Citayam. Dulu, sekitar bulan Juni 2022, saya mendengar nama tempat itu di Instagram. Tempat itu, diutarakan oleh anak-anak yang berumur belasan yang sedang berpacaran.
Saya agak tertawa, karena hal itu adalah hiburan di media sosial yang sering tidak jelas. Pun, seketika, saya juga sudah merasa, bahwa tidak lama lagi anak-anak itu akan viral.
Boom! yang benar saja. Citayam sekitar dua minggu kebelakang, menjadi buah bibir masyarakat Indonesia di jagat maya maupun nyata. Utamanya, di media sosial. Kita dipertontonkan anak-anak muda yang berumur belasan tahun, mengenakan baju compang-camping dan semrawut melawan kebiasaan-kebiasaan pakaian orang-orang pada umumnya. Pokoknya, pakaiannya aneh dan tidak jelas.
Selain itu, khalayak juga diperkenalkan dengan beberapa sosok yang menjadi dedengkot Citayam. Sebut saja Jeje Slebew, Roy, Bonge, dan teman-temannya. Mereka itu lah yang membuat nama Citayam tinggi. Tinggi melebihi gedung-gedung perkantoran yang ada disekitarnya.
Hingga, Citayam tidak hanya menjadi tempat ngobrol, jaim bareng, maupun tempat ngopi. Namun kini, berubah menjadi arena pamer kostum (outfit) sampai-sampai tempat penyebrangan jalan bertransformasi menjadi area catwalk dan masyarakat menyebutnya sebagai Citayam Fashion Week.
Membincang Citayam Fashion Week, Kita ingat, bahwa Roy, salah satu pentolannya Citayam Fashion Week menolak beasiswa yang diberikan Sandiaga Uno. Alasannya, Roy memilih ngonten ketimbang sekolah yang dianggapnya memperberat beban orang tua.
Jadi, apakah sematan yang menyatakan bahwa “pemuda adalah harapan bangsa” masih pas dengan keadaan anak dewasa ini yang sebagian dari mereka menganggap sekolah apalagi beasiswa sudah tidak menjadi tahapan sakral dalam hidup mereka? Ya, begitulah.
Terlepas dari Roy, mari kita membaca kolom Gaya Hidup di Harian Kompas, Minggu 24 Juli 2022. Pada kolom itu, kita beri tahu, bahwa anak-anak muda yang manggung di Citayam Fashion Week hanya ingin viral. Kalau dulu kata Rene Descartes, bahwa “aku berpikir, maka aku ada”, maka, prinsip dari anak-anak yang mengunjungi Citayam Fashion Week adalah “aku viral, maka aku ada”.
Juga, masih di kolom yang sama, Firman Kurniawan, pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia yang menyatakan pemuda khususnya generasi Z, selalu melekat dengan penggunaan perangkat digital yang memiliki fasilitas sosial.
Menurut Firman, dengan media digital, anak-anak mewujudkan ide dan gagasannya. Mereka dipandang eksis dari kontennya, like, dan respon lainnya. Maka, mereka akan mendapat posisi sosial tertentu, setidaknya di peer group-nya.
Dari atas, kita paham sebuah konsekuensi. Yang mana, di era digital ini, ke-viral-an nampaknya menjadi cita-cita bagi masyarakat, utamanya kaum muda.
Bahkan, cita-cita yang kita ucapkan pada masa kecil silam: dokter, tantara, dan pekerjaan mentereng lainya mulai luntur. Terlebih lagi, munculnya Citayam Fashion Week ini.
Memang, bergemanya Citayam Fashion Week ini, adalah berkat dari media digital yang mampu memerangkap manusia. Kita jadi Majalah Basis Nomor 03-04, Tahun Ke-71, 2022 yang memuat esai berjudul Waspada Teori di Balik Teknologi garapan A. Setyo Wibowo.
Dalam esainya, Romo Setyo menyatakan, bahwa banyak orang yang sama sekali tidak sadar internet dan medsosnya sebenernya sedang menjalankan hal yang sama. Internet dan medsos, dengan algoritmanya, pelan-pelan menundukkan rakyat. Memang, algoritma tidak memaksa, tetapi merayu kita dengan kenikmatan berbelanja, mengakses informasi, rekreasi, dan kenikmatan berselancar.
Lewat aktivitas di medsos dan internet, algoritma lantas memenjarakan warga negara dalam bubble (gelembung air sabun) yang terpisah dan terkotak-kotak dalam selera politis masing-masing.
Algoritma membuat orang tidak bisa berkomunikasi lagi dengan manusia lain yang seleranya berbeda. Maka, akhirnya, ketegangan antara “cebong” versus “kadrun” terus-menerus terjadi.
Maka, apa yang diungkap di atas, akan berimplikasi nasib kita sebagai bangsa Indonesia kedepan. Fenomena sosial yang tersublim menjadi Citayam Fashion Week bisa dikatakan berada di tengah persimpangan.
Di arah kiri kita menjumpai bahwa anak-anak yang main ke Citayam mengimpor budaya-budaya transnasional yang jelas berlawanan dengan etika masyarakat Indonesia, terutama cara berpakaian yang cenderung terbuka, soal budaya malu, dan perkara lain yang menyimpang dari norma serta nilai masyarakat Indonesia.
Di arah kanan, kita menemui daya tarik industri pakaian dalam negeri lagi naik daun. Para-para yang main di Citayam itu, sebagian besar mengenakan busana hasil produksi dalam negeri. Gampangannya, Citayam Fashion Week mendobrak pariwasata dan ekonomi.
Nah, kalau generasi muda-mudi Indonesia yang diwakali anak-anak yang nongol di Citayam Fashion Week hanya memikirkan tentang apa yang terjadi besok saja, lah terus, generasi muda mana yang mau memikirkan kondisi bangsa ini di masa yang akan datang? Apakah ini buntut dari kurangnya peran keluarga atau memang konsekuensi zaman yang digital? Entahlah.
Namun, jika masih begitu dan seperti itu terus, siapkah kita, sebagai generasi muda dengan agenda 100 Tahun Indonesia Emas 2045? Mengingat, kita sudah memasuki bulan Agustus, yang merupakan bulan di mana bangsa ini dimerdekakan oleh generasi muda. Lalu, bagaimana?
[…] Kita pada Penghakiman, Balasan Tulisan “Membincang Citayam Fashion Week” Membincang Citayam Fashion Week Kerupuk Memainkan Permainan Celia Sanchez Sang Bunga Revolusi […]