Sepeda itu sudah cukup lama terbengkalai di samping rumah. Beberapa bagian sepeda sudah ada yang hilang dan beberapa bagian lain juga sudah mulai nampak bintik-bintik karat. Kedua ban sepeda juga sudah tidak lagi berisi angin.
Sepeda itu memang cukup lama tidak terpakai. Pada saat membeli sepeda itu dulu ukurannya jauh lebih besar dari ukuran badan anak saya.
Sebenarnya sepeda itu sudah pernah dipakai oleh anak saya. Dengan bantuan dua roda yang terpasang di roda bagian belakang dan juga tongkat penyangga, akhirnya sepeda itu dapat digunakan. Tentu pada saat itu anak saya tidak bisa mengayuh sendiri karena kaki dan tangannya memang masih belum sampai sehingga harus ada orang yang mendorongnya dari belakang.
Pada waktu tertentu mungkin anak saya merasa jenuh karena tidak bisa mengayuh sepeda secara mandiri, akhirnya sepeda itu tidak lagi dipakai dan menjadi terbengkalai.
Selama sepeda itu terbengkalai, istri saya sering sekali (bahkan boleh dikatakan sangat rutin) meminta saya untuk memperbaikinya dan mengajari anak saya agar segera dapat mengayuh sepedanya. Tapi saya memang bandel dan cuek saja. Permintaan istri saya itu cukup saya jawab dalam hati “kalau sudah waktunya kan juga pasti bisa.”
Melihat wajah anak saya, sebenarnya juga tidak tega karena beberapa temannya juga sudah ada yang bisa mengayuh sepeda. Bukannya saya malas atau tidak sayang anak, tapi saya memang melihat ukuran badan anak saya pada saat itu masih belum ideal untuk mengayuh sepedanya. Karena itu, saya biarkan saja dan menunggu waktu yang tepat.
Selang beberapa waktu yang cukup lama, entah mengapa pikiran saya tiba-tiba tertuju pada sepeda anak saya yang terbengkalai itu. Tanpa berpikir panjang, saya ambil dan bersihkan sepeda itu. Karena saya tidak memiliki keahlian dalam urusan “per-sepedaan,” akhirnya saya mengajak istri untuk membawanya ke bengkel sepeda. Tak butuh waktu yang lama, akhirnya sepeda itu pun sudah kembali normal dan dapat digunakan kembali.
Saya melihat senyuman yang indah dari anak saya yang baru saja pulang sekolah. Tentu banyak pertanyaan yang dilontarkan tentang sepeda yang terparkir manis di depan rumah. Tanpa menunggu waktu yang lama sepeda itu langsung mencoba untuk dipakai. Dengan susah payah mencoba untuk mengayuh sepeda itu. Tapi tampaknya, usaha yang dilakukan tidak semudah yang dibayangkan.
Saya hanya melihat dan mengawasi dari kejauhan. Saya memang sengaja memberikan waktu untuk belajar secara mandiri menaklukan sepedanya. Bagi saya itu adalah pengalaman yang sangat penting untuk proses tumbuh kembangnya. Terjatuh beberapa kali pun juga tetap saya biarkan saja.
Pada saat titik kejenuhan karena sulitnya menaklukan sepeda, akhirnya saya mencoba masuk untuk berdiskusi agar bisa mengayuh sepeda. Apa yang saya sampaikan masih ditentang karena keyakinan akan imajinasinya. Saya hanya mengatakan coba pakai cara yang “ini”. Anak saya kemudian menatap wajah saya, dan melakukan cara yang saya berikan. Satu kali percobaan dan “…….”. Terdengar suara teriakan yang sangat riang karena akhirnya dia bisa mengayuh sepeda meskipun hanya beberapa meter.
Cara itu terus dicoba sampai akhirnya berhasil mengayuh sepeda yang cukup jauh. Tentu saya sangat senang melihat kegembiraan anak saya pada saat itu. Tapi yang paling menggembirakan bagi saya adalah saya bisa menjawab “omelan” istri saya (heheheh). Setidaknya kita jangan memaksakan sesuatu yang belum waktunya. Jika sudah tiba waktu yang tepat semua akan jadi cepat.