Saat berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah quote menarik dari Kuntowijoyo: “Syarat menulis adalah tiga kali menulis.” Tergelitik rasanya saya saat melihat kutipan sastrawan Indonesia ini terkait syarat menjadi penulis. Sambil tersenyum sendiri dalam hati, saya mengiyakan hal tersebut. Memang benar, syarat menulis itu ada tiga. Yang pertama menulis, yang kedua menulis, dan yang ketiga menulis.
Sebuah tulisan adalah alat yang mampu mengubah pandangan seseorang. Bahkan, sebuah tulisan bisa menjadi kunci untuk memerdekakan bangsa ini. Bagaimana tidak, bapak-bapak bangsa ini, Bung Karno dan Bung Hatta, adalah sosok yang mempunyai pandangan yang luas. Mereka berdua adalah penyuka buku. Dengan itu mereka membawa gagasan keindonesiaan yang luar biasa melalui tulisan-tulisan mereka.
Bahkan sosok lain seperti R.A Kartini, dengan pemikirannya yang melampaui batas ruang, masih dikenang di Indonesia berkat tulisannya. Ada juga Ki Hadjar Dewantara yang melalui tulisannya, membawa gagasan pendidikan yang luar biasa. Jadi, dengan menulis, seseorang telah mengungkapkan gagasan dan ide-ide mereka.
Budaya literasi menulis yang kuat terdapat pada banyak tokoh bangsa ini, terutama di dunia pendidikan, di mana guru dan orang tua dapat menuangkan ide dan pemikiran mereka dalam tulisan yang nantinya akan menjadi berharga di kemudian hari. Bagi guru, menuangkan ide tentang pendidikan berarti menunjukkan kepedulian pada pendidikan itu sendiri.
Menulis juga merupakan salah satu fondasi peradaban, karena pemikiran, kisah, dan ide yang tertulis adalah sesuatu yang abadi dan tidak lekang oleh waktu. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Bahkan dari sudut pandang sejarah, tulisan adalah bukti otentik yang memberi tanda adanya suatu peradaban.
Dinding-dinding candi dan prasasti-prasasti berisi kisah menjadi bukti akan keberadaan peradaban tersebut. Kita bisa melihat kitab-kitab klasik Jawa yang menggambarkan peristiwa-peristiwa bersejarah. Bahkan para ulama terdahulu terbiasa mengarang banyak kitab. Yang lebih luar biasa, ketika mereka tidak sepakat dengan isi suatu kitab, mereka akan membantahnya dengan sebuah karya kitab baru. Bukankah mereka yang “alladzi allama bil qolam” mengajarkan melalui pena dan tulisan? Sementara itu, kita tidak selalu melatih anak-anak untuk mengungkapkan pendapat, ide, merencanakan masa depan, dan lainnya melalui menulis.
Menulis memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses peradaban manusia. Dalam kesejarahan, tulisan adalah perekam waktu yang mengabadikan gagasan, pemikiran, dan pengalaman manusia. Dengan kata-kata yang dirangkai, makna ditemukan, nilai-nilai diteruskan, dan visi masa depan diarahkan. Setiap tinta di atas kertas, setiap pen di tangan penulis adalah benang merah yang menghubungkan masa lalu, kini, dan yang akan datang. Oleh karena itu, menulis bukan hanya tindakan fisik, melainkan juga tindakan spiritual yang memelihara, merawat, dan merenda peradaban manusia, menjadikannya kunci untuk menerangi jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi dan tujuan kita di dunia ini.
Bukankah kemampuan literasi melalui tulisan mencerminkan kualitas anak-anak kita? Dengan istilah kemampuan abad 21, apakah anak-anak kita dapat mencapai tingkat berpikir tinggi yang mampu menganalisis pengalaman hidup, mengintegrasikan kompetensi, dan mencari solusi? Lebih lanjut lagi, apakah seorang guru hanya mendikte tulisan anak tanpa menghargai pendapat mereka tentang apa yang mereka lihat, baca, dan rasakan? Ya, menulis bukan sekadar menulis, tetapi mengajarkan dengan pena, mengajarkan berarti memberikan nilai pada kehidupan.