As Tears Go By

Tak ada pemerintahan, hukum dan Gedung yang rapih dalam As Tears Go By. Bangunan berdiri begitu saja, masyarakat tumbuh tanpa rencana. Hanya ada kumpulan bandit dalam kelompok Triad. Hidup seperti mimpi dalam film-film cyberpunk. Anda boleh membayangkan terlahir di tempat ini, tapi mereka yang lahir di sana, barang sejengkal pun tak sanggup bermimpi. Kehidupanlah mimpi itu sendiri. Melangkah sejengkal, senjata meletus, pindah sejengkal lagi, orang mabuk menghisap ganja, sejengkal lagi, orang sedang menunggu milyar uang turun dari bandar judi. Itulah Kota Kowloon, kota hasil dari sengketa Perang Nangking antara Tiongkok dan Britania Raya. Saat ini mungkin kota ini tinggal kenangan, sejak tahun 1994 pemerintah setempat menutup kota ini dan menjadikannya taman. Wong Kar-Wai pernah singgah ke tempat ini.

Memang antara hidup dan mati, seperti kata Soebagyo, selubung kabut yang gampang di sebrangi. Di Kota ini batas antara keduanya memang seperti ini. Tapi toh, manusia sukar ditebak, karena beberapa orang memutuskan pergi betaruh ke kota ini. Termasuk Ah Wah (Andy Lau) tokoh utama dalam film As Tears Go By (1988) bersama adiknya Fly (Jackie Cheung) ikut bertaruh ke kota ini. Mereka bekerja di bawah mafia yang bertugas menagih utang pada pedagang, sekaligus Paman – dalam arti keluarga mafia – yang memiliki bar tempat berkumpulnya para mafia. Karir Wah cukup cemerlang, ia dipercaya menjadi salah satu Debtcollector yang kejam. Suatu waktu, Fly si adik diminta menagih hutang tapi gagal,Wah yang sedang sibuk kesal. Fly dimarahi karena bagi Wah menagih hutang perkara gampang, mengapa Fly gagal hanya karena alasan remeh si penghutang. Akhirnya Wah datang, menagih hutang, membuat perkara keributan dan saling tembak.

Latar tempat yang dipilih Wong, Kowloon agaknya tepat, melanjutkan kisah roman yang ia buat sebelumnya ia memilih kota ini. Kota yang memiliki energi seperti lubang hitam, menyerap kesadaran penghuninya. Bagaimana orang-orang bercinta, jika Wong si romantis mengambil latar kota mafia. Tentu kisah ini seperti kisah cinta mafia lainnya. Wah sebagai pentolan yang mulai terkenal memiliki hubungan yang sudah berjalan selama 6 tahun dengan perempuan penjaga bar bernama Mabel. Suatu waktu, saat Wah sedang menghabiskan waktu di Bar ia bertemu dengan Mabel dan mengajaknya bercinta. Mabel menolak karena dia baru keluar dari rumah sakit. Wah terkejut lalu bertanya mengapa, Mabel bilang ia baru aborsi. Mabel melakukan itu demi kebutuhan hidupnya sebagai penjaga Bar. Keduanya lalu bertengkar, dan ditutup dengan pernyataan perpisahan yang menyakitkan, “kita sudah bersama selama 6 tahun, tapi aku tak seperti mengenalmu”. Wah mabuk berat, Mabel meninggalkan tempat, sampai di apartemen Wah memecahkan piranti pangan miliknya dan gelas-gelas pecah.

Di tengah kondisinya yang tak kondusif, Wah sadar di apartemennya ada kemenakannya yang sedang menumpang. Ia adalah Ah-Ngor, putri dari paman kedua Wah. Ah-Ngor sedang mencari rumah sakit murah guna kepentingan penyakit paru-parunya di Kowloon. Ia menumpang di tempat Wah berkat restu pamannya. Wah berhenti mengamuk setelah sadar Ah-Ngror ada di tempat itu. Di sinilah letak penting kisah As Tears Go By menggambarkan roman dalam kota tanpa hukum itu. Suatu wilayah, tanpa hukum dan kontrak sosial jelas, tetap memiliki ikatan primordial yang masih terhubung. Ikatan darah. Ikatan tanpa persetujuan yang ada di dunia ini, ikatan keluarga. Tentu saja, tema ini umum. Sebagian besar tema-tema film mafia di dunia, selalu berangkat dari ikatan darah. Ini semacam ungkapan klise, “seberapa besar masalahmu di dunia, keluarga tempat kembali”.

Hubungan Ah-Ngor berlanjut, jatuh ke dalam hubungan romantis. Tanpa menghilangkan ciri khas romantisme Wong yang platonik, Wah kembali masuk adegan bertemu dengan Mabela tapi dalam kondisi Mabela yang sudah menikah. Wah dan Ah-Ngor kendati satu keluarga, justru menjalin hubungan romantis setelahnya. Meski sempat ditinggal  akhirnya mereka sempat hidup bersama. Dengan catatan, dalam kondisi masih terjebak dalam dunia mafia, Wah sempat sekarat akibat seteru geng. Hubungan satu darah, romantis dan seksual sekaligus. Dengan latar Kowloon agaknya kisah ini tepat.

Romantisme ala film mafia di kota pemimpi. Ini yang menarik dari hari-hari para mafia Kowloon. Hari-hari yang kejam sekaligus cinta yang berubah-ubah. Kisah yang bukan hanya sekedar beranjak pada narasi roman orang-orang Kota. Saya merasa seperti berada di tepi Kota Jakarta. Di tengah ketimpangan kelas sosial, mereka yang bertahan, entah selalu memiliki alasan hidup. Hidup untuk hidup sendiri, bukan pasrah pada pesimisme kematian. Cinta dan benci yang berubah tiap detik, seolah menandaskan air mata di kota mudah berlalu. Air mata yang gampang pergi inilah roman kota ala Wong.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here