Sejarah pada hakikatnya bukan sekadar kumpulan catatan atas pelbagai peristiwa dan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, melainkan lebih dari pada itu. Sesungguhnya sejarah adalah sebuh narasi yang membentuk kesadaran. Kesadaran hadir sebab lingkungan membentuk kesadaran itu sendiri. Sebagaimana kesadaran dari seorang raja yang bernama Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang mengeluarkan imbauan untuk melakukan pelestarian lingkungan untuk kesejahteraan manusia. Imbauan tersebut terdokumentasi pada sebuah Prasasti Talang Tuwo, tepatnya pada 23 Maret 684/606 Masehi (Para sejarawan masih memperdebatkan masalah tahun, ada yang mengatakan 648 ada pula 606 M)
Konsep Konservasi Ala Baginda Jayanasa
Selama ini ketika membicarakan konsep konservasi barangkali kita hanya teringat Bapak Theodore Roosevelt. Ia adalah orang yang pertama kali menggagas konsep konservasi pada tahun 1902 dengan sebuah narasi “Konservasi dibagi dalam dua bagian yaitu sisi ekonomi dan sisi ekologi, yakni memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk masa kini dan masa depan”. Padahal jika mau ditelisik, Indonesia sudah sejak dahulu menerapkan konsep tersebut terutama oleh Baginda Sri Jayanasa.
Konsep konservasi ala baginda Jayasana baiknya diawali dengan isi dari Prasasti Talang Tuwo. Ia berisi substansi dari pembangunan Taman Sriksetra oleh Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Berdasarkan prasasti tersebut, Yenrizal (2018) berpendapat bahwa terdapat tujuh nilai masyarakat Sriwijaya dalam memaknai lingkungan. Pertama, masyarakat Sriwijaya saat itu telah mengenal sistem penanaman tanaman wajib yang sifatnya beragam. Kedua, masyarakat Sriwijaya masa itu telah mengenal sistem penanaman tanaman ramah lingkungan (bambu, waluh, dan lain-lain). Ketiga, masyarakat telah memunculkan nilai pentingnya irigasi atau saluran air. Keempat, masyarakat Sriwijaya memperhatikan aspek lingkungan yang ramah bagi semua makhluk hidup. Kelima, masyarakat Sriwijaya menyadari pentingnya kriteria pemimpin yang perhatian terhadap lingkungan. Keenam, bentuk kecintaan terhadap lingkungan adalah manifestasi dari kecintaan terhadap Tuhan. Ketujuh, kecintaan terhadap lingkungan berarti kecintaan terhadap kehidupan sosial bermasyarakat.
Konsep tersebut megingatkan pada konsep segitiga, yakni meletakkan Tuhan maupun dewa dalam setiap pijakan. Jika kita menjaga alam imbuhnya dalam Prasasti Talang Tuwo, sejatinya kita akan mendapat keberkahan dari dewa yang memberkati kita semua. Kedua dan ketiga adalah kesejajaran antara alam dan manusia. Bahwa sesungguhnya kesadaran akan penciptaan manusia di alam ini sudah ada di benak rakyat sriwijaya kala itu. Terbukti dengan proses pembagunan yang terus menjaga keseimbangan alam di sekitar Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Najib (2017) dalam Mulyana, dkk., (2019) Prasasti Talang Tuwo menjadi pijakan ideologi pembangunan yang dilakukan. Kerajaan Sriwijaya telah terbukti selama beberapa abad membangun peradaban luhur di Asia Tenggara. Utamanya dalam pembangunan Taman Sriksetra yang digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial baik bagi rakyat dan lingkungan. Tanpa harus mengorbankan salah satunya untuk mewujudkan keingian satu subjek saja.
Apabila ingin kembali mengingat sebelum terciptanya manusia di bumi, Dewa/Tuhan terlebih dahulu menciptakan alam dengan tujuan sama, yakni memberikan kehidupan kepada makhluk hidup khususnya manusia. Oleh karena itu, sepatutnya manusia juga menjaga alam sebagai salah satu penghormatan kepada Maha Pencipta. Artinya, Raja Jayasana hendak menciptakan pradigma etika lingkungan yang beradab. Setidaknya, dia menggunakan paradigma Ekosentrisme sebagai landasan dalam menjaga lingkungan walupun kita mengetahui bahwa konsep tersebut belum tertulis di masanya terdahulu. Namun, perilaku tersebut sudah sedari awal dipraktikkan olehnya.
