Apakah yang kalian pikirkan, jika mendengar kata hakikat cinta, mencintai, dan dicintai? Saat ini, realitas makna “cinta” dalam masyarakat terdengar klise hingga mempersempit makna cinta itu sendiri. Makna cinta yang sebenarnya sangatlah luas dan sulit untuk dideskripsikan.
Selasa malam, tepatnya tanggal 12 ramadhan, saya mengikuti kegiatan yang begitu menarik, yaitu Ngaji Sastra Jilid II. Lahirnya kegiatan ini dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan terkait melek literasi yang lambat laun mengalami penurunan. Padahal, kita semua tahu bahwa literasi merupakan ruh dari kemerdekaan suatu bangsa. Tema besar yang diusung dalam acara ngaji sastra kali ini adalah Mengkaji Realitas melalui Sastra dan Seni.
Tema yang dibahas malam itu adalah Refleksi Cinta dalam Tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Muhim Nailul Ulya, seseorang yang aktif dalam dunia akademisi, dan statusnya kini sebagai pelajar S3 Institut Ilmu Al-Quran Jakarta, sekaligus dosen STAI Khozinatul Ulum Blora.
Walaupun para peserta, segenap panitia, dan pemateri hanya bisa bertemu via google meet atau dalam jaringan, tetapi kondisi ini tidak mengurangi rasa khidmat pada malam itu. Poin-poin yang disampaikan malam itu berkaitan dengan definisi cinta, cinta dalam tafsir Al-Quran, dan hubungan cinta dengan realitas sosial.
“Sebenarnya mendefisinikan cinta itu tidaklah rumit, setiap orang yang pernah mencintai, pasti punya definisi masing-masing tentang cinta,” kata Muhim.
Tentu definisi setiap orang tentang cinta tidaklah sama, hal ini dilahirkan atas pemikiran, rasa, dan pengalaman seseorang akan cinta yang berbeda-beda. Namun, ada pepatah yang sering kita dengar bahwa definisi cinta yang diciptakan, diucapkan, dan dijadikan pijakan oleh orang, sebenarnya tidak akan pernah bisa mewakili makna cinta yang sesungguhnya, baik cinta dari sesama manusia, maupun cinta secara vertikal, yakni cinta antara Tuhan dengan makhluk ciptaannya.
“Bisa dikatakan bahwa definisi tentang cinta, bukanlah hakikat cinta itu sendiri, cinta itu secara hakikatnya lebih besar dibandingkan dengan deskripsi tentang cinta” tegas Muhim.
Dalam kenyataannya, kita sering dengar dengan istilah “bucin”. Seolah-olah kata tersebut yang kini mewakili tindakan, perasaan, dana apapun yang mengatasnamakan cinta. Tidak sedikit pula karena adanya istilah tersebut mengakibatkan terjadinya distorsi akan persepsi seseorang tentang hakikat cinta, yang sebenarnya cinta itu bersifat fitrah/ suci, seperti apa yang dikemukakan Muhim malam itu.
“Bahkan, cinta itu pada definisinya merupakan sesuatu yang suci, terberi, sebelum nantinya cinta akan termanifestasi dalam Tindakan. Esensi cinta tidak dapat dihukumi dengan hukum apapun. Tetapi yang dikenai hukum atau aturannya adalah tindakan yang muncul atas nama cinta itu sendiri,” terang Muhim.
Perihal cinta dalam Al-Quran sangatlah banyak. Hal ini salah satu bukti bahwa dalam Islam, nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan perdamaian sangatlah diutamakan. Menurut Muhim, ketika kita berbicara tentang cinta kepada makhluk tentu akan berbeda dengan cinta kita kepada Tuhan, sekalipun cinta kepada makhluk dapat membawa kita kepada cinta terhadap Tuhan.
Dengan kata lain, cinta satu orang kepada orang lain (cinta lawan jenis), dapat menjadi jembatan penghubung cinta kepada Tuhan. Muhim kemudian memberi contoh terkait hal tersebut, yakni sebuah kisah cinta yang fenomenal dalam literatur Arab, yakni kisah cinta dari Laila Majnun, sedangkan dalam literatur Barat adalah kisah cinta Romeo dan Juliet.
Terdapat banyak tingkatan mengenai cinta, dan beberapa berikut ini beberapa tingkatan cinta yang disampaikan Muhim N. Ulya. Pertama, cinta yang berangkat dari kecenderungan hati. Tingkatan ini adalah tingkatan cinta yang paling dasar (sebatas tertarik).
Kedua, cinta yang meluap. Dalam tingkatan ini, dapat dikatakan tingkatan di mana, perasaan seseorang akan cinta terhadap sosok yang dicintainya sudah tidak tahan dipendam sendirian, dan akan diungkapkannya melalui suatu objek, misalnya tulisan, meda sosial, atau dalam islam dikenal dengan istilah shababah.
Tingkatan ketiga, yaitu Ashaqoh, memiliki arti seseorang yang memiliki perasaan cinta, selalu ingin berdekatan, ingin memiliki, dan tidak ingin jauh dari apa/ siapa yang dicintainya.
Tingkatan keempat adalah Al kharak, istilah ini berarti cinta yang begitu membara, cinta yang sudah benar-benar tidak dapat dibendung, kalau bahasa zaman sekarang “sudah benar-benar tidak bisa hidup tanpanya”.
Kelima, Al-hawa (hawa nafsu). Dalam hal ini, cinta tidak selalu identik dengan hal-hal yang buruk karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai nafsu dan nafsu tidak untuk dibunuh, melainkan untuk dikelola dan dikendalikan dengan baik. Justru tanpa nafsu, hidup manusia akan kurang bermakna.
Tingkatan cinta yang terakhir adalah abib, yakni menghambakan sepenuhnya kepada cinta. Menurut Muhim tingkatan abib ini adalah tingkatan yang patut diimplemantasikan cinta kita terhadap Tuhan, dibandingkan tingkatan-tingkatan yang lain.
Melalui materi-materi yang disampaikan oleh Muhim N. Ulya membuat saya memiliki prekspektif baru mengenai cinta. Jadi sekarang, bagaimana perspektif kalian tentang cinta?
Mantap
Pemaparannya sangat jelas sehingga dpat bermanfaat bagi pembaca