Past Lives (2023) film Korea yang memenangkan nominasi agaknya menjadi unik untuk pembuka dialog lanjutan berbincang tentang Film Nasional. Tokoh utama dalam Film ini bernama Nora. Seorang perempuan yang lahir di Korea, namun merasa kehilangan “ke-korean-nya” kala sudah menetap di Amerika selama sepuluh tahun lebih. Adakah film ini bisa dikategorikan sebagai film nasional, sementara di sisi lain, ketika Hae Sung teman kecil dari Nora berkunjung ke Apartemennya di Amerika bahasa yang digunakan adalah Bahasa Inggris-Amerika. Kasus ini sama halnya denga napa yang belakangan terjadi, misalnya, fenomena Parole yang hadir dalam film-film Jakarta yang melahirkan Word Slang Indo-Inggris, yang akar linguistiknya entah berdasar darimana. Apakah misal, film-film Warkop DKI yang menggambarkan cita rasa kehidupan urban dan metropolitan dari Jakarta masuk dalam kategori Dramaturgi Film Nasional.
Seno Gumira dengan mempertimbangkan tiga elemen tadi menambahkan argumennya dari Jinhee Choi soerang Profesor Studi Film di Universitas Seoul. Bagi Choi, apa yang mendasar pada akhirnya untuk menentukan film Nasional atau bukan dapat dilihat dari motivasi si pembuat. Motivasi pertama dalam padnagan Choi adalah Motivasi Realistik, motivasi seorang sutradara yang ingin membawa penonton masuk ke dalam dunia riil yang masuk akal. Sesuatu yang dapat diterima oleh penonton, bahwa apa yang terjadi dalam kisah tersebut merupakan sebagian dari kehidupan nyata yang ia jalani. Untuk membawa masuk Motivasi Realistik saja belum cukup, ada motivasi komposisional yang menghubungkan antar kenyataan dengan metode naratif yang tepat. Sebuah narasi yang membawa masuk seorang penonton, bahwa apa yang terjadi dalam film juga kejadian yang pernah ia lihat dalam keseharian. Dengan narasi ni, seorang pengamat akan mempertimbangkan hal lain, yakni faktor sesuatu yang di luar teks, dan atau seperti bentuk resepsi penonton terhadap film itu (Trabstekstual). Terakhir tentu saja, motivasi-motivasi ini tidak cukup tepat jika tak mampu melihat piranti artistic yang digunakan oleh si pembuat.
Film-film Negara Utara kawasan Denmark (Skandinavia), seperti Film Viking misalnya yang pada tahun-tahun kemunculan lembaga layanan streaming berusaha untuk mengangkat sebuah bangsa yang pernah hidup dan memiliki irisan dengan kehidupan orang Denmark pada hari ini. Apakah cukup hanya sekedar Motivasi Realistik, Komposisi yang ingin dibentuk serta narasi yang tepat. Film tentu bukan naskah cerita teks, ia merupakan produk gambar bergerak yang perlu ditilik aspek teknik estetik dalam film-film tersebut. Misalnya dalam hal pengambilan tone warna dan grafik, apakah mungkin di Negeri yang memilki musim dingin panjang menggunakan sebagian besarnya dengan cahaya yang cerah, sebagaimana cahaya matahari melintas di Negara yang dilalui Garis Kathulistiwa. Tentulah tidak mungkin, maka dari itu, ketepatan motivasi tidak hanya mampu dilihat komposisi. Mengambil dan menarasikan komposisi melalui permainan cahaya yang ingin digambarkan dalam kehidupan Bangsa Viking juga menjadi pertimbangan.
Dengan kategorisasi berdasar pada teori ini dan untuk melihat kepentingan yang lebih jauh, selain daripada untuk menerjemahkan Nasionalisme itu sendiri, setidak-tidaknya piranti dapat digunakan untuk melihat komposisi film Nasional. Di dalam wacana, sebaran Nasionalisme ini terbagi menjadi dua sumbu. Sumbu pertama ialah Wacana Nasional yang beradasar pada Nasionalisme terbuka. Nasionalisme terbuka, ialah film yang memuat komposisi yang telah diterangkan pada paragraph sebelumnya sebagai medan laga terbuka untuk interpretasi sebagaimana dalam catatan Stuart Hill. Sebagai sebuah sirkuit, yang terus menerus wacana, ide dan gagasan lalu-lalang dalam medan tersebut.
