Pada tahun 1967 Hugo Gernsbeck meninggal di New York. Seorang Yahudi yang meninggalkan legasi dalam dunia al-kisah (sci-fi). Dunia fiksi modern yang waktu itu beriringan dengan semaraknya penemuan-penemuan baru dalam dunia sains. Khususnya dalam tradisi fisika modern. Gernsbeck adalah salah seorang pengamat dan penulis fiksi sains yang mengangkat genre tema baru ini sebagai kisah yang mungkin akan terus berkembang di masa mendatang. Novelis Amerika, H.G. Wells menobatkannya sebagai Bapak Fiksi Sains. Salah satu yang disorot oleh Wells adalah karena majalah terbitan Gernsbeck, Amazing Stories yang mengangkat banyak hal tentang Fiksi Sains sebagai dunia fiksi tersendiri yang utuh dan kuat.
Ulasan penting yang mengangkat nama Gernsbeck antara lain kritiknya tentang dasar dari pada kisah sains yang difiksikan. Dalam Amazing Stories , ia sering mengulas bahwa kekuatan cerita dalam genre ini antara lain keselarasan logika sains dan dunia (fiksi) yang ditawarkan. Bahkan ia memberikan kategori, semakin selaras logika sains dengan fiksi, semakin baik kisah itu dibentuk. Keselarasan yang kuat, ia kategorikan sebagai Hard Sci-Fi. Sementara yang kurang selaras, baginya termasuk dalam Sci-Fi. Sejak saat itu, di Amerika narasi ini berkembang. Film legendaris yang terkenal di dunia karena pemikiran Gernsbeck salah satunya Terminator. Pintu pembuka keliaran imajinasi cerita sains yang mengangkat dunia dalam distopia Teknologi.
Selaras dengan perkembangan Sci-Fi di Amerika, banyak industri perfilman Non Hollywood mulai mengangkat tema yang serupa. Termasuk dua industri cerita superhero Amerika, yaitu Marvel dan DC yang mulanya berawal dari komik. Sejauh perkembangan adaptasi Sci-Fi ke dalam film, belum jelas film apa yang pertama kali dikategorikan sebagai Sci-Fi yang mendobrak. Beberapa pengamat mengatakan, The Outer Limit dan Blade Runner memiliki pengaruh besar. Hanya saja, film yang menjadi kanon genre ini terkadang hanya mengangkat teori sains kontemporer, yang salah satunya mengacu pada perkembangan Teknologi mutakhir. Seperti senjata dari nanoteknologi misalnya,
Sementara dalam perkembangan Sains, kita tahu jalannya tak semudah itu. Ada banyak film, yang mungkin hanya menguji narasi dan teknik sinematografi , tapi urusan logika sains yang dibentuk jarang menuai kritik. Sains membawa paradigma baru masyarakat modern, setidaknya pencapaian ini bisa dikatakan melangkah dari metafisika lama yang bicara tentang dunia akhir dan kisah apocalypse. Logika yang dipaksakan secara positivistik. Para penganut Popperian dan Weber. Orang yang meyakini, sains adalah segala jawaban yang ada dalam permasalah dunia. Dengan itu narasi dibentuk seperti gejala saintisme. Sementara dalam kurun yang sama, Nietzsche menghancurkan logika ini dengan argumennya, dalam realitas dunia yang tak terpemanai, Sains seolah menjadi jawaban absolut. Padahal sejatinya Sains hanya mengangkangi realitas. Yang membuat Sains dipercaya menjadi solusi, bukan Sains itu sendiri melainkan kehendak manusia untuk percaya agar mampu melanjutkan hidup. Fiksi Sains bekerja dengan cara ini pula.
Salah seorang penulis terkenal masa awal kemerdekaan yang mengangkat tema ini adalah Djokolelono. Penulis buku Penjelajahan Antariksa. Penulis asal Blitar yang sukar dibayangkan, seorang penulis berasal dari daerah terpencil mampu menulis kisah Sci-Fi anak-anak yang hebat. Djokolelono dalam dunia kepenulisan Indonesia, setidaknya mampu membawa tradisi sains modern, khususnya Kosmologi ke dalam naskah cerita, dan terlebih untuk anak-anak. Boleh jadi ia seorang tonggak dari penulis Sci-Fi di Indonesia, yang beberapa tahun terakhir cara ia menulis saya temukan dalam serial Novel Tere Liye.
Mengapa harus tradisi sains modern, tentu hal ini patut dipertanyakan. Adakah kemampuan kita, seorang penulis cerita dalam Bahasa Indonesia keluar dari narasi Sains Modern. Bukan untuk kembali ke tradisi metafisika lama, seperti dalam kisah-kisah Raden Kian Santang. Apalagi di samping cita-cita pengembangan imajinasi cerita sains dalam Bahasa Indonesia, kita belum banyak memiliki karya-karya yang masuk dalam kategori Sci-fi. Satu cerita yang memikat adalah dunia bentukan Dee Lestari dalam bukunya Supernova. Ia mengangkat semesta alternatif lain tentang asal mula penciptaan, dan keluar dari narasi genesis kanon Abrahamik. Seperti dalam Akar misalnya, yang membentuk konstruk baru bahwa dunia ini awal mulanya hanyalah Fungi. Seperti Dawkins yang membayangkan semesta ini, termasuk manusia pada mulanya adalah Ikan.
