Memahami diri sendiri (introspection, muhasabah) merupakan cara ampuh untuk mawas diri. Adapun cara yang ditempuh secara duniawi yaitu dengan evaluasi yang berkaitan dengan urusan-urusan bisnis dan eventual.
Dan, secara spiritual-religius, yaitu dengan menunaikan shalat dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Tetapi, ada kegiatan lain selain evaluasi dan salat atau memanjatkan doa, yaitu menulis atau memahat aksara atau mencatat buah pikir.
Menulis. Adalah kegiatan bersepi dan bersemi dengan dialog-dialog yang telah kita alami. Dialog itu berupa pertalian diri dengan baca-bacaan yang sebelumnya kita telah bergumul dengannya. Berangkat dari membaca buku dari satu buku ke buku lainnya, akan menambah kelincahan jari jemari kita dalam menulis.
Ihwal di atas kiranya akan menjadi tong kosong berbunyi nyaring bilamana kita tidak segera “merapikan tempat tidur” dan segera menulis. Namun, tetap ada saja ganjalan yang selalu menghalangi, misalnya: kehabisan kata, kesulitan merangkai kata yang kemudian menjadi kalimat yang bagus dan sip, dan rasa malas atau malas gerak (mager).
Dengan berusaha sekuat hati dan pikiran untuk menulis kita akan lebih memahami diri kita, bahwasannya kita ini tidak bisa apa-apa dan payah. Kepayahan diri tatkala menulis diilhami oleh seorang Joko Priyono, seorang fisikawan partikelir.
Dalam prakatanya di bunga rampai bertajuk Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan terbitan Buku Revolusi (2021), ia mengungkap bahwa dengan menulis kita yang amat kecil ini memiliki banyak keterbatasan.
Menurutnya, menulis adalah sebuah jalan sunyi dan panjang sebagai sebuah upaya untuk mencari makna dan hakikat dalam sebuah kehidupan yang amat luas ini. Hidup pada akhirnya merupakan jalan panjang yang tidak terkira dalam menafsirkan realitas dan membuka tabir demi tabir di dalamnya.
Ia membutuhkan keberanian untuk menyangsikan, kemauan untuk bernalar, dan terus mendayagunakan akalbudi. Juga, menulis merupakan upaya dalam mengikat pengetahuan tentang ilmu pengetahuan. Yang itu, berawal dari pembacaan dan pengkajian terhadap literatur, diskusi di forum-forum intelektual, maupun pembacaan demi pembacaan atas berbagai realitas yang ada.
Apa yang diungkap di atas haruslah kita Amini dan kemudian renungkan! Karena, sekalipun kita ahli pikir dan dapat berfoya-foya di atas perkataan dan kumpulan argumen yang berangkat dari pengetahuan kita, kiranya itu hanya akan menjadi asap rokok yang berhembus dan menghilang secara perlahan di angkasa.
Memang, menulis merupakan ekstra luar biasa—yang itu menjenuhkan dan dianggap orang awam (tidak paham), merupakan kegiatan yang membuang-buang waktu serta tenaga.
Apalagi, tidak menghasilkan rupiah secara instan—namun di kutub seberang, menulis ia lah cara agar kita tidak sombong dan dapat sadar diri bahwa keterbatasan kata dan kalimat yang kita tulis belum sepenuhnya benar, terlebih lagi elok dan indah untuk dibaca.
Dengan niat untuk menulis—sekalipun ilmu pengetahuan kita seluas dan sedalam lautan—tetapi masih membutuhkan waktu berjam-jam untuk membuka paragraf pertama, menulis akan membuat kita lebih kreatif utamanya dalam merajut kata dan kalimat.
Dalam menulis, pendayagunaan akalbudi begitu penting. Tetapi, kita tidak juga mengesampingkan niat atau nawaitu kita untuk menulis. Bukankah menjalankan segala sesuatu atau kegiatan mula-mula dan paling utama berangkat dari niat wabil khusus menulis?
Pertama, untuk memberikan suatu informasi dari sebuah pengetahuan dan diskursus dari suatu ilmu pengetahuan, serta suatu kejadian atau berita yang sedang terjadi yang sekiranya wajib untuk ditulis dan diinformasikan.
Kedua, memberikan pengaruh (sugesti) kepada sidang pembaca. Nah, dari pemikiran sang penulis agar mereka dapat terbawa oleh arus tulisan yang digemakan oleh sang penulis dan menyetujui opininya.
Ketiga, menulis sebagai instrumen dalam mengamalkan ilmu pengetahuan sekalipun kita tidak seorang guru maupun dosen yang mempunyai kekuasaan di forum ataupun kelas. Dan niat-niat lain mengapa kita harus menulis tentang apa yang seharusnya kita tulis. Setelah niat kita sudah tertata rapi, maka mulailah kita mendayagunakan akalbudi dalam kegiatan ini.
Dengan menggoreskan pemikiran, kita lebih “memfungsikan” akalbudi kita, toh kita (manusia) adalah makhluk berakal (homo sapiens). Karena ia, adalah anugerah dari Tuhan Yang Mahaesa.
Lebih-lebih, menurut Haidar Bagir dalam Mengenal Filsafat Islam (Mizan, 2020), ia menyampaikan bahwa akal adalah elemen penting dalam beragama. Dalam memahami agama—khususnya Islam—aspek rasionalistas harus kita kedepankan. Maka, sudah menjadi tugas kita untuk sampai kepada keimanan melalui pemikiran kita sendiri. (hlm. 73)
Begitulah. Ihwal memahat aksara merupakan kegiatan yang harus berkelanjutan (istiqomah) agar tercipta dobrakan pemikiran revolusioner yang diparcel dengan rapi dengan keindahan
kata dan bahasa. Sehingga, apa yang kita agendakan dapat diilhami dan disikapi oleh khalayak pembaca.
Karena mencatat membuat kita sadar dengan posisi dan seberapa bermanfaat kita di keluarga dan masyarakat.