Puisi-puisi terakhir yang ditulis oleh beberapa sastrawan terkadang memiliki sisi gelap dan kedukaan tersendiri bagi penyair, sehingga menimbulkan makna puisi terakhir dari puisi tersebut.
Awalnya memang penyair seolah hanya melakukan pekerjaannya dengan menulis puisi yang sudah jadi kebiasaannya. Namun, kematian memang bisa datang kapan saja kepada setiap manusia yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk meninggalkan dunia.
Kematian-kematian tersebut bahkan tak diketahui secara langsung oleh mereka, tetapi pembaca atau penikmat karya sastra seolah sadar bahwa puisi-puisi terakhir yang ditulis oleh beberapa sastrawan tersebut merupakan pesan terakhir.
Biasanya, pesan-pesan tersebut mengandung hal yang tidak wajar atau memiliki unsur realisme magis, atau juga bisa upaya mengingatkan umat manusia agar tidak melupakan Tuhan. Realisme magis itu memiliki keterkaitan dengan hal-hal mistis yang tentu saja diketahui oleh banyak orang.
Penulis mengambil puisi acak dari penyair yang berbeda pula, di antaranya Aroma Maut karya Hamid Jabbar, serta Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu karya W.S Rendra. Kedua puisi di atas secara tak langsung menggambarkan sebuah kisah hidup penyair yang diilustrasikan secara realisme magis.
Bahkan juga ada penyair yang menggambarkan kerinduannya pada Tuhan, seolah puisi tersebut menandakan bahwa hidup mereka hampir selesai di dunia. Realisme magis ditandai dengan 2 karakteristik yang menonjol, di antaranya Irreducible Element dan Phenomenal Worlds.
Puisi pertama berjudul Aroma Maut karya Hamid Jabbar. Hamid Jabbar meninggalkan dunia pada tahun 2004 silam. Puisinya yang berjudul Aroma Maut sangat dekat dengan hari kematiannya.
Puisi ini mengisahkan tentang jarak hidup dan mati yang digambarkan penyair dengan kehadiran bencana alam, Angin masih berhembus, topannya entah ke mana. Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana? Tokoh dalam puisi tersebut seolah bingung dengan keadaan sekitar yang porak-poranda, yang awalnya ramai kemudian tersisalah keadaan yang sunyi dan mencekam, Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!
Puisi ini memenuhi karakteristik realisme magis, salah satunya Phenomenal Worlds. Phenomenal Worlds dikatakan menjadi salah satu karakteristik karena bertujuan untuk mengadopsi dunia ini demi menjaga kerealisan dari suatu karya (misalnya pemunculan suatu dunia lain yang memisahkan hantu dan manusia).
Hal ini menandakan bahwa realisme magis dalam puisi ini (dunia lain, suasana lain, rongga akhirat) merupakan hal yang sangat nyata. Phenomenal Worlds dapat ditemukan dalam larik berikut, Gelombang lain datang begitu lain. Topan lain datang begitu lain. Gelap lain datang begitu lain. Larik tersebut seolah menggambarkan sebuah dunia yang sudah hancur oleh sesuatu yang begitu lain.
Kata begitu lain tak dijelaskan lebih dalam oleh penyair, tetapi unsur tersebut seolah mengarah pada dunia antara kehidupan manusia dan kematian, atau mungkin bisa dikatakan sebagai rongga akhirat.
Dunia ini digambarkan oleh Hamid Jabbar seolah terlihat sangat nyata sehingga mampu membawa kengerian tersendiri bagi pembaca. Meskipun puisi adalah karya sastra yang bebas dan menimbulkan banyak persepsi, pikiran pembaca seolah benar-benar merasakan bagaimana kacaunya dunia bila hanya tampak gelap dari sesuatu yang begitu lain tersebut. Maka dari itu, puisi ini dapat masuk dalam kedua karakteristik realisme magis.
Makna realisme magis dalam puisi ini sebenarnya sangat memiliki kaitan dengan fenomena eksternal. Penyair ingin menyampaikan gambaran detik-detik sebelum kematian dalam bencana yang terjadi. Bencana diibaratkan sebuah kematian yang mendadak, bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan pun.
Maka dari itu, penyair menggambarkan suasana hampa ketika pos bencana terjadi, yang belum dirasakan oleh manusia. Rongga akhirat tersebutlah yang menjadi sebuah makna realisme magis bahwa kematian akan selalu terjadi. Setelah kematian terjadi, dunia seolah menjadi berbeda, sunyi dan kelam.
Makna tersiratnya berarti kita sebagai manusia harus hidup mengandalkan Tuhan agar setelah kematian terjadi, suasana tidak menjadi sunyi dan kelam, melainkan kekal dan abadi.
Puisi kedua berjudul Tuhan, Aku Cinta Padamu karya W.S. Rendra. W.S. Rendra meninggalkan dunia pada tahun 2009. Puisi terakhirnya ini benar-benar menjadi sorotan publik dikarenakan makna puisi ini seolah memprediksi kematian sang penyair sendiri. Puisi ini mengisahkan tentang seorang tokoh aku yang sudah tak bisa berbuat banyak, selain merasakan penyakitnya.
Tokoh aku benar-benar mengucapkan segala rasa cintanya kepada Tuhan dan bertobat atas segala perbuatannya yang mungkin kurang berkenan di mata-Nya, seperti pada larik berikut, Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi, Aku ingin kembali pada jalan alam, Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.
Puisi ini juga memenuhi karakteristik realisme magis, salah satunya Irreducible Element. Irreducible Element adalah sesuatu yang tidak bisa kita jelaskan dengan hukum-hukum semesta yang sudah diformulasi oleh pemikiran-pemikiran empiris barat atau timur, seperti logika atau kepercayaan yang ditelateni.
Irreducible Element dapat ditemukan dalam larik berikut, Aku pengin makan tajin. Larik tersebut seolah menggambarkan suatu keadaan yang percaya pada sebuah mitos. Banyak sekali masyarakat yang menganggap bahwa air tajin (air rebusan beras) dapat meningkatkan kesehatan tubuh, sama seperti apa yang ingin digambarkan penyair (tokoh aku sedang sakit dan mencoba untuk minum tajin).
Namun, hal ini bukanlah sebuah kepastian, apakah tajin memang benar-benar meningkatkan kesehatan, atau malah sebaliknya. Tentu saja hal ini berarti tak bisa digambarkan secara langsung dengan hukum-hukum semesta yang pada kenyataannya.
Adanya permasalahan pokok larik seperti pada puisi Tuhan, Aku Cinta Padamu, pikiran seolah sulit mencerna apa yang sebenarnya ingin digambarkan oleh penyair. Maka dari itu, puisi ini dapat masuk dalam karakteristik pertama realisme magis.
Makna dari realisme magis puisi ini tentu saja ditemukan pada terreduksinya unsur air tajin. Makna secara tersirat dari unsur tersebut adalah bahwa setiap kita yang sedang sakit pasti berusaha untuk menyembuhkan dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara apapun.
Selain itu, penyair juga ingin menyampaikan bahwa unsur-unsur mitos tak ada salahnya untuk dicoba, karena seperti yang kita tahu, omongan-omongan yang disebarkan oleh orang zaman dahulu seringkali manjur meskipun tak bisa dijelaskan dengan akal sehat atau hukum semesta.
Di luar unsur realisme magis, puisi ini memiliki makna jika memang kita sebagai manusia sudah berada di titik terendah kehidupan, bertobat dan berbuat baiklah kepada sesama agar jika kematian datang kita telah melakukan kebaikan.
Mantappp 😎