SUDUT GELAP KOTA
Pada malam-malam sunyi
Di sudut gelap kota
Dengan pakaian seadanya dan perut keroncongan yang merintih lesu
Menggulung di atas tikar bekas spanduk yang dicetak lebar-lebar
Hingga kadang dipertanyakan buat apa jika hanya berakhir sebagai alas duduk
Namun terkadang justru satu dari alasan seseorang hidup
Dua tangan yang satu di tekuk
Ramai berjejer di tiap lampu berubah merah
Di tiap pojok jalanan
Panas dengan deru mesin kendaraan saling bersautan
Saling diam merintih kesakitan
Padahal hanya menahan keramnya tangan tertekuk
Oh tidak, itu rintihannya pada hidup
Lalu beberapa orang ramai memberikannya sesuatu yang disebut berkah
Apalagi di jumat pagi dengan pakaian necis
Roda empatnya pun necis berhenti di pinggir jalan tak jauh dari situ
Atau kadang hanya membuka kaca dan ramai sudah
Tapi ada
Satu dua yang memakai kaos dan kemeja seadanya
Memang ingin berbagi katanya
Setulus itu
Tanpa kamera dan tanpa embel embel sesuatu
Setulus itu duduk bersama dan saling bercerita tentang kehidupan
Ada memang, beberapa
Lalu malam-malam itu ditutup dengan dentuman muatan truk yang saling bersautan.
– aziizahauliyaa (2022)
IA HANYA PUNYA IA
Malam kembali bisu
Diam seribu bahasa
Antara menerka atau diterkam
Langit kota memang seperti biasa
Terang dengan lampu memantul ke jalanan
Dalam diam dan putaran roda kendaraan yang di naiki sendiri
Tanpa iringan dan hanya ia sendiri
Melambung tinggi lamunan malam itu
Semu
Lalu tiba ia pada labuhannya
Yang tak pernah ia tinggalkan tapi kini membuatnya seperti tak tau harus apa
Ia hanya punya ia
Berjalan jauh terseok dan tertabrak
Tapi ia hanya ia
Yang berdiri dengan luka menganga
Dan duri di punuknya
Dan ia hanya ia
Merajut kembali benang kusut
Menata ulang kaca remuk
Dari tangannya yang berdarah-darah
Tertusuk duri entah darimana
Tak ada yang paham
Atau akan paham
Ia hanya ia
Sendiri dalam jalanan kota
Harapnya kembali semu
Pada hal hal yang awalnya membuatnya percaya
Tapi ia tak takut menatap dunia
Karena ia punya ia
Yang selalu membasuh luka manusia lain
Yang akan terus menjadi pohon rindang
Berbatang kokoh
Dengan daun rindang dan buah segar
Ia punya ia
Dengan akar yang menancap dalam
Tak runtuh ia di terjang badai atau hanya angin ribut biasa
Ia kuat, dan akan selalu begitu.
– aziizahauliyaa (2022)
CERITA TENTANG PERI KECIL DI KOTA BESAR
Semakin meninggi malam semakin jelas.
Senja meleleh di utara. Akupun tak tau buat apa.
Sepasang burung itu hinggap di ranting ringkih.
Satu diantaranya terbang tinggi satu lainnya memilih diam ditempat.
Satu diantaranya justru jatuh, rantingnya patah.
Dia tidak terluka, karena sejak awal memang lengannya sudah luka.
Senja meleleh di selatan. Ia tak pernah mau lari dari bulan.
Siapapun yg ada disana. Kadang bulan membuatnya lelah.
Terlalu lama duduk dan bercengkrama dengan anggota galaksi tidak semenyenangkan itu.
Tapi ia tau ia hanya peri kecil yang mempunyai sayap menembus angkasa.
Sedang semua hal besar berterbangan tanpa tujuan di depan mata.
Tapi tak bisa peri itu ungkapkan. Bagaimana ia lelah dengan semua hal yang jauh lebih besar darinya.
Setibanya semua gelap.
Lilin ditiup layar di gulung.
Cerita usai dengan cemerlang.
Tak ada kelanjutan atau kejelasan.
– aziizahauliyaa (2021)
MALAM YANG TAK PERNAH USAI
Bertaut dengan waktu
Malam kembali tenggelam
Dalam pikiran menusuk masuk tanpa jeda
Mengapa ada tanya dalam seluk
Pada yang tak harus di pertanyakan
Kembali bimbang menata waktu
Sebelum fajar seharusnya ini sudah selesai
Malam kurang panjang, tuan
Isi kepala masih bergelut seorang diri
Beratap putih dengan kipas hijau nyangkut disana
Malam kurang panjang
Mata tak kunjung memejam
Ada tanya dalam setiap kata
Kemudian tanya itu berbalik arah
Mengapa harus dipikiran, nona?
Sedang mereka tak pernah memikirkan
Ah, sepertinya jawaban itu mulai cerah
Lalu coba pejamkan mata
Menghitung domba misalnya
Sambil berangan angan semoga jadi nyata
Tentang mimpi dan semua.
– aziizahauliyaa (2021)
POLEMIK
Aku lari ke para bintang
Mengadu tentang betapa susahnya hidup di bumi yang katanya tenang
Katanya indah
Katanya penuh dengan kehangatan
Entah manusianya tau segala isinya
Nyatanya
Bumi tak seindah itu juga
Tak setenang itu juga
Ramai,
Hirup pikuk kehidupan yang mulai tak jelas kemana arah pulang
Terluntang lantung di jalanan menunggu diberi makan
Atau recehan satu dua ribu
Bahan sisa berserakan seenaknya
Dibuang seenaknya
Ditinggalkan
Ditelantarkan
Sampai mungkin pada akhirnya dilupakan
Dan berakhir dikecam
Padahal mereka lupa
Siapa yang membuang.
Dan lagi, bumi tak sehangat itu manusianya
Kadang rumit
Kadang pahit
Mengais pangung demi ketenaran
Mengais ketenaran demi pendapatan
Terpaku pada satu waktu
Lupa pada banyak hal
Lepas pakai topeng seenaknya
Baik seenaknya
Jahat seenaknya
Atau kedua duanya
Tak pernah tau bagaimana wajah asli mereka
Rumit. Terlalu muluk maunya
Mau hidup megah
Tapi lupa
Siapa dia
Tanpa usaha
Kemudian menyalahkan mereka yang merebut pangungnya
“Ya memang kau saja yang sedang beruntung”
Padahal keberuntungan kan dicari
Bukan di tunggu jatuh dari langit
Lucu memang
Manusia dengan polemiknya
Lalu, aku mengadu pada para bintang
Kapan pulang?
– aziizahauliyaa (2021)