Melahirkan film feature atau yang lebih umum diketahui dengan sebutan film panjang, dan yang rentan durasinya melebihi kelaziman, yakni 4 jam sekian—diproduksi langsung secara utuh, dalam waktu penggarapan yang terbilang lama, bukanlah hal yang mudah. Terlalu banyak aspek yang musti tertera di catatan. Terlalu banyak detail-detail yang musti jadi titik perhatian. Oleh karena itu. Konsistensi, adalah kunci untuk tetap menjaga film semacam itu tetap seimbang. Dan dalam kasus itu, Kill Bill: Vol I & II, nyaris mencapai kesempurnaan mengeksekusi itu semua.
Kill Bill: Vol II, datang membawa narasi yang lebih kompleks, dialog yang lebih lama. Datang sebagai pelengkap dari Kill Bill: Vol I., kehadiran Bill, Budd, Ellen Driver yang alpa, dan apapun karakter yang tak terlihat batang hidungnya di Volume I. Kini, diangkut oleh Volume II ke hadapan kita langsung. Tentunya kita akan penasaran juga perihal teknik dan variasi seperti apa lagi yang kita dapatkan di Volume II dalam pemungkasannya.
Kali ini, kita tak mengenal lagi nama samarannya si Uma Thurman, Black Mamba. Kita diajak mengenal nama yang selalu dipanggil oleh Bill, yakni Kiddo, Beatrix Kiddo. Kiddo aka Black Mamba, melanjutkan perjalanannya mencari anggota geng lain (Budd, Driver) yang mengkhianatinya, dan menuntaskan dendamnya. Bila Volume I kita tak mendapati bagaimana rupa Bill, Volume II, kita akan tahu seperti apa wajah Bill, seperti apa ketangkasannya sebagai ketua geng, apa yang melatar belakangi ia tega mencelakai orang yang dicintainya. Dan di ujung cerita, duel antara Kiddo versus Bill, nantinya mengundang keterkejutan kita. Di akhir, beberapa hal mulai lebih terjelaskan, dan melengkapi keutuhan film Kill Bill.
Ada beberapa penambahan karakter di film ini, yang sebelumnya tak memiliki tanda-tanda keberadaan dalam Volume I. Seperti karakter penting Pai Mei, yang ternyata adalah guru kungfu dari semua anggota geng Deadly Viper Assassination, tak terkecuali Bill, sang pemimpin, dan seseorang yang bernama Rufus yang hanya berperan sebagai pianis dalam salah satu adegan. Anehnya, Rufus diperankan oleh Samuel L. Jackson, yang merupakan aktor kolaborator film-film Tarantino, yang terasa seperti kameo yang agak berlebihan.
Pengemasan kisah masih sama, non-linier, per-bagian, dan manipulasi plot. Teknik yang digunakan pun masih sama, transisi monochrome, match on action yang masih lincah dan gesit, serta beberapa close eyes. Ada beberapa penambahan juga di Volume II ini, salah satunya teknik handheld, yang saya tahu dari beberapa film Tarantino (salah satunya Kill Bill: Vol I), pengambilan gambar dengan cara handheld tak pernah digunakan dan dieksplor olehnya. Di Volume II ini, sekitar 2 menit lebih, dalam adegan di bawah tangga biara kungfu, Tarantino menggunakan handheld untuk pengambilan gambar. Tentu itu sedikit menyimpang dari jalur. Karena dari awal, kita lihat setiap potongan-potongan adegan Kill Bill: Vol I, tak ada penggunaan handheld kamera. Tapi penyimpangan itu amat menyenangkan, karena menambah estetika sinematik, dan lebih memperkaya teknik yang digunakan dalam filmnya.
Tak hanya handheld saja. Gaya onscreen pun menjadi sesuatu yang lebih istimewa di Vol II kali ini. Entahlah, saya merasa ada semacam estetika yang gaib, ketika adegan dialog antara Bill dan Kiddo di depan gereja dalam sekuens pernikahan. Onscreen itu mengambil setengah dari sisi samping wajah Kiddo dan Bill, lalu sisa ruang di dalam onscreen digunakan untuk mengisi pemandangan tandusnya wilayah Texas. Selain handheld dan onscreen. Saya juga tertarik terhadap penambahan teknik dimensi frame, ketika bermanifestasi ke dimensi frame yang lebih kecil. Dalam salah satu adegan. Semula film berjalan dalam dimensi frame standar, yaitu widescreen dengan aspek ratio 1.85 : 1. Kemudian layar menghitam, dan tiba-tiba saja dimensi frame berubah menjadi persegi dengan aspek ratio 3:4. Saya terhenyah dan kagum mengenai segala peletakkannya. Betapa pekanya Tarantino meletakkan teknik-tekniknya di tempat yang sesuai.
Unsur musik pun, banyak mengambil peranan penting dalam film Kill Bill: Vol II. Vol I juga demikian, sayangnya saya luput membahas itu kemarin, jadi saya bahas di sini, di kedua Volume. Kill Bill: Vol I, Menggunakan backsound sebagai pemantik intensitas ketegangan pada adegan perkelahian. Semakin kencang musik yang dimainkan, semakin bertambah instensitas dan kegesitan adegan bela diri. Dalam Vol II, intensitas yang dihasilkan masih sama. Hanya saja dalam Vol II, adegan bela diri tidak seramai Vol I.
Dalam Kill Bill: Vol II, adegan bela diri atau adegan perkelahian dapat kita catat dengan hitungan jari. Adegan-adegan tersebut sebagian besar hanya ketika bagian Budd dan Driver, itupun terjadi di ruang yang sama. Tarantino mengerahkan seluruh perhatiannya ke unsur naratif, mengungkap yang tidak ditampilkan sebelumnya, lebih mengutuhkan penceritaan ketimbang adegan perkelahian. Alhasil, bukan perkelahian selihai Volume I yang menjadi kepuasan kita, melainkan nyawa penceritaan yang lebih kompleks dan dipadatkan.
Bukan berarti Volume II gagal menjadi film seni bela diri. Yang saya herankan di film yang terbagi menjadi dua bagian ini adalah, kenapa bisa Tarantino menyajikan film keseluruhannya dengan takaran yang seimbang. Itulah kekuatan film ini, kita mendapatkan segala aspek-aspeknya seimbang di dalamnya. Kita mendapatkan sisi cerita yang lengkap, kompleks, terjelaskan, dan sisi perkelahian-perkelahian yang gesit lagi mengagumkan. Salut buat Quentin Tarantino.