Menukil salah satu penganut Ekosentrime yakni Arne Naess, seorang filsuf asal Norwegia. Naess dalam menggunakan paradigma Ekosintrisme menggunakan cara pandang baru, yakni Deep Ecology. Bahkan, pandangan ini mengajak semua untuk tidak lagi meletakkan manusia sebagai segala pusat dari keseluruhan. Namun, meletakkan segala makhluk hidup untuk mengatasi segala hal. Kata Sutoyo dalam artikelnya yakni “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup” Deep Ecology memiliki filsafat pokok ecosophy. Eco berarti rumah tangga dan sophy berarti kearifan. Ecosophy diartikan sebagai bentuk kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Proses ini juga menjadi poin utama melihat konsep Raja Jayasana bukan saja meletakkan konsep segitiga. Sebagaimana, yang telah di ungkapkan di atas. Namun, Raja Jayasana juga membagun kearifan lokal untuk membangun konsep yang sesuai dengan keadaan wilayahnya.
Pada hakikatnya Raja Jayasana telah meletakkan suatu konsep konservasi yang melampaui zaman. Bahkan, Raja Jayanasa telah meletakkan dasar nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan memanfaatkan kekayaan alam atau isi bumi untuk kemakmuran manusia bersama makhluk lainnya dengan tetap menjaga kelestarian alam.
Kebijakan Melampui Zaman Masa Kini
Meminjam kata Lutfi J. Kurniawan—seorang pemerhati demokrasi di Malang—pernah mengatakan bahwa “Ruang adalah pertukaran gagasan dalam merebut perubahan”. Sama halnya seperti kata Marsen Sinaga dalam bukunya yang berjudul “Belajar Bersama Arkomjogja Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai” bahwa “Ruangan adalah sebuah wilayah perwujudan eksistensi. Karena itu, ruang bisa menjadi persoalan eksitensial. Seseorang sering dilihat dalam kaitannya dengan ruang yang ia miliki dan tempati”.
Sama halnya dengan Raja Jayanasa yang menganggap wilayahnya adalah ruang dalam mempraktikkan kekuasaannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau makhluk hidup yang menempati wilayahnya. Sebab, tidak ada kemakmuran ataupun kesejahteraan yang dapat tercapai dalam suatu wilayah yang mengabaikan kebutuhan rakyat.
Menata ruang tentu perlu dengan konsep yang beradab dan memuat segala kebutuhan yang ada. Sebab, perubahan hanya dapat diciptakan dari kemauan para pemimpinnya yang memiliki relasi baik juga terhadap lingkungannya. Setidaknya, kebaikan tersebut tertuang pada kebijakan yang dibuat seorang pemimpin. Dengan niatan itulah Raja Jayasana menciptakan aturan yang tertulis di sebuah Prasasti Talang Tuwo—sebuah anjuran untuk menjaga alam dan memperkuat ekonominya.
Salah satu keyakinan untuk terwujudnya kesejahteraan yang diimpi-impikan oleh semua makhluk tidak lain dan tidak bukan adalah keberpihakan seorang pemimpin. Keberpihakan dalam membawa kesadaran menjaga lingkungan guna menciptkan impian itu menjadi kenyataan, tak sekadar mimpi di siang bolong. Sebab, system atau struktur yang terdapat dalam suatu wilayah dapat memengaruhi kesadaran atau bahkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemimpin Indonesia belajar dari Seorang Raja Jayasana. Ia meletakkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan, bukan keinginan atau kebutuhan segelintir orang saja. Melihat Indonesia adalah negara Megabiodeversitas. Hal ini karena Indonesia memiliki keragaman fauna dan flora yang melimpah. Sangat disayangkan apabila tidak digunakan sebaik mungkin. Jangan sampai julukan Megabiodeversitas berubah menjadi Megainvestor.