Gemeresik batu terseret dua pasang kaki yang berjalan agak beriringan. Dua orang manusia menembus gelapnya malam. Aku berjalan di belakangnya. Berjaga layaknya bodyguard yang tidak terlalu seram.
Berlagak kuat walau lemas setelahnya. Setelah mendengar luka di bawah pohon, perempuan perkasa menyinari rembulan. Ini bukan soal asmara, jangan salah. Aku benar-benar seorang bodyguard, yang hanya bisa mendengar getaran suara dari seorang perempuan.
Bibir tipis merobek dirinya sendiri. Diiringi tawa yang keluar di sela-selanya. Bukan untuk menjahit lukanya yang sudah terlanjur terbuka, melainkan justru mengeringkan suasana yang terlanjur basah.
Bukan karena air matanya, melainkan bunyi katak dan tokek yang bersahutan. Bulan purnama tampak menangis, dan ia yang menyinarinya.
Aku masih berjaga. Menyiapkan hati dan pikiran. Yang kulawan bukanlah manusia. Dan yang kujaga bukanlah perempuan itu.
Geliat luka yang keluar dari dalam mulut katak dan tokek mengancamku. Aku bersiap melawan diriku sendiri. Sedang perempuan itu, masih hanyut dalam pelukan angin lembut. Ia duduk di bawah pohon rindang. Aku bisa merasakannya.
Sentuhan angin yang terkadang berubah menjadi kasar sehabis berkeliling. Aku baru tahu, benar memang angin bisa menghanyutkan kata-kata dalam dirinya.
***
Di sudut depan mushola, aku duduk menemani seorang perempuan introvert yang suka sekali menyendiri. Aku bisa melihat pantulan sinar lampu di matanya.
Ia menggunakan sepasang kaca untuk membantunya melihat. Katanya, sepasang kaca itu telah ia gunakan sejak kecil. Kami duduk di sebuah bangku besi di depan mushola, tepat di antara pepohonan tinggi.
Aku mengajaknya bicara sembari memperhatikan raut wajahnya. Maklum, aku baru satu kali bertemu dengannya sebelum ini, takut salah bicara. Tentu tidak lucu jika ternyata orang yang ingin kutemani, malah berbalik marah mendengar perkataanku. Gagallah tugasku sebagai bodyguard.
Di tengah lantunan suara alam, tepat di antara sesautan katak dan tokek, aku masih terus mengajaknya bicara. Akan tetapi, dengan pikiran yang tak kalah ributnya, seolah tak mau kalah dengan katak dan tokek, saling sahut membantah apa yang sebaiknya aku tanyakan.
Situasi yang telanjur canggung memaksaku bertanya dan mengabaikan medan perang di pikiranku. Aku tak mau kami hanya saling senyum selama berjam-jam. Bukannya apa, aku takut jika senyumannya berubah menjadi tawa.
Takut suaranya yang tenang berubah menjadi lengkingan atau jeritan. Waktu itu memang malam jumat. Kami berdua duduk di kelilingi pohon tua, siapa yang tidak takut?
Dalam ketakutan seperti itu, aku masih mencoba terlihat kuat. Kuberanikan diriku membuka bibir. Harmoni getaran yang dipimpin oleh konduktor lidah mengeluarkan suara secara teratur, membentuk kalimat pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.
Ia mendengarkan dengan saksama, tetapi tidak sendiri. Katak dan tokek sialan juga ikut mencuri dengar. Seolah sengaja menungguku berbicara sambil bersiap tertawa lepas.
Tapi sepertinya aku salah, yang terjadi tidak seperti bayanganku. Baik katak, tokek, maupun perempuan itu justru diam. Aku mendengar dengusan lembut tetapi dalam. Ia seolah berpikir keras tentang bagaimana caranya untuk menjawab pertanyaanku.
Tampaknya ia enggan bercerita, tetapi karena sungkan, ia terlihat bingung. Ya, wajar saja menurutku. Kami baru bertemu dua kali, dan aku menanyakan sesuatu yang menyinggung soal dirinya. Aku mengakui kalau diriku memang lancang saat itu.
