Soalan hukum kausalitas, semua hal yang terjadi di alam semesta ini tak lain ialah bersifat tak terelakkan dan berdasar kepada hukum sebab-akibat. Einstein dengan pemikirannya memandang bahwa alam semesta bersifat pasti dan teratur, karena itu kemudian muncullah pernyataan “Tuhan tidak bermain dadu!”. Ya, mungkin tuhan memang tidak bermain dadu, tapi kenapa malah manusia yang bermain menjadi tuhan?—yang sesuai dengan apa yang ia inginkan, juga amat bersifat subjektif.
Manusia dengan “hak prerogatifnya” ketika sedang bermain menjadi tuhan, acap kali berbuat semena-mena untuk menghakimi “hambanya” yaitu orang lain. Memberi label atau cap kepada seseorang sudah laksana memberi label kepada makanan minuman, macam “pedas, asin, manis, pahit”—yang memang biasanya menempel pada badan kemasan. Penghakiman atau pemberian cap pada seseorang ini tak jauh dari “jahat dan baik”.
Manusia setengah tuhan yang memberi cap “jahat” kepada seseorang adalah semata-mata untuk bersiaga dan berjaga. Bersiap melindungi diri sendiri atau tak jarang melakukan penyerangan terlebih dahulu agar tidak merasa terlukai. Lalu bagaimana dengan pemberian cap “orang baik?”, memberi cap “baik” pada orang lain tidak serta merta menjadikan diri “manusia setengah tuhan” ini menjadi baik. Perbuatan seperti itu dilakukannya berdasar dari keinginan untuk memanfaatkan “rasa nyaman” yang bisa diperoleh dari orang baik.
Kevin Nobel berpendapat bahwa menghakimi orang lain bagaikan sebuah proses seleksi yang dilakukan oleh seorang individu untuk memperbesar egonya, entah itu dengan mendekatkan diri kepada orang “baik” maupun orang “jahat”. Sungguhpun demikian, esensi dari permasalahan yang kita hadapi adalah “mengapa manusia cenderung menghakimi?”
Perilaku cenderung menghakimi biasanya dimiliki oleh seseorang yang pernah dilukai. Korban atau manusia yang pernah dilukai ini kemudian beranggapan bahwa hidup itu memuakkan. Manusia merupakan spesies berbahaya yang patut untuk dihindari. Maka untuk melindungi diri, manusia membangun sistem pertahanan dengan “menghakimi”, lalu mulai bermain menjadi tuhan—memberi label dan cap kepada manusia lain di sekitarnya. Hingga pada titik ini, bahaya benar-benar mengintai si manusia hakim.
Perlahan “manusia hakim” akan menjadi pribadi yang egois, narsistik, dan menganggap bahwa dirinya merupakan poros alam semesta. Lama-lama, berbekal “hak prerogatifnya” sendiri, ia menyimpulkan bahwa definisi “orang baik” adalah yang menguntungkan dirinya, dan yang merugikan dirinya ialah definisi “orang jahat”. Lambat laun ia benar-benar larut dalam perspektifnya sendiri yang subjektif dan terputus dari realitas objektif.
Lantas bagaimana cara melepaskan diri dari sikap dan perasaan suka menghakimi? Salah satunya ialah dengan menerima diri sendiri. Melalui kejujuran yang tidak perlu kita tolak, kejujuran bahwa saat kita merasakan bahwa hidup itu pahit, maka hidup ya memang pahit. Kejujuran ibarat satu langkah besar yang baik—yang kelihatannya begitu kecil, remeh, dan sering diabaikan.
Kemudian diikuti dengan kesadaran bahwa manusia—entah diri kita atau orang lain—itu bisa salah, dan salah merupakan hal yang lumrah. Manusia bukan makhluk yang sempurna. Jika kita bisa menyadari hal itu, maka “kebencian kepada orang lain karena diri sendiri yang pernah dilukai” takkan ada. Malah sering kali kita menghakimi seseorang dengan cap “buruk”, tapi kenyataannya adalah kaca mata yang kita pakai inilah yang sebenarnya buruk. Maka lepaskanlah kaca mata itu, lihatlah dunia dengan lebih terang dan jelas.
Ketika kedua hal di atas telah kita terapkan, niscaya cara pandang kita terhadap orang lain dan kehidupan bakal berubah. Tanggalkan kaca mata yang kamu pakai, pandang dunia dengan cara yang objektif dan lebih tepat. Pertanyaan akhir dari tulisan ini adalah “siapkah kita untuk keluar dari permainan menjadi tuhan?”