Barangkali inilah waktunya melarung. Melihat bagaimana karya dibentuk, baik aspek struktur, tema naratif sains dan jalinan tokohnya. Tentu disertai dengan kode kebudayaan yang mungkin masuk dalam kisah, seperti yang identik dengan tradisi “Nusantara”. Membuat kisah Sci-fi yang “mungkin” menjadi Masterpiece di Indonesia seolah terlihat sukar. Meskipun sesungguhnya, hal ini mungkin. Melarung narasi yang hidup di Amerika atau Eropa, dengan Sci-Fi ala mereka, dan melihat jalinan kemungkinan yang mampu dibentuk di Indonesia. Misalnya ini bisa terjadi dalam komparasi film Dune, Denis Villeneuve dan The Science Of Fiction karya Yosep Anggi Noen.
Membandingkan dua film ini tidak apple to apple. Bukan film yang setara dibandingkan dalam aspek apapun. Apalagi dalam kecangkihan teknologi, pengalaman aktor, dan ongkos produksi. Tapi ada satu aspek menarik yang mungkin, mungkin dua film ini bisa dibandingkan dalam konteks narasi cerita, keutuhan dan pemikiran yang dimuat dalam film ini. Ketidaksetaraan menjadi penghubung kedua film ini. Dune, kita tahu adalah kisah Distopia yang mengangkat tema post-apocalypse dan optimisme orang-orang yang hidup dalam dunia kehancuran agar mampu bertahan. Sementara Science Of Fiction, apanya yang bisa dibandingkan? Narasi sejarah, kemajuan Sains dan ketimpangan Imajinasinya.
Ketimpangan imajinasi seorang Sutradara justru mampu diletakkan dalam kadar yang paling mungkin oleh Yosep. Dune mengangkat bagaimana kepunahan ras, ketahanan bahasa, dan kemungkinan bertahannya suatu kelompok akibat kolonialisme. Kolonialisme dalam narasi Dune, adalah Kolonialisme komoditas rempah. Agaknya setiap penonton Dune sepakat mengenai irisan yang cukup sesuai antara Barat dan pengalaman Kolonial Indonesia. Ras yang masih menganut kasta kerajaan, yang ingin bertahan di tengah gempuran ras dan kelompok komunitas besar lain, di luar dari kelompok mereka.
Sains dalam kode-kode Dune memang mewah, dan lagi terasa umum sebetulnya, karena padanan film ini seperti yang sudah diamati. Hampir mirip dengan kisah-kisah perang bintang Star Wars, atau perang kolosal ala Game Of Thrones. Keduanya memiliki biner yang dijajah dan terjajah, sekali lagi, dalam konteks masih ada elemen sains yang mampu dilogikakan di dalamnya. Kisah tentang Perang Bintang, Perang antar galaksi rasanya sulit dinarasikan oleh penulis berbahasa Indonseia. Sekalipun ada, paling mungkin perang bintang ala Mahabharata. Tapi Yosep keluar dari Mahabharata, tetap menerima aspek sains modern, hanya saja dengan penuh keraguan.
Ini tentang perang narasi kemajuan sains dalam kebudayaan. Bukan dalam slogan perang Anti Barat, melainkan dalam narasi parsial sejarah kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Sains yang ada dalam nusantara, sebetulnya memang memiliki kekuatan, dalam konteks Bioevolusi manusia unggul dalam mengelola keseimbangan alam. Teknologi tubuh, kemampuan menerima yang liyan, dan menerjemahkannya dalam hidup bersama, yang sementara di sisi lain, hidup bersama manusia di Barat bukan atas dasar Seni Ketidaksepahaman antar satu dengan lainnya, melainkan memaksakan di bawah kuasa dan otoritas teknologi. Dune mengangkat ini lewat narasi kebahasaan kuno. Yosep Anggie mengangkat ini dalam gerak tubuh Siman, tokoh utama yang diperankan oleh Gunawan Maryanto.
Dune lahir pada tahun 1965, sementara waktu itu, 1965 di Indonesia fase kreatif penceritaan masih mengalam tragedi genosida. Adapun kisah-kisah yang beredar adalah seputar Kolonialisme. Akan tetapi, Yosep masuk melalui latar film 1965, masih dengan imajinasi cerita latar sejarah tahun 65, tapi melampaui imajinasi kolonial. Karena itu ia memberi judul Fiksi Sebuah Sains dalam filmnya. Imajinasi dalam film Yosep adalah tentang narasi konspirasi orang pergi ke Bulan, tentang Siman yang melihat kelompok penerbang roket di tengah hutan yang ingin terbang ke Bulan, yang sebenarnya itu hanyalah ilusi optik dan politik dari dunia perfilman. Yosep barangkali mampu menjadi pintu pembuka, dalam kisah-kisah Sci-Fi khas penulis berbahasa Indonesia. Sambil membayangkan penulis berbahasa Indonesia mendatang, lebih matang mengangkat Scifi sebagai dekonstruksi menarik dari hegemoni kisah barat. Barangkali suatu waktu, kita mampu membuat kapal perompak dan bajak laut yang terbang mengitari galaksi.