Tidak bisa dinafikan bahwa bunyi gamelan telah melampaui kodratnya sebagai bunyi. Bunyi gamelan menyimpan puspawarna nilai, makna, maupun kisah yang seolah-olah menunggu untuk dibongkar. Salah satu nilai yang kerap luput dikisahkan dalam gamelan ialah ketertautannya dengan perempuan. Selama ini, gamelan dan perempuan jaraknya terasa jauh. Seolah-olah ada sekat yang menghalangi kedua unsur tersebut. Padahal, dalam realitasnya, gamelan telah membekukan ketertautannya dengan perempuan. Salah satunya dapat dibaca dari keberadaan instrument bonang dalam gamelan ageng.
Saya pernah menulis esai cukup panjang bertajuk “Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan” (2022). Esai tersebut mengisahkan tentang nilai keseimbangan antara laki-laki dan perempuan yang termanifestasikan dalam instrument bonang. Instrument bonang terdiri dari beberapa pencu. Pencu-pencu itu ditata berjajar sejumlah dua baris. Baris atas merupakan bonang yang mempunyai nada tinggi (disebut bonang lanang). Sedangkan, baris bawah merupakan bonang yang mempunyai nada rendah (disebut bonang wadon). Dalam permainannya, bonang lanang dan wadon ditabuh secara bersamaan. Hal itu lantas mengumandangkan keharmonisan nada yang tersusun dari frekuensi bunyi tinggi dan rendah.
Bonang lanang dan wadon merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara musikal. Apabila salah satunya hilang, maka keharmonisan musikal terasa tidak utuh. Hal itu selaras dengan peristiwa dalam kehidupan bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu kesatuan. Kaum laki-laki tidak akan utuh tanpa adanya kaum perempuan. Keharmonisan tidak akan menggema tanpa sentuhan perempuan. Dalam hal ini, instrument bonang mengejawantahkan nilai keseimbangan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, ditemui kisah lain dalam gamelan yang menunjukan ketertautannya dengan perempuan. Kisah tersebut termuat dalam gamelan kodhok ngorek.
Gamelan Kodhok Ngorek
Gamelan kodhok ngorek merupakan salah satu perangkat dalam rumpun gamelan pakurmatan. Dalam jejak yang ada, gamelan kodhok ngorek dinisbatkan sebagai perangkat tertua dalam rumpun ini. Ia laksa lakon pembuka dalam lanskap gamelan pakurmatan. Ihwal lahirnya gamelan kodhok ngorek, Padmosusastro (1898:356) dengan runtut mengisahkannya. Kala itu, Prabu Lembu Amiluhur telah gugur. Raden Panji Inokartapati sebagai pewaris tahta lantas menggantikannya sebagai raja Jenggala. Untuk melegitimasikan kuasanya, Prabu Panji Inokartapati kemudian meminta Prabu Suryawisesa membuat gamelan. Pada tahun 1223-1224 masehi, mandat itupun ditunaikan oleh Prabu Suryawisesa dengan menggubah gamelan kodhok ngorek. Gamelan itu lantas ia beri nama Kyai Jatingarang.
Gamelan kodhok ngorek terdiri dari beberapa instrument, di antaranya: 1) bonang, 2) kecer, 3) rijal, 4) penonthong, 5) rojeh (klinthing dan gentha), 6) kenong, 7) kendhang penetheg ageng lan alit, 8) gong, 9) gender, serta 10) gambang gangsa. Di antara instrument-instrument tersebut, ada satu instrument fundamental dalam gamelan kodhok ngorek. Instrument tersebut ialah instrument rijal.
Secara musikal, instrument rijal dijadikan sebagai pusat bunyi dari gamelan kodhok ngorek. Hal itu tidak terlepas dari kisah yang melatarinya. Padmasusastra (1898:357) menerangkan bahwa penggubahan gamelan kodhok ngorek diilhami oleh suara alam di malam hari—yang oleh masyarakat dulu disebut rijal. Kumandang rijal itu lantas diinterpretasikan oleh Prabu Suryawisesa menjadi gamelan kodhok ngorek. Bahkan, Prabu Suryawisesa secara khusus memanifestasikan kumandang rijal menjadi sebuah instrument yang disebut juga dengan rijal.
