Manusia hidup dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Peribahasa ini lazim ditemukan di setiap ajaran tradisi masa lampau. Pesan moralnya, jangan sombong selama hidup, nanti juga tetap akan dikubur. Ini bisa dikontekstualisasikan. Nilai ini, bisa dikembangkan, dan barangkali menjadi mantra manjur di kemudian masa, saat bumi masih ada, atau tiada. Akan relevan lama, bahkan, mungkin sampai nanti ketika Sapiens singgah di Mars setelah Iklim Bumi tak lagi cocok. Mencium Tanah, inilah judul film dokumenter yang dirilis Netflix, atas garapan Sutradara Dokumenter masyhur, Josh Tickell – saya juga baru mengenal namanya dikenal luas, karena karyanya The Big Fix yang berkisah tentang polemik kebocoran minyak di Teluk Meksiko akibat kongsi tidak transparan antara Politisi dan Pengusaha.

Duduk perkaranya begini, politik energi. Politik Energi adalah politik masa depan. Horison masa depan, akan ketergantungan dengan Politik Energi Setidaknya dalam kasus politik Internasional dan Perdagangan Negara-negara Westphalian. Imaji perdagangan masa depan, juga beriringan dengan isu yang mencuat hari ini, akibat tingginya emisi karbon yang menyebabkan ozon semakin tipis, lalu, pemanasan iklim global. Wacana ini berlanjut kemudian, menjadi wacana kekhawatiran manusia (Homo Sapiens) yang diramalkan sebagai spesies selanjutnya yang akan punah. Seperti yang dicatat oleh Elziabeth Kolbert dalam bukunya The Sixth Extinction: An Unnatural History. Jelasnya, permasalahan ini, bukan kebetulan, melainkan sejarah yang dibuat oleh manusia modern.

Masuk masa yang ini, masa Antroposen, segala bentuk kepanikan dan ketakutan mulai digunakan dalam beragam lini. Yang paling unik, semakin banyaknya lembaga funding, yang dari Negara Kesejahteraan, sebagai lembaga yang merasa paling bertanggungjawab atas kepunahan ini. Dana-dana yang diturunkan, digunakan untuk membayangkan enerji apa yang baik unuk diterpakan di masa mendatang. Sebagian besar nuklir, dan energ alam, dari seperti air, angin dan udara. Persoalannya, naif bicara lingkungan tapi menihilkan aspek politik yang begitu njlimet. Dalam politik ekologi, beragam aliran “penyelamat bumi” muncul dari macam varian. Yang paling radikal misalnya, ada Back To Primitive Live dan yang paling Soft Ecogreen. Semuanya adalah aliran politik, tapi dalam realitas, nyatanya manusia selalu terbatas.

Inilah film yang dibuat oleh Josh Tickell dan rekannya. Beragam aliran, dari komunitas anti-daging, ksampai ke aliran yang lebih luas menumbuhkembangkan daerah tandus kembali subur dengan mekanisme ekologi pertanahan yang fair hadir dalam frame film. Kiss The Ground menghadirkan beragam jenis penyelabatan bumi dan berhasil. Semua, yang terlihat di film ini, telihat seolah film bergerak dalam alur linier, kendati tujuan mereka sebetulnya berbeda-beda. Film ini mampu memperlihatkanvisi yang sama, bagaimana cara paling mungkin mencegah kehancuran bumi dan iklim.

Dalam konteks Politik Ekologi, menyeimbangkan arus kekuatan antar aliran untuk mampu bekerja sama dan bergerak serentak agaknya sulit. Terlebih media, ataupun Ideologi Politik kerap mengaburkan realitas dan menjadi sekat pemisah antar keyakinan. Memang menyusun simpul yang utuh dalam Dokumenter tetap memiliki frame cacah. Artinya apa yang ditangkap kamera, akan selalu bersifat parsial. Tetapi dari keterbatasan ini, Sutradara mampu menyimpul absurditas manusia melakukan tindakan penyelamatan bumi menjadi satu harapan utuh yang cukup baik. Terlihat dalam epilog film, misalnya, Sutradara mampu memberikan kacamata secara luas, ada 77 golongan penyelamat lingkungan dengan beragam macam alirannya, dan mungkin hanya satu yang selamat..

Anda mungkin salah seorang yang merasa cemas hari ini, Indonesia misalnya, per hari ini saja, telah mengalami tiga ribu lebih bencana yang sebagian besar disebabkan oleh bencana Hidrometeorologi (Data dari BMKG) – krisis iklim. Sementara niscaya, sebab itu dikarenakan adanya pertumbuhan kerusakan ekologis yang berasal dari pembagian Sumber Daya Alam yang timpang. Hanya saja, membayangkan kerusakan ini sebagai cikal-bakal kiamat, hampir sebagian besar generasi hidup umat manusia memiliki kiamatnya masing-masing.

Udara semakin panas diiringi dengan tingkat polutan yang meningkat cepat. Air harganya naik, sementara air yang kita minum, barangkali mengandung zat mikroplastik yang bahaya bagi tubuh. Oksigen terkontaminasi, secara cemar, misalkan melalui debu limbah (flyash), yang bertebangan. Gagal panen dan bayangan kekurangan makan terjadi di beberapa titik. Bagaimana menyusun segala rasa cemas, beragam penyebab, dan bayangan kerusakan masa depan yang semakin menjadi. Lakukan yang kamu mampu, lakukan yang kamu sanggup. Begitulah cara Josh Tickell menggambarkan dalam filmnya Kiss The Ground. Hanya perlu menghabiskan satu jam, anda akan menemukan “jalur penyelamatan bumi” yang ampuh mulai dari pekarangan rumah anda sendiri.

Dari Kiss The Ground, ada satu opsi yang menarik. Saya hanya memilih satu dari 77 pola penyelamatan lain, karena paling mungkin saya lakukan. Opsi itu adalah, berusaha semaksimal mungkin menjadi vegan. Vegan berarti membantu penyelamatan bumi. Alasannya, hampir dua puluh persen, emisi yang terjadi di Bumi, misalnya juga berasal dari daging. Tapi bukan daging, atau hewan ternak masalahnya, tetap ada di Manusia itu sendiri. Manusia yang mampu membuat hewan hidup bersama di kendang rumahnya. Menjadi Vegan, atau pemakan tumbuhan-sayuran, anda mampu lebih menghargai siklus kerja manusia dan alam dalam cara mengelola rantai makanan kehidupan: Tumbuhan, air, hewan, serangga, matahari, cacing, dan kita. Saya kira, satu jam penyelamatan bumi yang saya lakukan, itulah yang saya peroleh. Pahlawan Vegan, yuhu. Anda yang mana?

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here