Katak dan tokek kembali bersahutan. Sejenak ia melihat ke arah mereka. Mungkin ingin bertanya bagaimana ia harus menjawabku. Mungkin juga sekadar meminta pertolongan buat pergi dari hadapanku.
Entah apa yang mereka bicarakan, sejenak kemudian ia bersiap untuk berbicara. Sepertinya katak dan tokek mendukungku hari ini.
Ia memulai jawabannya dengan sesuatu yang tak kuduga.
Dikutipnya pernyataanku sebelumnya, “aku akan mencoba jujur, buat landasan rasa percaya kita.” Aku memang sempat berucap seperti itu sebelumnya. Hal itu kulakukan karena memang itu kebiasaanku.
Aku selalu mencoba terbuka dan jujur dalam segala hal. Persis seperti pesan seorang kawan yang telah tiada kepada ku.
Tapi, itu kan ukuran ku? Aku tidak pernah memaksa orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Aku sadar betul jika tidak semua orang harus sepertiku, meskipun demi membangun kepercayaan. Aku menjadi merasa bersalah. Seperti memaksa orang lain untuk menceritakan sesuatu yang tak ingin diceritakannya. Bagaimana jika hal itu adalah sesuatu yang ingin ia lupakan?
Seperti yang sudah kuduga, ia melanjutkan kalimatnya sembari sedikit bergetar. Matanya agak sayu, tetapi aku merasa ada sesuatu yang sebentar lagi akan keluar. Ia seperti sebuah bom yang bersiap untuk meledak.
Matanya menatap jauh menelusuri setiap lukanya di masa lalu. Ia dengan sukarela menafsirkan ulang kepadaku. Aku semakin merasa bersalah. Mengapa diriku begitu manipulatif?
Aku merasakan setiap inti sel di otakku berbenturan. Urat kepalaku berdenyut hebat. Aku menanggung luka dari seseorang yang tak bisa kubantu.
Aku merasa tak mampu berbuat bukan karena tak mau.
Mendengar kisahnya saja aku setengah tak percaya. Sungguh. Aku ditarik dari dunia sempit yang selama ini kutinggali, dunia yang terbentuk dari interpretasi kenyamananku.
Tetapi kali ini, aku mendengar sesuatu yang di luar bayanganku, menembus dinding nyamanku. Kali ini katak dan tokek benar-benar bersamaku. Mereka kembali bersahutan karena tak tahan menampung baris kalimat yang keluar dari bibir perempuan itu.
Aku pun merasa sama. Sulit sekali bagiku untuk mencerna semua itu. Jika bisa, aku ingin bergabung dengan katak dan tokek, agar setidaknya suara kami dapat menutupi sedikit dari apa yang kami dengar.
Perempuan itu, benar-benar seperti seorang penyihir. Memberi kutukan kepada siapapun yang mendengarkan mantranya. Tetapi, tak sekalipun aku melihat air mata yang menetes di pipinya.
Bahkan, ia malah tersenyum saat melihatku. Aku yakin, ia tersenyum bukan karena kesambet penunggu pohon di belakang kami. Tapi mengapa?
Kenapa ia begitu tegar dan kuat?
Aku bingung. Sungguh bingung.
Apa yang harus kukatakan?
***
Desir angin masih menyapa lembut. Mengelilingi pepohonan, dan terkadang memeluk perempuan itu. Gemeresik batu berhenti berbunyi. Dua pasang kaki menghentikan langkahnya. Menghadap sebuah bangku besi di depan mushola.
Ditemani nyanyian katak dan tokek, perempuan dan laki-laki itu berbincang hingga larut malam. Mengisi kekosongan malam yang terkadang rindu mendengarkan keramaian.
Tiap-tiap sudut diisi oleh mereka yang ingin mendengarkan. Dari batu, angin, pepohonan, katak dan tokek, hingga rembulan saksama mendengar perbincangan itu.
Seorang perempuan perkasa berhasil menundukkan laki-laki.
Ini bukan kisah tentang asmara. Ini kisah seorang bodyguard pengecut yang tunduk dengan kata-kata.