Budaya sejatinya identik dengan kehidupan manusia. Eksistensinya tidak lain berfungsi untuk menyejahterakan hidup manusia, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat di sekitarnya. Namun, bagaimana jadinya jika budaya bukannya membuat sejahtera, malah jadi penjara?
Apakah kalian pernah ke Sumba? Pulau yang berada di Nusa Tenggara Timur ini terkenal dengan beraneka ragam pesona alam yang menarik wisatawan. Tidak hanya panorama alamnya dan keunikan kain tenunnya, budaya yang dimiliki Sumba juga memiliki ketertarikan tersendiri.
Mulai dari keunikan rumah adatnya, tarian ritualnya yang menakjubkan, hingga tradisi serta adat istiadatnya yang sangat kental dan menarik untuk dipelajari. Namun di samping pesona itu, ternyata ada sebuah tradisi kontraversial yang sempat mengguncangkan tanah air, yaitu tradisi ‘kawin tangkap’.
Merujuk pada sebuah novel berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam. Dari judulnya saja, pembaca mungkin mengira kata ‘bulan hitam’ adalah sebuah diksi yang sengaja dibuat penulis yang memiliki makna puitis. Namun, nyatanya tebakan itu salah besar.
Bulan hitam juga dikenal dengan ritual Wulla Poddu yang dipercaya sebagai bulan suci. Dalam ritualnya, orang harus prihatin dan mematuhi sejumlah larangan-larangan seperti menggelar pesta perkawinan, membangun rumah, atau menanam di kebun. Adapun rangkaian ritual yang harus dilaksanakan pula.
Pada intinya, novel karya Dian Purnomo tersebut mengangkat salah satu tradisi ‘kawin tangkap’ Sumba yang menjadi permasalahan bagi kaum perempuan. Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam menceritakan seorang perempuan bernama Magi yang menjadi korban tradisi kawin tangkap.
Penangkapan itu dilakukan oleh Leba Ali yang dikenal kaya raya dan mata keranjang. Tepat pada hari puncak tradisi Bulan Hitam, ketika Magi sedang dalam perjalanan ke tempat kerjanya, pesuruh Leba Ali tiba-tiba menculik perempuan itu dan memasukkannya ke dalam mobil.
Magi sontak melakukan perlawanan, tetapi yang ia terima malah pelecehan. Ia pun memutuskan untuk diam dan tidak melakukan perlawanan lagi. Lebih sesak lagi ketika mengetahui, mobil itu membawanya pada sosok Leba Ali yang sudah lama mengincarnya sejak ia masih duduk di Sekolah Dasar.
Ketika mobil berhenti, Magi sudah disambut dengan tarian dan nyanyian sambutan kemenangan. Padahal, ia adalah korban penculikan, tetapi malah disambut dengan tawa sorakan. Peritiwa nahas yang dialami Magi tentu tidak berhenti sampai di situ. Perlawanan yang ia lakukan pun juga semakin besar, bahkan membahayakan nyawanya sendiri.
Namun, perlawanan yang ia lakukan tidak digubris oleh orang-orang, bahkan keluarganya sendiri pun malah menjebloskannya pada penjara perjodohan. Surat terakhir sebelum rencana bunuh dirinya malah dibalas dengan peringatan kepada Leba Ali agar tidak ada benda tajam di sekitar Magi. Ironi sekali.
Dengan terpaksa, Magi pun menggigit pergelangan tangannya agar keluarganya mengerti bahwa ia sangat tersiksa. Akhirnya, ia pun bisa bebas setelah dibawa ke rumah sakit dengan kondisi yang mengenaskan. Keluarga Magi pun mengurungkan niat perjodohan itu.
Namun, janji itu hanya sampai pada ucapan saja. Keluarga Magi melanjutkan perjodohan kembali. Hati Magi terluka dan tersiksa dengan penghianatan keluarganya sendiri. Ia tidak diam, berbagai perlawanan ia lakukan dibantu oleh sahabat karibnya bernama Dangu Toda.
Perjuangan Magi menunjukkan perjuangan perempuan dari kungkungan budaya patriarki. Novel ini menggambarkan bagaimana sebagian budaya menjadi penjara, khususnya bagi perempuan. Tradisi ‘kawin tangkap’ sangat merugikan kaum perempuan dari segi fisik, mental, hingga impian masa depan.
Akan tetapi, praktik tradisi ‘kawin tangkap’ zaman sekarang sebenarnya berbeda dengan tradisi aslinya. Tradisi ini dulu tidak serta merta dilakukan begitu saja. Ada rangkaian yang dijalani dan dipersiapkan.
Pihak perempuan yang akan ditangkap sebelumnya sudah didandani lengkap dengan perhiasan baju adat yang cantik. Sedangkan pihak laki-laki menangkap calon mempelai wanita sembari menunggangi kuda yang dihias dengan kain adat Sumba. Prosesi dilakukan di tempat yang sudah disepakati bersama.
Pihak keluarga pun meminta maaf kepada keluarga calon mempelai perempuan dengan simbol sebuah parang Sumba dan satu ekor kuda. Woro-woro bahwa calon mempelai perempuan sudah berada di rumah calon mempelai laki-laki disampaikan dengan baik.
Tradisi kawin tangkap dilaksanakan dengan adat yang baik sebab prosesi telah direncakan dan disetujui oleh kedua belah pihak. Namun, pada zaman sekarang tradisi tersebut malah dimanipulasi dengan pemaksaan, kekerasan, dan pemerkosaan yang dinilai melanggar hak asasi manusia.
Sejak persoalan ini diangkat dan mulai diperbincangkan, berbagai upaya sudah digalakkan agar keadilan dapat ditegakkan. Sosialisasi pada instansi terkait penegakan keadilan diutamakan sebab pelestarian budaya dan adat istiadat masih dianggap sebagai aturan yang tak dapat disangkal.
Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo benar-benar menggambarkan dampak dari pergeseran budaya akibat manipulasi. Penderitaan Magi setidaknya menyadarkan kita akan pentingnya hak dan kesetaraan gender bagi kehidupan perempuan.
Semoga budaya dan hukum negara bisa diluruskan dan disetarakan. Dengan begitu, titik temu atas keadilan hak dan perlindungan perempuan dapat terpenuhi. Masa depan hidup perempuan juga tidak terhalangi oleh kedok pelestarian “budaya, tradisi, atau adat istiadat”.