Jatim Art Forum

Dewan Kesenian Jawa Timur menggelar Jatim Art Forum pada Senin lalu (6/11). Pada kesempatan kali ini, DK Jatim, mengangkat tema tentang “Jangka Kebudayaan”. Adapun lokasi acara ini, dilaksanakan di Taman Krida di jalan Soekarno-Hatta Kota Malang.

“Kita ini jadi seperti Joyoboyo agar bisa membaca masa depan,” kata Taufiq Hidayat, koordinator DK Jatim, atau yang biasa dikenal dengan Taufik Monyong. Jangka adalah kata yang diserap dari ramalan (Jongko) Jayabaya yang berisi ramalan tentang kondisi Tanah Jawa di masa mendatang. “Kita bikin Jangka Kebudayaan untuk menangkap responsibility aspek-aspek intelektual masa lampau, menangkap masa kini, dan membaca masa depan,” tambahnya.

Ramalan Jayabaya, dalam tradisi Jawa, diyakini sebagai serat futuristik yang ampuh. Dalam serat itu, Jawa akan memasuki zaman Baru, dengan ciri pembuka Jawa telah berkalung besi. Sebagian besar mengatakan, zaman modern perkembangan Industri Baja. Produk utamanya, penghubung perdagangan melalui Uap dan Kereta Api (Kalung Besi). Dalam Sastra Indonesia Modern, ihwal ini pernah digambarkan pula oleh Pramoedya Ananta Toer ketika tokoh Minke dalam tetralogi roman Bumi Manusia takjub melihat perkembangan teknologi Barat.

“Berita-berita dari Eropa dan Amerika banyak mewartakan penemuan-penemuan terbaru. Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek-moyangku dalam cerita wayang. Keretapi — kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau — be lasan tahun telah disaksikan sebangsaku. Dan masih juga ada keheranan dalam hati mereka sampai sekarang! Betawi-Surabaya telah dapat ditempuh dalam tiga hari. Diramalkan akan cuma seharmal*! Hanya seharmal!”

Sebagian besar pembaca Ramalan Jayabaya, menafsirkan teks ramalannya seperti distopia dalam Dunia Jawa. Kendati roman Bumi Manusia melihat perkembangan Teknologi sebagai satu hal yang niscaya. Selain itu, Pram dalam beberapa tulisannya kerap menentang tradisi Jawa dengan keras. Masih dalam Bumi Manusia, misalnya ia menulis:

“Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya.Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu.”

Taufiq, menerjemahkan ramalan Jayabaya, sebagai piranti pengingat. Sekalipun kehendak sejarah berkembang terlihat seolah niscaya, dalam hubungan sesama manusia, kita tetap perlu merefleksikan diri dengan penuh-seluruh. “Jadi kalo tidak memanusiakan manusia, sekolah pinter koyok opo, ora bakal payu,” Kata Taufiq. Dalam pribahasa lain, Akeh Wong Pinter tapi kuminter. Banyak orang pintar, tapi membodohi orang lain.

Dalam Tradisi Jawa, memang tolak ukur sebagai orang yang berpengetahuan bukanlah dari seberapa tinggi ilmu yang ia miliki, tetapi seberapa mampu ilmu yang mengandung kebajikan itu diterapkan pada laku kehidupan. Karenanya, tema dalam Jatim Art Forum kali ini antara lain untuk menerjemahkan kembali kandungan nilai-nilai tersebut. Dunia memang sudah berkembang dan entah mengapa intensi bencana semakin tinggi. “Apalagi, menjelang tahun-tahun politik,” kata Taufiq.

Jatim Art Forum merupakan acara rutin yang diselenggarakan oleh DK Jatim setiap tahun. Jangka Kebudayaan adalah tema yang cukup penting untuk diangkat. “Tahun ini, tahun yang sangat krusial. Mulai dari pesta demokrasi politik, krisis ekonomi, tahun Pasca Pandemi, tahun dimana tingkat resistensi bangsa kita itu mulai diuji. Nah, kami ingin menjawab bahwa dengan jangka Kebudayaan ini, dari varian yang lampau, dari jangka Joyoboyo, kita bisa mengantisipasinya,” terang Taufiq.

Taufiq Monyong
Taufiq Monyong, koordinator DK Jatim

Moral adalah sumber resistensi seseorang menghadapi masalah dan membuat harapan. Kemelut masalah sosial, bagi Taufiq belum pada tahap yang cukup. Apalagi jika dibandingkan moral moyang pada masa lampau. Masa ketika ramalan Jayabaya menjadi “nyata”, moral dan pengetahuan kita kembali diuji. Jayabaya dalam tafsiran Taufiq, barangkali memiliki gambar distopia. Tetapi, nuansa ini, perlu disikapi dengan sikap mawas.

Mawas dalam tradisi Jawa, adalah kondisi setimbang. Kondisi ketika manusia, mau melihat apa yang telah lalu, apa yang ada hari ini, dan kemungkinan apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Sikap setimbang ini, bukan sekedar untuk lepas dari peran sejarah, atau lari dari kehidupan. Sikap ini, menawarkan tentang bagaimana cara melihat posisi kita, sebagai Individu atau sosial sekaligus. Karena dalam tradisi Jawa, satuan waktu, bukan simbol keabadian, tetapi simbol sekilas-lalu dan sepintas saja.

Urip mung mampir ngombe. Hidup hanya sekedar mencicipi air, lalu mati kemudian. Satuan waktu, dalam tradisi Jawa, adalah bagaimana manusia mampu hidup berbagi dengan sesama. Manusia, alam, bahkan generasi mendatang, tentu jika alam masih tersedia layak.

Tema ini yang berusaha diangkat oleh DK Jatim. Menyikapi masa, lewat cara pandang mawas dari nilai yang ditawarkan oleh cara pandang Jayabaya. Melalui Kesenian sebagai media, dan Kebudayaan sebagai laku hidup itu sendiri. Forum ini sendiri akan dibuka dengan seni pertunjukan tari dan musik dari sanggar dan grup musik pegiat seni di Jawa Timur.

“Jatim Art Forum ini laboratorium pengayaan intelektual yang direpresentasikan menjadi sebuah gagasan. Di tahun ini kita menepatkan vision kebudayaan. Menegaskan bahwa memanusiakan manusia dengan manusia, seperti ketika kita berhadapan di pasar. Menjadikan Manusia Adil dan Beradab itu salah satu jangka Kebudayaan,” pungkas Taufiq, sambil menyitir larik ramalan, Pasar Ilang Kumandang.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here