Jatim Art Forum 2023

Dalam  Jatim Art Forum 2023 departemen musik DK Jatim menghadirkan musisi Jatim dengan kesadaran tradisi daerah dan tradisi modern baru dengan menengok masa lalu dan menyongsong masa depan.

Musik Etnik sederhananya, bila anda klik di laman pencarian google, berarti musik rakyat, yang cenderung baik secara lirikal atau musikal mengandung gambar Kebudayaan. Lebih simpel, mungkin orang bisa berkata, ini musik adat, boleh jadi. Tetapi, apa itu adat? Apa itu Kebudayaan? Sejujurnya, karena kapasitas saya sebagai penikmat, jawaban dari pertanyaan ini, barangkali sudah cukup dicari lewat buku-buku teoritis Kebudayaan.

Saya ingin berbagi cerita, yang bagi saya cukup mengesankan. Suatu hari yang membosankan, saya diajak oleh salah seorang teman di Tulungagung. Namanya Jhon, karena saya ingin memanggilnya Jhon. Malam setelah Isya, saya diajak pergi ke Kediri, ke sebuah pondok pesantren kecil di ujung desa – saya lupa namanya – yang jauh dari jalan raya. “Ayo, pergi nonton Senyawa,” kata Jhon. Senyawa adalah nama grup musik. Grup band musik ini pernah diliput secara khusus oleh Majalah Tempo (2022).

Saya tidak update siapa musisi naik daun yang diulas Majalah Tempo. Saat tiba di lokasi, saya lekas membuka gawai. “Senyawa, nominasi Tempo “. Pengulasnya David Tarigan. Dalam Jurnalisme Musik, siapa yang belum banyak mengenal David Tarigan? Di balik nama Tarigan dan ulasannya, saya yakin dalam hati, band ini, oke.

Di antara santri pondok itu kami duduk. Rully Shabara, personil dari Senyawa berpakaian hitam-hitam. Jaket levis atas, dan denim hitam bawah. Di sampingnya, ada Wukir Suryadi, pemain Instrumen senyawa. Apa yang menarik bagi saya, setelah mengetahui dari Jhon, kedua personil ini sudah masuk kancah musik internasional. “Ini jenis musik eksperimental,” kata Jhon. Saya kurang begitu takjub karena saat Sekolah Menengah Atas, saya pernah melakukan hal semacam ini. Saya hanya terdecak kagum. Oh, bisa ya sampai Barcelona mainan instrumen musik macam ini. Artinya, betapa luasnya interaksi musik antar Kebudayaan. Entah ia bisa disebut eksperimental, atau etnik sekaligus, tapi saya menikmatinya.

Baru Senin kemarin (6/11) saya mengenal dua, katanya dua musik etnik yang bagus pula. Ndhalungnesia, yang sudah diulas oleh Redy dalam tulisannya, berikut yang lain masuk dalam ulasan itu, Arca Tatasawara. Satu mengelaborasi bunyi gendhing gamelan dengan ketukan musik elektrik, lainnya memadu-padu, gendhing gamelan dengan perkusi Jazz Modern, dan diiringi dengan tarian sufi. Baik secara musikal, atau lirikal, saya menikmatinya.

Medium bertukar pengalaman, baik secara individu maupun sosial, dengan muatan nilai budaya sebuah adat, saya rasa, dalam hal ini, musik etnik perlu dirayakan. Di sana ada pertukaran nilai musikal, lirikal, atau nilai kebudayaan yang diusung dalam tema-temanya. Musik seperti itu itu sendiri jika hanya melewati paksaan kebudayaan instrumen negara mustahil terjadi. Musik macam puisi, ia menembus batas aktifitas manusia yang instrumental.

Hanya saja, agak rumit, bila mematok pakem, untuk menilai sebuah musik itu etnik atau tidak. Yang seperti apa yang bisa dikatakan sebagai musik etnik?

Inilah yang ditanggapi oleh Joko S Gombloh, kurator musik dalam pagelaran Jatim Art Forum Dewan Kesenian Jawa Timur. Agaknya  memang rumit, bicara musik etnik hanya sekedar terbatas pada skema musikal atau lirikal adat.  Toh, apapun karya, jika yang ditelusuri yang asali, atau yang genuine seperti mustahil karena modernitas begitu cair. Katup sekat silang-kebudayaan semakin cepat. Bagi Gombloh Musik tanah air tidak ada yg genuine, karena perkembangan musik sudah sedemikian banyak interaksinya. “Tinggal bagaimana mengawinkan keduanya, seperti yang disebut musik-musik barat itu dengan yang tradisional,” ungkapnya. Gombloh mencari musisi dengan kegelisahan tersebut. Kegelisahan pada musik daerah dan musik-musik modern yang cenderung identik dengan musik Barat.

Dalam proses kuratorial pemilihan grup musik untuk tampil pada kegiatan Jatim Art Forum, Gombloh melebarkan pandangannya dengan tidak hanya melihat musisi Jatim sebagai sebuah batasan geografis. Gombloh mencari kelompok-kelompok musik yang berkarya tidak hanya di Jatim tetapi juga yang melakukan diaspora ke luar Jatim. Gombloh melihat para musisi yang lahir di Jatim memiliki akar tradisi daerah yang kuat.

Joko S Gombloh
Joko S Gombloh, Kurator Musik Jatim Art Forum 2023

Saat melakukan diaspora, musisi-musisi Jatim tersebut bertemu dengan tradisi musik baru. Persinggungan ini melahirkan sesuatu yang unik. Mereka berusaha memadukan antara musik tradisi daerah dengan musik-musik baru yang futuristik. Kebaruan para musisi ini bukan hanya dari instrumen musik yang digunakan, namun juga cara pandang dan tema-tema yang lebih terkini, yang berusaha memandang masa depan dengan menengok masa lalu. Sesuai tema Jatim Art Forum 2023 yaitu Jangka Kebudayaan, bagaimana kebudayaan saat ini melihat yang lalu dan memandang masa depan. Untuk musik sendiri, Gombloh memilih empat grup musik yaitu Aengtong tong, Ali Gardi Rukmana, Arca Tatasawara, dan Ndhalungnesia.

“Musisi Jatim bisa menentukan positioning dari acara ini. Musisi Jatim bisa berkolaborasi bersama untuk merayakan musik tanah air. Yang khas dari musik tanah air adalah keanekaragaman tradisi musik daerah. Tinggal akar-akar tradisi yang berwarna-warni ini berpadu dengan tradisi-tradisi musik baru modern,” kata Gombloh. “Jawa Timur memiliki potensi itu,” lanjutnya.

Anggap saja ini lagu lama. Mendengar Keroncong di rumah-rumah tua heritage Kayutangan, dan merasa back to 90’s, atau mendengar Yamko Rambe Yamko, mengingat masa kecil sambil menari dan bercanda pukul-pukulan bersama teman. Musik-musik hidup bersama kita. Menjadi teman yang menemani kita tumbuh sejak kecil hingga dewasa. Tanpa harus kita saling mencela selera, atau menganggap ini lebih modern dan yang itu lebih primitif, musik tetaplah musik. Musik membantu kita melupakan rasa sakit dan merawat kenangan serta pengetahuan lokal yang berharga.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here