Judul : Tiang Garam
Penulis : Royyan Julian
Penerbit : Pelangi Sastra
Tahun : Oktober, 2023
Tebal : viii + 198 hlm
ISBN : 978-623-6937-61-7
Dari judul Tiang Garam mungkin sebagian pembaca sudah mafhum bahwa novel ini berlatar Madura, tempat penulisnya, Royyan Julian, lahir dan tinggal. Sampul itu berilustrasi seorang perempuan yang berdiri menoleh ke belakang dengan kobaran api dan dua sosok hitam pekat. Gambar sampul tersebut kerap dipertanyakan khalayak karena hampir mirip komik Siksa Neraka. Akan tetapi, gambar tersebut memang relevan dengan kisah kelam yang dinarasikan novel ini.
Isu perempuan takkan pernah usai. Lahirnya para perempuan terpelajar saat ini membangkitkan spirit kesetaraan yang dianggap telah dilumpuhkan patriarki, terlebih bagi perempuan Madura. Kana, tokoh utama novel ini adalah gadis kurang beruntung. Menjadi perempuan Madura memang tak selalu tragis untuk perempuan yang memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Itulah mengapa tinggal di Madura membuat hidup Kana diliputi kegelapan. Ia diceraikan suaminya karena tak mampu melahirkan keturunan dan sebab itulah ia juga menjadi bahan gunjing tetangga.
Ratapan perempuan infertil. Dari sinilah konflik novel ini dibangun. “Tubuh mandul adalah gua tanpa stalaktit, tanpa riuh kalelawar, dan berongga kerontang. Gua garba siluman. Hantu betina yang rindu menimang bayi, seonggok orok yang membuatnya utuh. Tetapi, falus itu terasa jauh” (hal. 73). Sebagai sulung, hidup Kana tidak mudah. Persoalan-persoalan hidupnya pun kian komplit. Ia terpaksa menikah setelah lulus tsanawiyah. Pernikahan itu bukanlah perkawinan yang ia harapkan. Kisah cinta yang ia bangun dengan kekasihnya harus kandas karena desakan orangtuanya untuk segera membangun rumah tangga. Dengan ikhlas ia menanggung segala nasib yang dilimpahkan kepadanya.
Di Madura, pernikahan dini dan kemandulan kerap menjadi salah satu penyebab perceraian. Perempuan janda yang diceraikan karena mandul seperti Kana dianggap bukan perempuan seutuhnya. Nasib itulah yang membuat Kana tereksklusi dari kampung halamannya. Taneyan yang telah menjadi sejarah hitam hidupnya harus ia tinggalkan. Ia membawa segala kepelikan hidup yang ia tanggung selama di kampung. Menata kembali nasibnya di tanah rantau.
Merantau merupakan satu dari sekian cara perempuan Madura bertahan hidup agar tetap waras. Mereka dengan gagah memutuskan untuk melepas segala status yang mengekang selama hidup di kampungnya. Umumnya, perempuan yang terjun ke tanah rantau akan memiliki cara pikir lebih luwes dan terbuka, hidup lebih bebas dan tidak lagi merasa khawatir akan komentar orang lain dalam mengambil keputusan. Begitu juga Kana yang akhirnya memutuskan menikah dengan Tirta, seorang duda yang tidak banyak menuntutnya. Tirta akhirnya menjadi pelipur lara bagi Kana. Perempuan itu tak segan menceritakan segala persoalan hidup yang menimpanya, termasuk mimpi-mimpi buruk yang kerap menganggu tidurnya.
Dalam Tiang Garam, pembaca akan bertemu Mbah Gunarti yang menafsir mimpi-mimpi Kana. Novel ini menjelaskan akibat buruk menjual tanah sangkol (warisan) lewat mimpi itu. Tanah sangkol masih dianggap sakral di kalangan orang-orang Madura. Menjual tanah keramat itu diyakini akan mendatangkan tulah. Bencana yang menimpa keluarga Kana diduga sebagai imbas karena telah menjual tanah pusaka tersebut.
Selain mimpi yang penuh misteri, Royyan juga menghadirkan tokoh bajing hebat dengan karakter paradoks, bandit kemayu yang justru membantu perjuangan Kana melawan Haji Badawi, sang cukong. Kana menganggap juragan besar itu telah merampas tanah sangkolan milik keluarganya. Dengan segala upaya ia kembali menuntut haknya. Haji Badawi merupakan tokoh yang menjadi pusat masalah karena menjarah segala kebebasan orang-orang di kampungnya.
Hadirnya karakter Haji Badawi menjadi pemicu konflik puncak. Dengan mengusung isu carok, novel ini memaparkan bagaimana duel maut tersebut beroperasi di Madura. Kekuatan magis yang nyaris sulit dipercaya dihadirkan untuk membereskan pergulatan dua bandit. Banyak Madurolog dan penulis fiksi Madura yang membahas isu carok untuk sekilas mengenalkan tradisi tersebut. Tidak sedikit juga pembaca menganggap bahwa carok merupakan budaya negatif. Akan tetapi, lewat pertarungan bajing bernama Bibib dengan adik Haji Badawi ini Royyan menggambarkan bagaimana semestinya carok berlangsung.
Novel setebal 196 halaman ini serba komplit. Menjabarkan dengan ajek bagaimana struktur sosial Madura, juga pernikahan usia dini yang menganggap perempuan tidak sempurna sehingga hidupnya kerap diintervesi. Tidak lupa Royyan juga membahas bagaimana nasib ekologi di Madura karena keserakahan orang-orang kaya yang sombong. Dengan buku ini, secara implisit pembaca diharapakan turut andil menyadarkan orang-orang yang mempunyai stigma negatif terhadap orang Madura, termasuk pada isu perempuan dan kerusakan lingkungan yang saat ini tengah berlangsung.
Royyan berhasil mengemas novel ini dengan unik. Sebagai pembaca yang selama ini sudah bosan membaca buku-buku tentang Madura, akhirnya penulis menikmati Tiang Garam hingga akhir. Isu gender, ekologi dan teka-teki yang Royyan hadirkan juga menarik untuk dipecahkan. Termasuk kematian adik laki-laki Kana dan misteri tentang siapa pembunuhnya.