Sejarah merupakan latar penting dan tapak jalan bagi manusia menuju masa depan. Tidak berkurang, malah terus bertambah jika kita menyelami catatan sejarah umat manusia.
Sejarah berkaitan dengan peristiwa masa lampau yang melingkupi ruang, waktu, dan siapa pelakunya. Soal siapa pelakunya, ada adagium menarik yang barangkali penting untuk direfleksikan oleh setiap orang, yakni “setiap masa ada sejarhnya dan setiap sejarah ada orangnya”.
Oleh karena itu, sejarah tak pernah berakhir. Meski para pendengung dan pendukung Kapitalisme terutama dari negeri Paman Sam telah berkali-kali berseru tentang Kapitalisme adalah akhir dari sejarah.
Sebuah sistem dunia yang diyakini mampu menghadirkan kebahagian bagi seluruh umat manusia di dunia. Namun, memiliki kontradiksi dalam dirinya; menciptakan hubungan sosial di seluruh planet bumi dengan mendasarkan diri pada siapa yang menguasai cuan, maka dialah yang paling mulia dan berkuasa.
Kembali kepada sejarah. Aku, dan barangkali mereka yang hidup dan menjalin hubungan sosial di era paling maju dari fase sejarah kali ini, pernah punya kisah beragam yang bisa disebut sebagai sejarah.
Meski itu hanya soal kisah cinta, atau masalah keluarga, juga bisa kisah heroik lainnya sepert ditangkap isilop ketika berdemonstrasi, atau dikejar guru kerena ketahuan bolos dengan melompat dari pagar sekolah dan lain-lain.
Akan tetapi, siapa yang mengerti, atau bagaimana orang lain dapat megetahui kisah itu jika tidak diceritakan? Atau paling tidak menyajikannya dalam catatan sejarah agar orang lain dapat mengambil pelajaran, bahkan bisa mencontohkan dalam kehidupan di masa mendatang!
Maka dari itu, sebagai orang yang pernah membayangkan untuk membuat catatan kecil perihal kerumitan-kerumitan yang dihadapi sepanjang sembilan tahun membangun kisah cinta dan pada akhirnya ambyar, aku ingin menyajikan kisah itu dalam tulisan ini.
Barangkali dengan begitu aku dapat menceritakan sejarah aku kepada para pembaca yang budiman.
28 Oktober
28 Oktober merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah kebangsaan. Pada tanggal ini, di tahun-tahun yang lampau, sekelompok anak muda dari penjuru tanah air berkumpul di Surabaya untuk mendeklarasikan sumpah dan janji kesetiaannya kepada bangsa.
Tentang “berbangsa yang satu, bertanah air satu, dan berbahasa yang satu: Indonesia”. Sebuah janji persatuan yang selalu ada di setiap perayaannya, tak terlepas di setiap aksi demonstrasi mahasiwa.
Janji setia itu seperti pernyataan cinta seorang pangeran kepada permaisuri dalam cerita kerajaan tempo dulu. “Engkaulah satu-satunya permaisuriku”, demikian aku memberi perumpamaan.
Tepat pada 28 Oktober 2019, bersamaan dengan perayaan hari sumpah pemuda, dan aliansi besar dari gerakan rakyat di Malang, Aliansi Front Rakyat Melawan Ologarki dan Aliansi Rakyat Demokratik turut merayakan momentum sumpah pemuda dengan menggelar aksi demonstrasi di depan Balai Kota Malang.
Aksi ini merupakan lanjutan dari rangkaian sebelumnya merespon kebijakan negara yang sewenang-wenang merubah sejumlah Undang-undang. Payung hukum Lembaga Antirasua termasuk yang paling disorot.
Aku tergabung dalam Front Rakyat Melawan Oligarki (FRMO) bersama sejumlah kawan dan para comrade. Selama beberapa bulan terlibat dalam aksi protes bertajuk #ReformasiDiKorupsi, tak pernah terfikir tentang bagaimana aku dapat membagi waktu.
Meski sekadar mengiriminya pesan “apa kabar Ina?” atau menuliskan sebait puisi untuk menghiburnya. Aku terlarut dalam balutan amarah terhadap negara berserta pendukungnya.
Aku melupakan dirinya sepanjang malam dalam masa-masa itu. Tiada hari tanpa mencela negara, dari lingkaran inti aliansi, forum diskusi, komunitas-komunitas warga, hingga perkumpulan kawan-kawan kontrakan.
Bahkan aku memerintahkan beberapa saudara di kontrakan untuk terlibat dalam aksi. Mungkin berlebihan, namun itulah satu-satunya cara yang terpikirkan olehku untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap negara dan oligarki pendukungnya.
Sebelum itu, seruan aksi melalui flyer dan poster-poster propaganda lainnya yang tersebar telah mendapat respon dari alat kekerasan negara. Beberapa tempat, termasuk para comrade dan aku sudah menjadi target intaian.
Hal ini semakin membuat batinku gelisah. Bagaimana tidak, tempat yang menurutku paling aman untuk berlindung ketika selesai melakukan aksi protes ternyata telah menjadi target pengintaian.
