“Merokok Menyebabkan Kanker Mulut”
Itulah peringatan yang tertera di setiap bungkus rokok. Selanjutnya, kita akan berpikir bahwa rokok dapat menimbulkan penyakit.
Lantas, pertanyaan yang muncul adalah mengapa semua kalangan tetap membelinya? Apa yang membuat daya tarik rokok laku di pasaran?
Entah, ramuan apa yang diletakkan di rokok yang membuat mereka nikmat meghisapnya. Bahkan, kadang kala membuat orang kebingungan ketika satu hari tak menghisapnya.
Parahnya lagi dapat membuat seseorang tak dapat berkonsentrasi.
Barangkali, semua kalangan khusunya para dokter maupun mahasiswa kesehatan kerap kali mengkampanyekan untuk tidak merokok. Akan tetapi, semakin larangan itu hadir semakin banyak orang yang menghisap itu.
Mungkin peringatan dan larangan tradisi ala-ala negeri ini memang dibuat untuk dilanggar. Hehehe
Terlepas dari pada itu, ada yang menarik dari kisah nyata soal rokok. Bermuara di sebuah gubuk kecil, yang di dalamnya hanya menciptakan kontradiksi tak bertuah.
Sebut saja Gubuk Pengetahuan, berisi anak muda yang haus Ilmu. Setiap hari datang pukul 10.00 WIB dan pulang tak menentu.
Ketika sudah puas dan kepala sudah tak bisa menampung apa-apa, maka saat itupun mereka akan kembali dengan ekspresi muka yang beragam.
Terkadang juga ada yang sampai merelakan dirinya menginap di gubuk itu.
Suatu ketika ada satu orang di tempat itu bermuka murung tak seperti biasanya. Keheranan datang dengan tiba-tiba.
Apakah sedang putus cinta dengan kekasihnya? Setelah ditelisik kembali ternyata bukan soal itu. Mana mungkin pemuda yang memiliki kegigihan dan jiwa semangat berapi-api bisa galau.
Kembali dilakukan penggalian isu tentangnya. Eh, ternyata dia tak memiliki uang untuk merokok.
Ah sial, rokok mampu menyihir orang menjadi galau. Mau tak mau salah satu di antara mereka berinisiasi untuk berdonasi membelikan rokok.
Walupun lebih tepatnya iuran bukan donasi. Sebab, rokok yang akan dibeli nantinya digunakan untuk mereka semua.
Ada yang menyumbang Rp500, Rp2000 hingga Rp5000, yang penting ikhlas dan dapat membeli—itulah slogan mereka.
Bukan soal banyak sedikitnya uang yang terkumpul untuk membeli rokok, melainkan lebih dari pada itu.
Rokok sesungguhnya memiliki nilai sosial yang seharusnya dan semestinya menjadi pembelajaran untuk kita semua.
Dari penggalan cerita yang singkat itu, kita belajar untuk tidak antipati dengan sebatang rokok. Darinya kita mengetahui bagaimana menciptakan solidaritas untuk menciptakan nilai yang sama, kepekaan, dan menggalang massa.
Bukankah nilai tersebut yang diajarkan oleh gerakan sosial? Tanpa adanya nilai itu, gerakan akan mandek atau lebih parahnya dia akan musnah oleh zaman.
Ada lagi, apakah kawan-kawan sekalian pernah menemukan seseorang yang duduk di dekat kita, lalu menawarkan sebatang rokok? Padahal kita saja belum mengetahui siapa dia, dari mana dia.
Di sanalah semestinya kita belajar bahwa rokok mampu menyamakan status. Tidak ada yang kaya dan miskin, semua sama-sama menghisapnya tak pandang golongan.
Bahkan, terjadi diskursus berjam-jam hingga tak mengenal waktu. Atau barangkali satu bungkus musnah sekali duduk.
Apakah mereka menyesal akan hal itu? Berdasarkan pengamatan di lapangan, mereka menjawab “tidak”.
Jawaban mereka singkat, “rokok itu alat untuk bersilaturahmi”. Silaturhami merupakan awal untuk menciptakan solidaritas.
Sungguh, mendengar itu hati berdebar dan bibir tersenyum. Bukan nilai sosial saja yang hadir, melainkan,nilai agama pun terlibat di dalamnya.