Dalam narasi sejarah, perempuan sering dipandang sebelah mata. Kita bisa menengok misalnya dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, perempuan sangat minim terekam. Laki-laki lebih dominan. Padahal jika menilik lebih menyeluruh, kita akan menjumpai peran perempuan dalam perjuangan mengusir penjajah.
Misalnya, Perang Aceh (1873-1910). Di situ ada Teuku Umar. Kita mendengar cerita-cerita tentang perang tersebut didominasi sosok Teuku Umar. Padahal, di belakang Teuku Umar ada Cut Nyak Dien. Teuku Umar melanjutkan perjuangan istrinya itu, meski akhirnya dia ditangkap Belanda.
Begitupun tentang sebuah perjuangan revolusi di Timur Tengah dan Afrika, yaitu Arab Spring. Menukil dari Britannica.com, bahwa gelombang pertama Arab Spring terjadi di Tunisia dan Mesir pada 2010-2011. Setelahnya kemudian menginspirasi gerakan serupa dan menjalar ke berbagai negera-negara Arab yang merasakan ketidakadilan atas tirani di masing-masing negaranya. Revolusi ini dilatarbelakangi oleh seorang pemuda Tunisia, Mohammed Bouazizi.
Cerita perjuangan Mohammed yang memantik api revolusi Arab Spring ini dituangkan ke dalam sebuah novel yang digubah oleh Tahar Ben Jelloun dengan judul Dalam Kobaran Api terbitan Circa (2019). Novel ini, berkisah tentang keadaan Mohammed. Ia diserang oleh problematika hidup yang datang dari dalam keluarganya dan keadaan negaranya.
Selepas ayahnya meninggal, Mohamed putus asa dan bersipuh kesedihan. Kemudian, ia membakar ijazah strata satunya. Ia menganggap, kalau ijazah itu tak lebih dari tumpukan kertas yang tiada guna untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Lalu, ia memilih untuk meraparasi gerobak tua milik mendiang ayahnya dan menggunakannya untuk berjualan buah-buahan.
Berbagai masalah dihadapi manakala Mohamed menjajakan buah-buahannya. Mulai penggusuran saat ia berjualan oleh petugas kepolisian, pajak yang mencikik buat menggelar dagangan, hingga penyitaan gerobak miliknya yang dilakukan oleh aparat. Penyitaan itu membuat Mohammed murka.
Kemurkaannya ditunjukkan dengan hasrat untuk menemui walikota dan dupetinya. Ia datang ke gedung walikota. Namun, sesampainya disana, ia tidak digubris oleh resepsionis. Hingga, ia dipaksa keluar. Mohamed bangkit menuju pintu depan, mengguyurkan bensin dari rambut hingga sampai telapak kakinya. Berkobarlah api. Tubuhnya legam hingga wujudnya sudah tidak nampak seperti manusia lagi. Dari “kobaran api” itulah revolusi Arab Spring menggema.
Zineb: Peran yang Terpinggirkan
Mungkin sebagian pembaca buku garapan peraih penghargaan Golden Doves for Peace itu, hanya melihat Mohamed saja yang menjadi episentrum terjadinya Arab Spring. Misalnya, kita membaca resensi buku Dalam Kobaran Api berjudul Kobaran Api Mohamed Bouazizi: Membaca Kisah Nyata Asal Tunisia yang ditulis Eko Nurwahyudi di Alif.id.
Dalam bahasannya, Eko hanya menonjolkan peran Mohammed saja. Menurutnya, Mohamed ingin menunjukkan kepada pemerintah dan bawahannya tentang keburukan mereka. Karenanya, dengan kondisi demikian, mereka perlu shock therapy dengan kobaran api-nya Mohamed. Memang, kita sepakat akan soal itu. Namun, kita rada atau bahkan melupakan ada Zineb di balik Mohamed.
Zineb adalah pacar Muhammed. Ia selalu ada untuknya—di samping ada ibu dan keempat adik perempuannya. Zineb berkerja sebagai sekretaris di sebuah kantor dokter. Dia sangat mencintai Mohamed. Mohamed berpikiran, bahwa selekas menikah mereka akan tinggal di rumah orangtuanya.
Biasanya, mereka berdua mengobrol di sebuah kafe. Saling melontar cerita, bercanda, seringkali tawa pecah. Waktu itu, sepupu perempuan Zineb meminjamkan apartemennya untuk mereka.
“Suatu hari nanti,” kata Zineb, “kita akan keluar dari lubang gelap ini. Aku janji padamu. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannnya. Kau akan punya pekerjaan yang mapan, aku tidak lagi bekerja untuk dokter hina itu, dan kita bisa memulai kehidupan bersama. Lihat saja.”
“Ya, suatu hari nanti, tapi kau tahu aku tidak akan pernah sudi naik perahu kumuh itu dan menjadi orang illegal. Aku tahu rencanamu: Kanada! Ya, kita semua akan pergi ke Kanada, kita pergi ke tanah surga. Itu sudah ditakdirkan. Tapi sebelum itu aku harus menafkahi keluargaku dulu, merawat ibuku, dan berjuang untuk mendapat lokasi yang bagus untuk gerobak buahku.” Zineb meraih kedua tangan Mohamed dan menciumnya. Mohamed pun membalasnya dengan melakukan hal sama.
Kemudian, Zineb selalu mendukung penuh apa yang dilakukan Mohamed, yaitu saat gerobaknya disita, Zineb berada di belakang Mohamed. Bahkan di detik-detik Mohamed mengguyur tubuhnya dengan bensin, segala bayangan bergulat diingatannya. Termasuk Zineb. Zineb yang tersenyum, Zineb yang marah, Zineb yang memohon untuk tidak berbuat apapun; Mohamed bersandar di lengan Zineb di bawah pohon.
Pada akhirnya, Mohammed meninggal pada 4 Januari 2011. Dan, Zineb memimpin revolusi dengan rambut diikat di belakang dipadu pekikan lantang juga tangannya terkepal maju ke muka.
Seperti itu. Dari Zineb yang selalu ada buat Mohamed, sudah sepatutnya kita memahami bagaimana perjuangan perempun yang selalu menyokong laki-laki. Kedua insan itu harus saling mendukung, saling melengkapi, dan tidak lupa saling mendoakan. Agar tidak ada subordinasi dan klaim dominatif. Demikian.
Identitas Buku
Judul Buku : Dalam Kobaran Api
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Nanda Akbar Ariefanto
Penerbit : Circa (Juni 2019)
Dimensi : 68 Halaman; 11 x 17 cm
ISBN : 978-623-90721-0-0