Demikian juga sebuah tempat lainnya sebagai alternatif bagi kawan-kawan aliansi merumuskan strategi perlawanan. Keduanya, kini menjadi “merah” atau target.
Di tengah kegelisahan batin ini, satu malam sebelum aksi digelar pada esok paginya, aku memikirkan tempat menenangkan diri yakni di kontrakan para saudara.
Keesokan harinya, tepat pada 28 Oktober 2019, aksi dimulai secara damai dengan berkampanye dan menyerukan propaganda melalui ragam ekspresi. Membuat panggung rakyat, bernyanyi, membaca puisi, orasi, serta bentuk protes lainnya. Aksi diakhiri sekitar pukul 16.00 WIB.
Massa aksi mulai membubarkan diri dan kembali ke tempat masing-masing. Aku bersama beberapa comrade juga memutuskan pulang setelah semua perangkat aksi dikumpulkan. Sepulang dari aksi, aku langsung menuju kontrakan.
Setiba di sana, aku membuka androidku dan melihat ada notifikasi pesan di akun Instagram. Pada titik inilah dimulai, kisah sembilan tahun benar-benar usai dan yang tersisa hanyalah penyesalan.
Berakhir dengan salam
Mula-mula, aku hanya sekadar membuka pesan Instagram lalu kembali menutupnya. Beberapa saat setelah notifikasi pesan melalui Instagram kembali muncul dengan teks cukup panjang dan aku memutuskan untuk membaca meskipun belum sepenuhnya menyadari.
Ternyata, Instagram merupakan satu-satunya media komunikasi di antara kita. Hal ini karena WhatsApp telah diblokirnya tanpa sepengetahuanku. Belum selesai aku membaca teks dipesan itu, ia mulai menelfon.
Aku menolak telfonnya dengan maksud membaca lebih fokus pesan yang ia kirim. Hatiku mulai gelisah, perasaan dan pikiran tak bisa dikontrol. Aku terdiam.
Bagaimana tidak, teks dari pesan itu adalah sebuah permohonan maaf yang dinarasikan seperti mendongeng kembali perjalan kisah kami. Teks itu sekaligus mensyaratkan dirinya akan menikah.
Aku mencoba kuat di hadapan kawan-kawan kontrakan. Berbagai cara aku lakukan untuk menutupi mataku yang berbinar dan sebentar lagi meneteskan air mata. Ah sudah, batinku menyeru.
Di saat bersamaan, androidku terus bergetar karena telfon darinya, aku tak kuasa menjawab. Lalu aku mencoba menuliskan pesan tentang penyesalan dan permohonan maaf.
Aku menyadari, aku terlalu egois dan naif untuk menjadi seperti bung Hatta atau tokoh revolusi lainnya yang memutuskan untuk menikah setelah kemerdekaan.
Demikian halnya sikapku yang menyepelekan komunikasi, serta bentuk kesalahan lainnya telah membuatku benar-benar memutuskan untuk mengakhiri.
Terlepas ada tidaknya tuntutan keluarga dan lingkungan di kampung terhadap dirinya untuk segera menikah, aku tetap tak punya hak dan kuasa membatalkan keputusannya.
Oleh karena itu, untuk membalas pesannya aku tidak mungkin menaruh harapan lebih. Terutama mengajaknya kembali, dan yang bisa aku lakukan waktu itu adalah mencoba memberi penjelasan.
Dengan penuh penyesalan, aku rangkai dalam satu kalimat pendek “aku tak mungkin berharap kamu merubah keputusan, tapi aku juga tidak mudah berdamai dengan hal ini, Ina. Sebab untuk mengikhlaskan kepergianmu, aku memerlukan waktu yang cukup lama, paling tidak dua sampai tiga tahun ke depan. Jika tidak mau menyamakan waktu ketika kita membangunnya dulu”.
Ia tak menjawab pernyataanku pada pesan yang aku kirim. Ia justru memintaku untuk menerima telfon singkatnya. Aku bertanya, untuk apa, bukankah mendengar suaranya justru membuatku semakin terpuruk?
Ia tetap ngotot dengan permintaannya “tolong jawab telfon, Kak”. Meski berat, namun tak ada cara lain kecuali mengiriminya pesan “iya silahkan, Dek”. Tentu aku punya harapan lebih ketika mengiyakan permintaanya. Paling tidak, aku dapat memberi penjelasan tentang sikapku beberapa bulan terakhir.
Sayangnya, itu hanyalah ekspektasiku yang berlebihan. Ia membuka blokir di WhatsApp dan menelfonku. Ia memberi salam “Assalamu’alaikum” lalu aku menjawab “Wa’alaikummusalam”.
Ia terdiam beberapa menit lalu berkata “terimakasih, aku hanya ingin mendengar suaramu sebelum aku menutup catatan kita” tandasnya menimpali salamku. Kemudian ia mengucapkan “Assalamulaikum” untuk menutup telfonnya.