Bosku pernah bilang, kita harus magang terlebih dahulu di dunia fana. Dengan begitu, kita jadi bisa memahami keunikan makhluk yang bernama “manusia”.
Aku yang waktu itu masih bingung bertanya, kenapa repot-repot memahami mereka? Toh, nantinya jiwa mereka akan kami panen seperti apel. Makhluk rendahan sekelas manusia, tidaklah layak untuk kami perhatikan.
Aku bahkan sudah mendengar berbagai kisah menjijikkan tentang manusia yang bisa membunuh keluarganya sendiri. Tidak hanya itu, mereka sanggup melakukan segala cara demi memenuhi keserakahan mereka akan uang, termasuk berpaling dari Tuhan.
Jadi aku harap, si Nenek Tua mau memberiku sedikit pencerahan. Namun, bukannya menunjukkan arah pada domba tersesat sepertiku, dia tersenyum secara misterius. Katanya, aku akan menemukan sendiri jawabannya dan jangan ingin tahu terlalu banyak jika belum waktunya.
***
Siang itu, matahari serasa berada tepat di atas kepala. Langit biru terang tanpa awan yang terlihat. Bunyi serangga musim panas yang hinggap di pepohonan berdengung menusuk gendang telinga.
Jujur, kalau bisa komplain pada departemen yang mengatur cuaca, aku ingin sepanjang tahun hanya ada musim dingin di kota ini. Sehingga aku tidak perlu bernostalgia dengan keadaan di neraka. Sayangnya, departemen kematian tidak boleh mencampuri urusan departemen lain.
Kalau dihitung-hitung, sudah hampir 30 tahun aku magang dan berbaur dengan manusia. Itu artinya, sebulan telah berlalu di dunia bawah. Benar-benar membuatku rindu akan kampung halaman.
Namun, aku juga mulai kecanduan dengan hiburan di dunia fana. Seperti bermain media sosial dengan ponsel pintar—yang susah payah kubeli—dan menonton berbagai film di televisi. Aku tidak yakin apakah sanggup meninggalkan barang-barang canggih ini dan kembali menjalani kehidupan primitif yang membosankan. Mengingat, masa magangku berakhir dalam enam bulan.
Mengenai pekerjaan apa yang dilakukan oleh malaikat magang seperti kami, itu tidak jauh-jauh dari mencegah para manusia agar tidak meracaukan waktu kematian. Seandainya mereka sedikit disiplin, kami tidak akan terlalu menderita.
Namun, maklum saja, kebanyakan manusia memegang prinsip: penyesalan selalu di akhir, aturan ada untuk dilanggar, bergosip bagaikan bernapas, dengki adalah gaya hidup, dan hal bengkok lainnya. Tidak heran mereka bertindak seenak jidat.
Ambil contoh, ketika mereka punya sisa waktu sekitar 20 tahun, beberapa orang memilih mati lebih awal dengan cara bunuh diri. Atau ada juga orang tua gila kekuasaan yang mempelajari alkimia untuk memperpanjang umur—padahal sisa waktu mereka tinggal menghitung bulan.
Tidak tahukah mereka, jadwal kematian jadi kacau balau—karena keegoisan mereka—dan para magang seperti kami harus bekerja lembur bagai kuda? Sungguh ironis.
“Hei, Gadis Kecil, jangan melompat!”
Inilah yang kulakukan sekarang, membujuk seorang gadis berseragam SMA agar tidak lompat dari gedung sekolah.
“Senior, kamu tidak tahu apa-apa soal penderitaanku.” Gadis kucir kuda itu menatapku dengan mata memerah. Di wajahnya seolah-olah tertulis, “Jangan pura-pura mengerti karena itu menjijikkan.”
Fokusku sempat teralih pada panggilan “senior”. Tidak sia-sia aku menyamar jadi murid tahun ketiga SMA, pikirku. Aku tidak ingin lagi dipanggil paman seperti terakhir kali ketika bertemu dengan bocah sepuluh tahun.
“Aku tahu semua tentangmu,” kataku sambil kembali berkonsentrasi pada misi. Aku perlahan mendekat, selangkah demi selangkah, lalu menghafalkan data dengan cara yang sistematis. “Namamu Nirmala, dipanggil Mala. Usia 17 tahun. Kakakmu sudah meninggal. Ayahmu punya selingkuhan yang dua tahun lebih tua darimu. Dan laki-laki yang jadi pacarmu selama dua tahun malah selingkuh dengan sahabatmu. Kamu merasa Tuhan tidak adil, jadi kamu ingin bunuh diri. Bukankah begitu?”
“Kamu penguntit?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Mala melangkah mundur hingga tubuhnya membentur pagar pembatas. Angin berembus dan rambut yang diikat dengan karet gelang murahan putus. Rema hitamnya terurai sampai punggung.
Aku memelototinya dengan sombong, kemudian mendengkus. “Tidak bisakah kamu lihat wajah tampan ini adalah malaikat? Tuhan itu adil, aku dikirim ke sini untuk mengabulkan permohonanmu agar kamu tidak jadi bunuh diri.”
