Saya pikir, ini hanya akan menjadi horor tipikal seperti pendahulunya macam kKN di Desa Penari atau film horor yang menjual label adat atau budaya tertentu termasuk agama.
Jujur saja, setelah KKN di Desa Penari, saya sedikit menurunkan ekspektasi horor saya. Meskipun ada titik di mana saya kembali bergairah ketika menyaksikan Sewu Dino, dan kembali merosot setelah banyaknya film horor yang begitu memanfaatkan keeksotisan budaya jawa dan hal hal yang sifatnya religius. Saya tidak menyebut film horor yang membawa tema semacam itu buruk, tapi terlalu banyak film tipikal yang membuat seakan-akan tidak ada hal lain yang bisa dieksplor oleh para penulis naskah. Namun saya mulai sadar bahwa Di Ambang Kematian punya pembawaan yang berbeda.
Kembali kepada film Di Ambang Kematian, saya tidak menduga jika sejak awal sudah harus disuguhi teror dari sakit tokoh Ibu. Dari sana saya mulai yakin film horor ini cukup menjanjikan. Ditambah dengan misteri-misteri yang mulai disajikan sedikit abu-abu sebelum pada sequence selanjutnya diwarnai dengan nuansa lebih gelap.
Saya juga tidak menduga bahwa pacing dari film ini ternyata cukup tinggi. Kita tidak diberikan jeda yang cukup untuk menarik nafas panjang. Teror-teror terus berdatangan diselingi intrik-intrik keluarga yang cukup baik dieksekusi oleh Rifnu Wikana dan anak-anaknya.
Meninggalnya tokoh Ibu di awal mengingatkan saya dengan film Kafir yang pada awal ceritanya dimulai dengan kematian si bapak. Dari awal saya coba menebak-nebak apakah film ini akan mengcopy-paste film tersebut atau hanya meniru formula awalnya saja. Dialog-dialog yang dibangun di awal pun semakin menambah keyakinan saya bahwa film ini punya potensi yang berbeda. Sampai menjelang pertengahan, saya merasakan hal yang baru kali ini saya rasakan ketika menonton film horor. Yaitu rasa haru dan ingin menangis. Ketika mereka bertiga mengenang ibu dan penyesalan si bapak, tapi semuanya tidak bisa dihentikan dan apapun yang terjadi, mereka harus tetap melanjutkan segalanya.
Ada beberapa bagian cerita yang seharusnya bisa dieksplor lebih banyak. Semisal bagaimana usaha si bapak untuk menghentikan perjanjiannya dengan iblis, dan peran tokoh Nabastala yang seharusnya bisa jauh lebih dalam. Saya kira, film ini menyia-nyiakan peluang itu. Karena konflik-konflik eksternal juga punya potensi mewarnai intrik dalam keluarga mereka. Sayang sekali.
Atau beberapa jumpscare yang tipikal dan tidak terasa begitu mengagetkan, berulang-ulang dan terlalu biasa saja. Apalagi dua proses kematian setelah sang Ibu, buat saya itu terlalu biasa. Saya pernah melihatnya di film Kuntilanak 3 tahun 2006 dan film lain yang menampilkan proses pembunuhan dengan cara dibanting dan dihempaskan. Yang baru saya lihat adalah si Ibu yang menenggelamkan wajahnya di air mendidih. Sangat-sangat menegangkan.
Terlepas dari itu, hal yang perlu lebih diperhatikan mungkin color grading ketika scene hutan yang menampilkan suasana antara sore malam atau subuh. Semuanya abu-abu. Dan satu hal lagi, saya menyayangkan ending film ini yang terkesan mengabaikan kehadiran si makhluk atau dukun-dukun yang sempat ditemui si Bapak.
Tetapi saya mengapresiasi film ini yang dengan begitu berani tidak memasukkan unsur agama seperti ustaz. Tokoh dukun juga seperti tidak punya peran apa-apa dalam film ini. Film ini murni berdiri di atas kemapanan cerita keluarga yang sudah tersesat dan mencoba menyelami kesesatan itu tanpa tahu harus meminta bantuan ke mana dan pasrah menerima segala kemungkinan teror dan giliran kematiannya.
Lebih dari itu film ini sangat layak ditonton bagi kalian yang suka drama tapi juga haus adrenalin. Film ini menyajikan sesuatu yang berbeda meskipun masih banyak kekurangan. Jika dinilai dengan angka, 7,5 adalah angka yang saya berikan untuk film ini.