muhammad faisal akbar

Ia mengimpikan pekerjaan di sebuah kantor berita. Di tengah masa sulit, orang-orang terbiasa kejar-mengejar dengan prinsip dan kebutuhannya. Maka, ia melamar ke beberapa perusahaan yang jumlahnya ratusan itu.

Sejak lulus SMP—pendidikan terakhirnya—ia ingin sekali menjadi penulis secakap Mahbub Djunaidi dan Rohana Kudus. Mengingat dirinya yang terlampau jarang melaksanakan sakramen tobat, ia pun menjadikan aktivitas ini sebagai suatu ibadah spesial sekaligus sakral. Menuju keabadian.

Satu per satu alamat ia sambangi, namun penolakan hanya berganti penolakan. Tak apa, gumamnya. Suatu hari, kesempatan itu akan tiba dan tulisan-tulisannya akan terbit di halaman depan, lengkap dengan gambar hitam-putih.

Tak hanya itu, ia juga rajin mengirim beragam artikel ke seluruh media, dari yang bersifat kedaerahan sampai nasional. Totalnya sudah menyentuh angka 808 buah. Namun, nasib tentu berkata lain. Semua tinta hasil karyanya ditolak dengan bermacam alasan yang tak diungkapkan oleh redaktur. Usahanya nihil.

Baginya, gedung pencakar langit itu merupakan tempat Tuhan bersemayam. Di matanya, bangunan itu tak ubahnya mesin perombak waktu, memberi harapan di kala subuh lalu menghancurkan impian tatkala senja menjelang.

Semua hal di semesta ini, pikirnya lagi, hanya berpendar dan telah digariskan. Malam itu, ia tengah merenungi keadilan yang diagungkan ribuan tahun lamanya. Ia termenung, mengapa orang-orang justru menganggap bahwa Tuhan tinggal di gubuknya yang amis dan senyap.

“Tuhan tak bekerja seperti itu, Nak,” demikian kalimat yang selalu diingatnya hampir tiap detik. Bubu—begitu ia memanggil ibunya—kerap berseloroh bahwa manusia akan dilemahkan oleh waktu. Ucapan itu tak jauh berbeda dengan bapak-bapak yang acapkali menggedor pintu rumahnya untuk menagih utang.

***

Dalam seperempat abad terakhir, dirinya tak pernah merasa serendah ini. Nyalinya ciut dan kian rapuh. Lima pria itu masih saja terbahak-bahak di luar, ditemani asap rokok yang mengepul ke segala sudut. Belasan botol sudah tandas. Suara kereta mendengus di kejauhan.

Ruangan itu cukup sempit untuk membuat napas sesak. Tubuhnya menggigil dan tatapannya kosong. Telinganya sering kali mendengungkan teriakan orang rumah, gelas yang pecah, dan tembok yang berdebum. Benaknya seketika merayap, mengenang malam saat dirinya diseret oleh sekelompok pria, persis di depan bapak-ibunya. Cengkeramannya menguat, pikirannya berkelebat terbang ke tepi sungai di mana ia lazim menulis.

“Eh, sudah bisa duduk rupanya. Bagaimana? Sudah siap main? Hehehe,” salah satu pria masuk dan mendekat. Ia mengingat tentang pria yang gemar terkekeh itu. Selalu ada aroma anggur di mulutnya. Kepalanya hampir plontos, mungkin secara genetik.

“Nih, minum! Biar kuat sampai pagi. Eh, jangan nangis begitu, belum juga mulai. Ibu-bapakmu itu miskin, utangnya banyak. Apalagi bapakmu itu, tukang judi! Kamu gini-gini kan bantu orang tua namanya,” ujar pria tersebut dengan suara berat. Deretan giginya mencuat.

“Aku mau pulang,” jawabnya pelan di kegelapan.

“Dengar ya, sekarang, gak ada lagi yang namanya rumah. Kalau pun ada, ya di sini sama kita-kita. Hehehe.” pungkas pria itu sembari melemparkan telunjuknya. Pintu pun kembali ditutup.

Bertahun-tahun lamanya, ia selalu mempertanyakan wujud sebuah rumah. Adakah nilai yang mengendap atau hanya sekadar bangunan mati belaka? Apakah rumah tak lebih daripada kumpulan kebodohan? Sialan….

Bubu pernah bertutur, “Tuhan ada karena ada yang menganggap-Nya ada. Keburukan ada sebagai negasi dari kebaikan. Tuhan tak pernah salah dalam menghadirkan waktu, sebab Ialah pemilik tunggalnya. Waktu bergulir, beriringan dengan tawa dan tangis. Tiada yang lebih cepat ataupun lambat. Bahkan, bagi sebagian orang, Tuhan itu sendiri adalah waktu yang beredar dari suasana ke suasana. Kamu lihat gereja itu? Biarpun kecil, di sanalah waktu mendekap jiwa yang gelisah.”

“Nak, Tuhan memberkati seluruh ciptaan-Nya. Dari kamu, ibu, keluarga kecil kita, hingga rerumputan di dataran benua seberang. Kawanan hiena menghirup udara yang sama dengan para pekerja di kota ini. Ia mengasihi kita laiknya ibu menyayangi kamu,” jelas ibunya di suatu petang yang memerah.

Ibunya berujar bahwa hanya manusia yang dapat menentukan batas atas Tuhan dan Ketuhanan-Nya yang tidak memiliki batas. Dengan Tuhan, partikel terkecil sanggup dipecah lagi dan lagi hingga kepingan terkecil yang masih bisa terus menyusut, berlangsung sampai puluhan detik, ratusan bulan, jutaan tahun.

“Tapi Bu, jika memang Tuhan tak terbatas, bagaimana dengan masyarakat miskin? Mereka toh perlu ruang hidup yang layak. Bukankah kita tak boleh berhenti di doa? Apakah doa sudah cukup?”

“Doa itu bukan perkara cukup atau tidak. Doa itu bentuk kelemahan kita sebagai ciptaan. Seperti kamu, saking banyaknya tulisan yang gagal dimuat, kamu pun berdoa, kan?” ucap Bubu di bawah gemintang yang bergelayut sunyi.

***

Kota – Sejumlah orang ditemukan tewas di dalam sebuah rumah di daerah (sensor). Kelima mayat yang diduga berjenis kelamin pria tersebut ditemukan warga setempat pada 26 Mei 1997 sekitar pukul 6.00 pagi WIB.

“Diduga, pembunuhan dilatarbelakangi oleh motif politik, mengingat sekarang hampir memasuki masa pemilu,” terang Komisaris (sensor) pada 27 Mei 1997.

Adapun kelima korban menerima luka tusuk di bagian tubuh yang nyaris sama, yakni di dekat bagian vital. Dijelaskan, barang bukti yang ditemukan yakni berupa serpihan beling dan sebatang pulpen.

Sejauh ini, pihak kepolisian masih mencari identitas tersangka atas kasus pembunuhan nahas tersebut. Menurut kepolisian, pihaknya yakin pelaku masih berada dalam wilayah pelacakan lantaran peristiwa ini belum lama terjadi.

Ia melipat koran dan membungkusnya rapat-rapat. Ia termangu sebentar. Bibirnya menyulutkan senyum. Ia tentu sangat menantikan momen bersejarah ini. Sebab pada akhirnya, hasil karyanya muncul di halaman depan, meski bukan ditulis olehnya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here