Perjalanan pagi itu, Saya sengaja melaju dengan kecepatan sedang karena memang tidak sedang buru-buru mengejar waktu untuk menuju ke sebuah tempat di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Sebelum sampai di tempat tujuan, kami memutuskan berhenti sejenak di warung pedagang kaki lima pinggir jalan untuk sekadar minum kopi. Setelah memesan 3 cangkir kopi mata kami kemudian “terganggu” dengan rombong penjual ketupat sayur yang berisi tulisan membeli dan bersedekah. Kami saling melihat satu sama lain dan diakhiri dengan sama-sama tersenyum dan mengangguk.
Hasil persetujuan bersama, pertama, kami sama-sama ingin memesan ketupat sayur. Kedua, ada penjual ketupat sayur yang berikhtiar untuk bersedekah selain berdagang makanan. Kami tertarik dengan kalimat bersedekahnya, karena dengan keadaan terbatas pedagang ketupat sayur masih mau mengurusi orang lain dengan menyalurkan hasil sedekah dari kembalian pembayaran atau pun dari uang recehan logam atau kertas yang dimasukkan kedalam kotak yang sudah disediakan. Sebuah dedikasi yang luar biasa untuk terus saling membantu antar sesama.
Sebenarnya ini bukan hal yang sangat luar biasa, tetapi menjadi luar biasa jika dibandingkan dengan kehebohan di jagat public, baik di media sosial maupun siaran televise, yang hampir setiap hari memuat berita tentang ACT. Mulai dari pejabat publik di Indonesia, tokoh publik, orang-orang kampus hingga yang awam sekalipun turut serta sibuk membincangkan kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang diduga telah melakukan penggelapan dana hasil donasi, sedekah, zakat, maupun infak.
Sedangkan penjual ketupat sayur tanpa mengikuti pola manajerial yang “rumit-rumit” dan birokratis dalam sebuah organisasi pengelolaan amal tetaplah melakukan komitmennya menerima donasi atau amal dengan tagline membeli sambil bersedekah.
Kembali ke topik awal tentang penjual ketupat sayur. Hal yang perlu dibincangkan adalah perilakunya yang sederhana, terbuka, dan apa adanya telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk menjadi pengelola amal tidak perlu membuat kesan diri yang parlente, dengan kantor yang mentereng dan berada di alamat kawasan elit. Namun, yang paling penting adalah mempunyai integiritas, menjunjung kejujuran, dan tentu amanah agar dipercaya. Pendek kata, agar dapat dipercaya oleh tetangga dan orang lain modalnya adalah punya integritas.
Dalam masyarakat kita, masyarakat Nuswantara, persoalan tolong menolong, gotong royong menjadi hal yang paling utama dalam gerakan filantropis ala Indonesia.
Kegiatan filantropis, yang menitikberatkan kepada pelayanan sosial telah menjadi basis utama orang Indonesia jauh sebelum Indonesia menjadi negara-bangsa yang merdeka. Pemahaman gerakan filantropisme yang kini seolah menjadi trend baru, terutama bagi kalangan masyarakat perkotaan dan kelompok menengah ke atas, mengingatkan saya bahwa penjual ketupat sayur yang menggunakan gerobak dan bertempat di area yang bercuaca panas menyengat itu tetap dengan sabar sambil tersenyum saat saya tanya akan disalurkan kemana hasil penerimaan amal dari orang lain yang dititipkan kepadanya.
Dengan tanpa mengambil haknya sebagai amil karena semua perolehan dana amal yang dikumpulkan akan ia salurkan kepada tetangganya di sekitar rumahnya dan untuk membiayai sekolah anak-anak tetangganya. Bahkan ada yang diberikan kepada tetangganya untuk membeli sembako dalam satu keluarga.
Sungguh luar biasa, tindakan sederhana yang jauh dari hiruk pikuk tata kelola dana amal. Ternyata penjual ketupat sayur telah tumakninah menjalankan amanah penerimaan dan penyaluran dana amal tanpa mengambil haknya sebagai amil.
Ternyata melakukan kebaikan tidak perlu menunggu tumpukan uang yang banyak. Tidak juga perlu menterengnya jabatan maupun parlentenya busana. Semoga ibu penjual ketupat sayur itu diberi kesehatan selalu.
[…] Memainkan Permainan Celia Sanchez Sang Bunga Revolusi Kuba Ketupat Sayur Ruang […]