Mobil keluaran terbaru dengan cat hitam metalik yang sangat mengkilap berjalan pelan menuju tempat parkir di sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di ruas jalan tol Surabaya menuju Lamongan. Jalan ini dulu sangat dikenal sebagai jalan raya pos Daendels.
Senja itu, saya teringat dengan novel Jalan Raya Pos Daendels yang ditulis oleh seorang sastrawan besar yang pernah hiidup di bumi Nusantara ini, Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel tersebut, Pram, begitu ia disapa oleh publik Indonesia maupun dunia, menceritakan bahwa tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan, bahkan meninggal dunia dalam pembuatan jalan raya dari Anyer hingga Panarukan ini.
Jumlah yang meninggal dunia sungguh luar biasa. Banyak yang menduga hingga ribuan orang di era kerja paksa di jaman Hindia Belanda. Hingga kini, jalan yang dikenal dengan nama jalan raya Daendels ini masih kokoh dan terfungsikan secara maksimal untuk jalur darat bagian utara atau pantai utara.
Jalan ini dibangun berdasarkan perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dengan panjang 1.000 kilometer dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Situbondo dengan nama aslinya De Groote Postweg atau De Grote Postweg dengan lima rute. Jalan ini dibangun untuk memodernisasi Jawa.
Mobil bercat hitam tadi bergerak dari area parkir menuju tempat tambal ban yang ada di area SPBU. Rupanya mobil yang harganya mencapai hingga lebih dari setengah milyar itu berhenti tepat di depan tambal ban yang sudah menggunakan peralatan relatif modern. Bukan seperti tambal ban sepuluh tahun yang lalu atau tambal ban saat ini yang berada di pinggiran kota yang jauh dari akses-akses pertambalan ban modern.
Dari kejauhan terlihat pengendara mobil tersebut berdialog dengan petugas tambal ban dan terlihat mereka saling mengangguk, tanda sama-sama mengerti dan setuju untuk sesuatu hal. Karena setelah itu, petugas tambal ban langsung memasang peralatan di sekitar ban belakang mobil bercat hitam metalik tersebut.
Sebenarnya tidak ada hal yang istimewa dengan adegan menambal ban yang bocor terkena paku atau benda tajam lainnya yang menyelinap dan terlindas ban mobil, lalu menancap di ban dan menyebabkannya bocor. Satu-satunya yang istimewa dari peristiwa menambal ban bocor adalah cara pandang untuk saling menghormati dan menghargai setiap pekerjaan.
Mobil dengan harga mahal dan pengendara yang sedemikian parlente, tetap harus berbicara dengan orang yang bekerja sebagai penambal ban. Artinya, tanpa ada penambal ban maka kemewahan seluruh fitur mobil dengan cat yang sangat mengkilap dan menakjubkan mata yang melihatnya tidak ada gunanya. Ia harus tunduk juga dihadapan penambal ban. Jika ban tidak terisi angin yang cukup alias kempes, mobil semahal apapun tidak dapat dinikmati dengan sempurna.
Memang dunia yang fana ini dilengkapi dengan sunatullah-Nya. Dengan bahasa yang sederhana, perlu saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Manusia ternyata tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri. Ia tetap membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan beragam hal dalam hidup dan kehidupannya.
Seberapapun besar kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang, ia tetap tidaklah bisa menyelesaikan masalahnya dengan kemampuan dirinya sendiri. Ia tetap membutuhkan orang lain.
Peristiwa tambal ban di sebuah SPBU yang terjadi beberapa waktu lalu telah menjadi lonceng peringatan bagi saya, bahwa di dunia ini tentu selalu ada yang besar dan ada yang kecil. Ada yang mampu dan ada yang tidak mampu. Ada yang memiliki dan ada yang tidak memiliki. Ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Begitulah seterusnya hukum alam ini terjadi sebagai penjelasan dari sebuah keniscayaan sunatulah.
Kejadian di jalan raya Pos Daendels ini telah memberi saya makna untuk selalu tetap memberikan penghormatan dan penghargaan bagi setiap orang yang sedang menjalani kehidupannya. Karena, setiap kehidupan tidak ada yang sia-sia. Karena setiap kehidupan adalah kehormatan bagi setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, kita harus terus merayakan kehidupan bersama-sama dengan riang gembira dan Bahagia.
[…] di abad modern ini kerupuk telah bertransformasi menjadi alat mempertemukan beragam kelompok dan strata sosial masyarakat dalam ikhwal kegiatan perlombaan di perempatan-perempatan, di gang-gang kampung, maupun […]