“Benarkah?” Mala menatapku penuh kecurigaan. “Apa pun permohonanku?”
“Jangan naif, Gadis Kecil.” Aku tidak tahu dari mana datangnya kepercayaan diri bahwa dia dapat meminta apa pun tanpa usaha. “Permohonannya harus wajar, jangan melangkahi hukum surga,” jawabku serius.
“Kalau begitu ….” Entah kenapa aku punya firasat buruk karena Mala begitu ragu-ragu. “Maukah Senior menjadi pacarku? Mungkin aku akan bahagia dan tidak akan memikirkan bunuh diri lagi.”
“Apa katamu?” Aku melompat kaget. Sama sekali tidak dapat mengikuti pemikiran anak-anak zaman sekarang.
“Jadi pacar, sepasang kekasih, hubungan seperti itu,” jelas Mala malu-malu. Entah ke mana perginya ekspresi frustrasi, garang, dan kesal yang tadi dia tujukan. “Oh, tapi kalau Senior keberatan, kita bisa hanya pacaran kontrak.”
Sial, aku tidak pernah mendapat kasus seperti ini sebelumnya. Apa pengalaman 30 tahunku sama sekali tidak berguna?
Keringat dingin membasahi keningku. Aku benar-benar gugup karena mendapat pernyataan cinta dari bocah ingusan yang umurnya jauh beda denganku.
“Bagaimana kalau aku membantumu pacaran dengan orang lain?” tanyaku mencoba bernegosiasi.
“Itu tidak akan berhasil,” kata Mala sambil merapikan rambut. Dia mengambil pulpen dari saku, lalu menusuk rambutnya yang digulung ke atas. “Orang yang mau repot-repot mencegahku bunuh diri hanyalah Senior. Bukan orang lain. Aku juga sudah bersumpah, jika ada satu orang saja yang masih peduli padaku, tidak ada salahnya bertahan sedikit lagi. Dan Tuhan menjawabnya.”
Aku tertegun. Entah kenapa, aku mulai merasa manusia sedikit menarik. Kadang mereka bodoh dan keras kepala, rela menggantung harapan terakhir pada kemungkinan yang mendekati 0%.
“Baiklah.” Aku mengangguk. “Mari pacaran selama setengah tahun, tidak perlu jadi pasangan pura-pura.”
“Jangan menyesal.” Mala tiba-tiba tertawa. Tawa yang lepas, tanpa beban, tanpa kekhawatiran. Dia lalu melemparkan dirinya ke arahku, memelukku secara mendadak. “Senang bertemu denganmu lagi, Paman!”
Mataku melebar, dan aku teringat pada bocah sepuluh tahun yang tidak sengaja kutemui di hari pemakaman kakaknya 7 tahun lalu.
Jadi … itu kamu.
***
Darah merah kental yang menggenang di jalan disapu oleh air hujan. Aroma anyir samar-samar masih tercium. Mayat perempuan berusia 30 tahunan itu memiliki wajah yang hancur karena bergesekan dengan aspal saat tubuhnya ditabrak. Meski begitu, aku tahu dengan baik, siapa wanita yang jiwanya harus kupanen hari ini.
Dadaku tidak nyaman. Sesak. Rasanya baru 15 hari lalu masa magangku berakhir. Aku ingat bagaimana dia masih berguling di pangkuanku seperti anak manja sambil memakan jeruk. Mengoceh dari satu topik ke topik yang lain. Seolah-olah setiap detiknya berharga.
Setelah menatapnya sekitar setengah batang dupa, aku mengambil benda yang dia cengkeram kuat-kuat di tangannya. Hasil fotobox 15 hari lalu—oh, tidak, tepatnya 15 tahun lalu—saat kami pacaran. Di belakangnya tertulis, Malaikat tampan yang memberiku tujuan hidup. Terima kasih banyak, Ray.
Tenggorokanku kering. Aku bingung harus menatap ke mana karena wajah gadis di depanku dengan di foto terus-menerus tumpang tindih.
Dia pasti kesakitan.
Tampaknya aku masih tidak dapat memahami manusia dengan baik. Buktinya, kenapa Mala harus mati dengan cara yang begitu bodoh? Dia berlari ke tengah jalan hanya untuk memungut foto lusuh ini?
Pipiku basah. Entah akibat air hujan atau air mata. Pikiranku terlalu kacau untuk memusingkannya. Ada sensasi tercabik-cabik yang membuatku kesakitan hingga gila. Aku tidak ingin tahu apa nama emosi yang menyedihkan ini—meski samar-samar menebaknya.
Benar, tugas tetaplah tugas. Setidaknya aku harus berhasil menyelesaikan pekerjaan pertamaku. “Ayo kita pergi, Mala,” kataku. Kemudian dengan hati-hati memasukkan gumpalan jiwa Mala yang bersinar seperti kunang-kunang ke dalam labu jiwa. Menutupnya erat-erat.
Aku tahu, sejak awal, kami bukanlah makhluk yang ditakdirkan untuk bersama.