Kumpul keluarga besar pada hari raya sudah jadi tradisi di masyarakat pemeluk agama/kepercayaan. Motif berkumpulnya pun beragam saja: melepas rasa rindu antar anggota keluarga besar, menyempurnakan akad maaf-memaafkan, atau sekadar mengikuti agenda tetap di keluarga.
Bicara rindu, bisa jadi salah satu manifestasinya ialah bertanya kabar terkini para kerabat—pun membagikan kabar diri sendiri pada mereka.
Secara tersirat, aktivitas silang kabar ini menguak prinsip hidup masing-masing kerabat. Pun, disadari atau tidak, kesamaan prinsip hidup menjadi salah satu indikator terbentuknya kubu-kubu kecil di forum kumpul keluarga.
Yang demikian memanglah wajar terjadi, lantaran, sebagai makhluk sosial, manusia cenderung lebih mudah menerima prinsip hidup yang umum dilakukan ketimbang yang tidak. Oleh karenanya, dalam forum tersebut, prinsip hidup yang masuk kategori tidak umum masih belum mudah diterima—bahkan setidaknya disikapi secara suportif.
Perbedaan yang tak disikapi secara suportif seringkali berujung pada situasi canggung, bahkan perundungan. Situasi semacam itu dapat menyiksa salah satu pihak/kubu; dan biasanya kubu minoritaslah yang tersiksa.
Bila mau jujur, saya yakin banyak sanak famili yang kini absen kumpul keluarga karena sebelumnya pernah menghadapi situasi menyiksa.
Bibit situasi menyiksa dapatlah berupa topik obrolan—yang tentu saja adalah hasil dari kegagalan menerima perbedaan prinsip hidup. Sejumlah topik yang rajin muncul dalam forum kumpul keluarga, antara lain: pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS), bisnis beromset tinggi, dan pencapaian dalam rumah tangga.
Bagi saya, topik-topik di atas lebih tepat disebut sebagai basa-basi—yang telah mencerminkan betapa sesungguhnya kita, sebagai pelontar topik, tak betul-betul mengenal lawan bicara.
Jika benar-benar saling mengenal, atau paling tidak memiliki upaya untuk saling mengenal, saya pikir topik obrolan akan mengerucut kepada minat khusus serta aktivitas yang memang sedang dilakoni si lawan bicara. Setidaknya, kita tak akan bertanya soal CPNS sambil senyum-senyum (sok) polos kepada kerabat yang sudah jelas memilih fokus menggarap gabah dari sawahnya sendiri.
Saya, sebagai guru, penulis, serta pegiat program seni, acapkali membayangkan betapa asyiknya bila para kerabat—dengan antusias—bertanya kepada saya: “Kapan terbit buku baru?”, “Mana yang lebih mudah, mengajar anak-anak atau orang dewasa?”, “Kapan ada pertunjukan teater lagi di Mataram?”, dan semacamnya.
Namun, rasanya tahun ini saya masih harus menengadah ke langit hijau, dan masih harus menganggap bahwa forum kumpul keluarga besar tak ubahnya ruang meja hijau.
Sebuah akun hiburan di Instagram, Komik Kamvret, pernah meluncurkan komik setrip bertemakan Idulfitri. Diceritakanlah sesosok malaikat merobek catatan dosa pada sebuah buku usai menyaksikan seorang tante dan satu ponakannya saling bermaaf-maafan. Tak lama berselang, si tante mulai melontarkan pertanyaan pada ponakannya soal kapan lulus kuliah, kapan menikah, dll.
Karena hal itu, sobekan catatan dosa kembali dipunguti si malaikat. Bagi saya, kisahan tersebut tak hanya berhasil menyuguhkan hiburan, tapi juga refleksi bagaimana Idulfitri dirayakan di luar ritual ibadahnya.
Ada keterkaitan antara kisahan Komik Kamvret di atas dan topik basa-basi sebelumnya, yakni laku komunikasi yang berorientasi pada hasil.
Pada laku komunikasi, orang-orang sebenarnya bebas saja untuk berorientasi pada hasil atau pun proses. Sayangnya, di forum kumpul keluarga, percakapan dengan orientasi hasil akan cenderung dangkal dan tampak sekadar basa-basi yang condong ke durasi percakapan pendek.
Maka tak heran jika topik obrolan dengan mudah melompat ke sana kemari. Tak jadi masalah jika lompatan tersebut sama-sama dinikmati; akan tetapi, bagaimana jika salah satu pihak merasa tak nyaman, atau bahkan merasa dirundung?
Laku komunikasi berorientasi proses, hemat saya, merupakan sebuah solusi. Mari kita uji laku tersebut melalui contoh kisahan Komik Kamvret:
Setelah sama-sama saling memaafkan, si tante, yang tahu bahwa ponakan sedang dalam proses mengerjakan skripsi, akan bertanya perihal judul skripsi yang diambil si ponakan—alih-alih langsung menembaknya dengan pertanyaan, “Kapan lulus?”
Dari jawaban si ponakan, tentu obrolan dapat berkembang. Di antaranya, dapat pula dilanjutkan oleh si tante ke pertanyaan: “Apa nih motivasi kamu memilih topik itu untuk jadi skripsi?”, “Bagaimana proses penelitiannya?”, “Apa kendala yang dihadapi?”, dan “Apa rencana kamu setelah lulus nanti?”
Contoh di atas mencerminkan sebuah bayangan: bahwa satu topik obrolan dapat dibahas sedalam mungkin dengan laku komunikasi berorientasi proses. Dengan mengubah orientasi pola komunikasi sebagaimana barusan, kita—sebagai yang memulai percakapan—menunjukkan upaya untuk lebih mengenal kerabat tersebut.
Seandainya si ponakan itu adalah saya, jelas saya akan merasa sangat nyaman mengobrol dengan si tante walaupun, katakanlah, kami jarang sekali bertemu.
Namun, tak dapat ditepis bahwa menentukan orientasi dalam berkomunikasi bukanlah perkara mudah, sebab ia bukanlah hal yang pasti terwariskan secara genetik (nature), melainkan sebuah konstruksi sosial (nurture). Alhasil, setiap manusia perlu mempelajarinya, kemudian melatih diri agar cakap.
Dan, tradisi kumpul keluarga besar sebenarnya bisa jadi wadah untuk itu semua. Dimulai dari belajar memilih topik yang pas untuk lawan bicara, kemudian menyimak secara seksama agar dapat merespons secara pas.
Dengan mengubah orientasi laku komunikasi, saya optimis tradisi kumpul keluarga besar dapat berubah menjadi forum yang menyenangkan dan dirindukan. Lebih jauh lagi, ikatan emosional antar kerabat pun akan terjalin semakin kuat. []