Mengelola negara tak seperti melipat dokumen rapat di atas meja parlemen. Setelah rapat itu pertanggungjawaban mengelola negara terlihat. Seperti halnya mengelola Kawasan maritim Indonesia, sebagai Negara yang sejak era kerajaan dikenal sebagai Negara Maritim. Pada masa Jokowi, awal tahun 2020, Jokowi mendapat kritik dari publik. Kritik itu menyasar pada aktivitas Nelayan Cina Selatan yang menangkap ikan di dalam Kawasan Zone Ekslusif Ekonomi (ZEE). Segera orang membandingkan dengan ketegasan Susi Pudjiastuti yang dianggap sebagai sosok yang tegas mengelola keluatan dan perikanan Negara.
Kembalikan kejayaan laut Nusantara masa silam, masa ketika pasukan Maritim Indonesia mampu menjamah sampai Burma. Anggapan ini seolah semudah mematikan puntung rokok yang sudah hamper habis. Kesukaran ini, selain karena faktor internal kepemerintahan akibat korupsi dan SDM yang kurang mumpuni melahirkan sosok pemimpin, juga dianggap sebagai beban. Pramoedya Ananta Toer, dalam Arus Balik secara cermat menggambarkan permasalahan Maritim di Negara Indonesia. Salah satu gambaran yang pernah digambarkan, antara lain adalah logika terbalik yang dibangun oleh Negara ini semenjak menjadi Negara Bangsa. Seperti misalnya, lebih mengutamakan ekonomi berbasis agraria, sementara 70% Kawasan laut tidak pernah dikelola.
Apa yang menyebabkan ini, salah satunya adalah pengetahuan yang minim. Connie Rahakundini Bakrie, akademisi pengamat militer pernah mencatat ini dalam bukunya Defending Indonesia. Connie mencatat bagaimana kekurangan Indonesia memanfaatkan teritori maritimnya di Kawasan Pasifik. Padahal dengan letak geografi yang strategis, Indonesia mampu mengelola Kawasan maritimnya untuk meningkatkan Perekonomian Negara. Pengetahuan yang minim menjadi catatan penting Connie. Belum lagi, dalam perbudakan modern hari ini, jual-beli Manusia melalui jalur laut masih banyak. Dari Maritim beranjak ke urusan orang-orang Migran.
Belum lama, pengungsi Muslim dari Rohingnya bertolak dari Bangladesh menuju Aceh. Jumlah dari total pengungsi seribu lebih. Apa yang terjadi di Aceh selanjutnya, adalah penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Dengan alasan, penolakan ini dilakukan untuk meminimalisir masyarakat pribumi yang terganggu oleh para migran. Gangguan yang menurut masyarakat disebabkan oleh sikap daripada pengungsi yang kurang baik. Sementara itu, dalam Kawasan pasifik sendiri, urusan jual beli tenaga kerja Migran masih banyak yang terjadi seperti kasus Rohingnya. Bukan orang luar negeri , melainkan orang Indonesia sendiri.
Ada dimana orang-orang yang mempelajari ilmu ini. Ilmu maritim, ilmu Hubungan Internasional, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan kedaulatan negara di Maritim. Barangkali jumlah pelajar yang mengambil konsentrasi studi seperti ini belum mencukupi kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) Negara. Karena itu, perlu ada panduan khusus yang mampu menerjemahkan ini dan membantu bagi para pelajar awal untuk mengerti dasar-dasarnya. Tawaran ini diberikan oleh Baiq Lekar Sinayang, seorang pengajar HI di Universitas Indonesia (UI), dalam buku “Kajian Asia Pasifik”.
Buku ini secara umum merupakan upaya memperkenalkan Pasifik Selatan kepada khalayak peminat hubungan internasional. Secara khusus, buku ini mencoba mengisi kekosongan bacaan dalam kajian studi wilayah Asia Pasifik khususnya Pasifik Selatan. Terkadang dalam peta geopolitik Indonesia, Pasifik Selatan masih diletakkan sebagai”halaman belakang”, yang konsekuensinya banyak membawa kerugian diplomatik, ekonomi dan strategis lain.