Selanjutnya, gamelan kodhok ngorek hanya dikumandangkan pada waktu-waktu tertentu saja, terutama hari-hari besar. Ada tiga catatan yang menjelaskan mengenai kegunaan dari gamelan kodhok ngorek. Pertama ialah catatan Warsadiningrat (1950:43) yang menerangkan bahwa gamelan kodhok ngorek dikumandangkan kala: 1) upacara grebeg, seperti grebeg maulud, grebeg pasa, dan grebeg besar; 2) memperingati hari ulang tahun raja, 3) mengiringi aben-aben atau mengadu kerbau dengan macan, dan 4) untuk mengiringi penisbatan suatu daerah sebagai daerah sima. Ke dua ialah catatan Padmasusastra (1898:505) yang menambahkan bahwa gamelan kodhok ngorek digunakan untuk jumenengan raja atau kenaikan seorang raja. Terakhir ialah buku Rahayu Supanggah (2002) yang menerangkan bahwa gamelan kodhok ngorek digunakan sebagai tengara untuk memberitahukan kelahiran maupun kematian keluarga kerajaan yang perempuan.
Gaung Feminim
Dalam pandangan karawitanologi, gamelan kodhok ngorek seringkali diasosiasikan sebagai gamelan yang bersifat feminim. Sifat itu sebenarnya telah disinggung oleh Supanggah dalam bukunya yang bertajuk Bothekan Karawitan 1. Supanggah (2002:34) menyebutkan bahwa “gamelan kodhok ngorek mempunyai karakter bunyi yang halus dibandingkan dengan gamelan sepantarannya, yakni gamelan monggang”. Dalam realitasnya, gamelan monggang memang terasa lebih keras dan lantang. Ironi dengan gamelan kodhok ngorek yang cenderung halus.
Kehalusan bunyi yang termuat dalam gamelan kodhok ngorek itu dapat dibaca lebih rinci melalui musikalitas yang termuat di dalamnya. Gamelan kodhok ngorek merupakan gamelan berlaras pelog sekaligus slendro. Ada instrument berlaras pelog dan ada instrument yang berlaras slendro. Kendati begitu, jamak yang memandang bahwa gamelan ini berlaras pelog.
Pradjapangrawit (1943:43) dalam Serat Wedhapradangga Jilid 1-2 menerangkan bahwa “gamelan kodhok ngorek merupakan gamelan dwi nada, yakni nada 5 dan 6”. Dalam hal ini, nada 5 dan 6 merupakan nada yang paling dominan dimainkan. Ia digaungkan dari awal hingga akhir sajian repertoar tanpa terputus. Berbeda dengan instrument bernada lain yang hanya dimainkan pada bagian-bagian tertentu.
Dalam penyajiannya, gamelan kodhok ngorek memuat dua tempo, yakni tempo lambat dan tempo cepat. Kala tempo cepat, instrument-instrument bernada 5 dan 6 akan mendominasi permainan. Ia ditabuh secara repetetif dengan suara yang begitu nyaring dan menggaung. Akibatnya, bunyi yang dikumandangkan seolah sambung-menyambung membentuk sebuah untaian bunyi. Apabila mendengarkan bunyi tersebut dengan seksama, nuansa musikal yang dihadirkan terasa halus nan berwibawa.
Sedangkan, kala sajian bertempo lambat, instrument rijal, gambang gangsa, kecer, dan gender akan masuk dan menghiasi sajian. Masuknya instrument-instrument tersebut membuat sajian menjadi lebih ramai dan berisi. Hal itu berimbas pada lebih kuatnya nuansa halus dan berwibawa yang termuat dalam sajian bertempo cepat. Bahkan, terasa ada nuansa manis di dalamnya. Seolah-olah, pendengar dituntun pada potret seorang putri kerajaan yang tengah berdiri di depan singgasana. Ia tampak ayu, halus, dan penuh kewibawaan. Tatapannya begitu tajam namun menyemburatkan kemanisan.
