Sedang berada dimana anda hari ini? Sudah berapa lama merantau pergi jauh dari tempat kelahiran? Kerinduan dan persiapan apa yang sudah masuk ke dalam catatan rencana tahunan?. Setiap yang pergi, kembali, dan pulang akan merasa kampung ini sudah berubah. Dahulu sungai itu tempat kami bermain Kapal Laut dari kertas, sementara di sana, di batang pohon seri tempat kami membangun rumah pohon. Kamu mungkin baru pergi 10 tahun, tetapi kawan dan tumbuhan yang kamu tanam ketika kecil barangkali sudah tiada. Hanya dalam kurun satu tahun, sungai itu mampat dan bahkan mati. Siapa penghuni kampung hari ini?.
Kamu pasti merantau, karena tempatmu sudah hancur. Relasi sosial, hubunganmu bersama teman-teman kampung, sesepuh desa, dan temanmu belajar mengaji sudah tak ada. Dalam era kapitalisme Pasca-Fordis, saat kerja manusia seluruhnya terpusat, diubah dalam kesatuan ruang dan membutuhkan mobilitas tinggi, hanya mungkin kampungmu berubah menjadi aktivitas perkantoran, dan atau sekedar tempatmu pulang lalu mengenang, setelahnya tak ada apa. Tak ada suara bedil yang melesing menembus tubuh seekor Kakak Tua. Kampung terseret ke ruang-waktu kota, dan yang tersisa gambar kampung di kepalamu.
Tidak semua. Kamu bisa menolak, tidak semua desa hancur. Masih ada desa yang mampu menyediakan kita makan gratis, rokok gratis, tertawa gratis dan sepak bola yang gratis. Tentu masih banyak. Mereka yang bertahan, adalah mereka yang mampu menjaga memori kolektif desa tersebut. Hancur lebur barangkali iya, secara infrastruktur, akan tetapi dalam benak, seorang saudara sekampung sulit dipisahkan. Masih ada kampung berisi gelak tawa bandar judi desa yang sudi mengalahkan pecundang murahan yang bermain kartu. Masih ada ayam yang bertarung di ring tinju hasil buatan bandar sabung. Kamu boleh mencatat sendiri nama-nama ingatan dalam benakmu.
Segalanya terancam hilang, dan lagipula kita hanya mampu memilih hidup seperti apa, barangkali itu jika diperkenankan. Beberapa dari kita, mereka yang masih mampu mempertahankan kampungnya berusaha untuk membangun kampung mereka kembali. Mereka yang mampu berusaha mengurai lanskap memori kolektif yang mereka miliki dari beragam arah. Mereka salah satu dari kita, adalah orang-orang yang mengabdi di Kampung Cempluk. Orang-orang Kampung Cempluk – lentera dalam gelas kaca dibumbui minyak, seperti lampion – adalah orang yang masih berani memasang cempluk. Cahaya kecil dari remang gelap kampung yang biasa digunakan oleh Masyarakat Kampung dahulu.
Kampung ini terletak di Kawasan purba, di Kalisongo, tempat sungai purba dari Gunung Kawi mengalir melalui DAS Metro. Mula-mula orang di sini berkumpul mengambil air dari aliran, tanpa berbatas tembok, mungkin. Abad telah lalu, sungai dibatas pagar beton. Yang tersisa hanya kenangan, kecuali kenangan itu dihidupkan, sementara orang-orang melawan lupa. Orang-orang Kampung Cempluk membangun kembali, menceritakan kembali, kendati dalam perayaan meomentual itu hanya terjadi selama satu tahun sekali. Satu tahun sekali ketika Festival Kampung Cempluk berlangsung. Hanya saja sepanjang Kampung Cempluk mengadakan Festival, kampung terbilang mampu mempertahankan festival ini untuk mengurai peristiwa tahunan. Sudah 13 tahun Kampung Cempluk terhitung berhasil menghadirkan Festival Kampung, selain itu, mereka orang-orang “Pembakti Desa”, juga dibantu oleh Jaringan Kampung Nusantar.