Sumbu kedua berdasar pada Nasionalisme tertutup, Dalam Nasionalisme tertutup, biasanya film cenderung seragam karena bertujuan hanya untuk membentuk citra tunggal. Dalam masa-masa jaya seorang Hitler, ia pernah membuat film propaganda yang ingin mencitrakan dirinya sebagai persona pemimpin yang dekat dengan rakyat. Film itu berjudul, The Triumph Of Will , film hasil karya sutradara loyalis Nazi bernama Leni Riefenstahl. Dalam beberapa kasus, Nasionalisme tertutup juga berpotensi terhadap Sutradara yang membuat film karena tekanan. Seperti dalam kasus penculikan Sutradara asal Korea Selatan oleh Kim Jong Un untuk kepentingan membuat film yang menyokong kejayaan keluarga Kim. Dalam film-film berikutnya, menjadi mungkin berdasarkan pembahasan ini diskursus berkenan dengan Film Nasional lebih kaya muatannya.
Dalam momen melacak film Nasional, karya-karya belakangan yang banyak mengulas mengenai film Indonesia adalah karya Garin Nugroho dan Dyna Herlina dalam buku Krisis dan Paradoks film di Indonesia. Dua penulis ini menulis catatan banyak tentang konteks situasi politik pada masa-masa meletupnya awal revolusi 45. Salah satu ulasan mengesankan misalnya, Garin menulis tentang peran seorang Akira Kurosawa. Di tengah kecamuk politik dan pertarungan ide ekspresi dari tiap-tiap Ideologi, Akira Kurosawa sebagai tokoh film asal Jepang dan dikenal luas di Dunia banyak memberikan pelajaran-pelajaran terhadap sineas Indonesia khususnya Usmar Ismail. Kehadiran sineas Jepang ini membawa warna ekspresi estetika dan ataupun politik itu sendir pada masa-masa keberlangsungan partisipasi pegiat film Indonesia dalam menerjemamhkan Nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun Nasionalisme yang dianut adalah cenderung terbuka.
Agaknya patut disepakati, memang pada dasarnya bentukan mode Nasionalisme dalam dunia film Indonesia cenderung terbuka berbeda dengan Korea Utara dan Nazi. Hanya saja yang perlu digarisbawahi barangkali adalah, Nasionalisme dalam dunia film pada masa itu benar-benar terasa cair. Kecamuk ide dan silang sengkarut gagasa politik terasa dalam satu gambar kalimat, seperti “Karya lawan Karya”. Mungkin saja, dalam hal tertentu pertaruagan ide dalam dunia film menimbulkan intrik antar golongan, misalnya antara Lekra dan Lesbumi. Intrik yang dimaksud adalah, gesekan politik praktis di wilayah parlementer yang muara dasarnya ada di film. Garin menyebut ini dengan istilah “Paradoks Film di Indonesia”.
Paradoks yang hadir dalam benak Garin adalah kehendak yang besar untuk menerjemahkan “Film Indonesia” dengan benturan yang jauh lebih besar pada masa itu. Benturan antara mana yang revolusi dan mana yang kontra revolusi, benturan antara kebutuhan ideal naskah cerita dan modal produksi, benturan antara konstruksi kenyataan yang kuat dalam film dan konstruksi yang dibangun berdasarkan kebutuhan pasar. Dengan segenap pertimbangan, sebetulnya kelahiran ini secara logis niscaya terjadi. Pasalnya film di Indonesia sedari awal perkembangannya sebagai budaya urban bersifat komersil. Kecenderungan menerjemahkan sandiwara dan lakon-lakon tradisional dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang memiliki modal membuat film dan menayangkannya di ruang publik.
Lantas bagaimana kiranya mampu kita membaca “Film Indonesia” itu? Jika saja Seno berpendapat dramaturgi sebagian besar film masih gandrung memakai teknik dramaturgi Hollywood. Otentisitas cara bertutur yang dipertimbangkan oleh Seno menarik, karena ia keluar dari selubung ideologi atau narasi-narasi yang bersifat menetapkan definisi film Indonesia dengan absolut. Definisi film Nasional pada akhirnya perlu dibuka dan medan laga itu terus menerjemahkan dirinya sendiri dalam lembaran waktu yang entah kapan pada akhirnya aktivitas ini berhenti.
[…] perasaan yang diperankan dari berbagai aktor. Salah satu yang mencuri perhatian ialah pemeran utama film ini yang diperankan oleh Yunita Siregar yang berperan sebagai […]