Saya merasa bahwa nuansa manis yang ada itu cenderung berasal dari instrument rijal. Secara musikal, instrument rijal dipandang sebagai episentrum bunyi dari gendhing. Ia menjadi titik tengah dari keseluruhan bunyi yang ada. Bunyi rijal seolah mampu meratakan dengung dari semua instrument. Ia menyerap bebunyian yang ada, mengikatnya menjadi sebuah kesatuan bunyi, lantas menggelorakannya menjadi bebunyian yang harmoni. Barangkali, hal itulah yang membuat nuansa musikalnya menjadi manis.
Selain itu, nada yang dimuat oleh instrument rijal ialah nada panunggul atau nada 7. Secara musikal, nada tersebut merupakan bagian dari laras pelog. Hal ini mengartikan bahwa ada pertemuan antara laras pelog dan laras slendro dalam satu sajian. Alih-alih bertabrakan, bunyi yang ada justru bersenyawa. Terlebih nada 7 dalam instrument rijal yang sangat pekat terasa.
Dalam kacamata karawitanologi, nada 7 (dan 4) dianggap sebagai nada tambahan. Biasanya, nada tersebut hanya dimainkan untuk memperkaya dan memperindah progesi nada dalam gendhing. Ia jarang digunakan secara masif layaknya nada lain. Secara implisit, hal itu menjadikan nada 7 berbeda dengan nada lain. Ia seolah-olah dinisbatkan menjadi nada yang eksklusif.
Kemunculan nada 7 dalam sebuah gendhing membuat sajian repertoar menjadi lebih sayu dan mendayu. Kesan yang dihadirkan seringkali menghadirkan kesan kehalusan, kemanisan, kewibawaan, serta kemagisan. Iktibar yang bernas ialah penggunaan nada 7 dalam tabuhan kemanakan yang sering digunakan dalam tarian bedhaya ataupun srimpi. Bedaya, srimpi, dan pola kemanakan adalah entitas integral. Akan selalu ada bagian kemanakan di tarian tersebut. Ketertautan antara bedhaya, srimpi, dan pola kemanakan kiranya terletak pada kehalusannya. Kehalusan penari perempuan, kehalusan gerakan, serta kehalusan musikalnya yang melebur menjadi satu.
Saya rasa, hal serupa juga termuat dalam gamelan kodhok ngorek. Adanya instrument rijal yang bernada 7 membuatnya menggemakan kesan halus, manis, magis, dan berwibawa. Bahkan, kesan itu menjadi episentrum bunyi dalam sajian gendhing. Barangkali, hal itulah yang mengantarkan gamelan kodhok ngorek diasosiasikan dengan sifat feminim. Gaung yang dihadirkan gamelan kodhok ngorek begitu memanifestasikan karakter seorang perempuan.
Sifat feminim dalam gamelan kodhok ngorek tidak hanya terejawantahkan secara tekstual saja. Secara kontekstual, gamelan kodhok ngorek juga menyimpan kisah tentang keakrabannya dengan perempuan. Supanggah (2002:34) mengatakan dalam bukunya bertajuk Bothekan Karawitan 1 bahwa “salah satu kegunaan gamelan kodhok ngorek ialah sebagai tengara untuk memberitahukan adanya kelahiran maupun kematian keluarga kerajaan yang perempuan”.
Adanya realitas itu tentu memberikan makna bahwa gamelan kodhok ngorek sebenarnya telah memuat kisah tentang perempuan. Bahkan, ada gamelan yang dikhususkan untuk perempuan. Hal ini menandakan bahwa gamelan dan perempuan sebenarnya telah bertaut sejak dulu. Hanya saja, ketertautan tersebut tidak terkisahkan. Barangkali, kisah-kisah itu memang dikubur oleh kuasa budaya patriarki yang sudah ada sebelumnya.