Saya mengerti perempuan bisa menjadi seorang pejuang, pejuang kemerdekaan, aktivis politik, dan juga perempuan bisa jatuh cinta dan dicintai. Perempuan bisa menikah, memiliki seorang anak, dan menjadi ibu. Karena itu, revolusi juga harus memberi makna kepada hidup; setiap aspek dalam kehidupan. Kutipan ini masyhur di dengar, setelah tahun 48, pertama kali orang-orang Palestina terusir dari tanahnya, dihimpit dua negara besar, dan menjadi eksil hampir mencapai satu abad. Leila Khaled, ikon dari pejuang Perempuan Palestina, yang basis gerakannya adalah Popular Front for The Liberation of Palestina.
Ikon dan narasi yang dibawa oleh Leila Khaled, mendobrak batas teritori gender. Setelah peristiwa okupasi Israel yang dibantu oleh Inggris, Prancis dan Amerika, perjuangan di medan tempur seolah hanya miliki para lelaki. Di dalam front, sekalipun perempuan turut berjuang, mereka yang berada di barisan depan sebagai komandan hanyalah lelaki. Orang inilah yang pertama kali, secara tegas setelah pertama kali milisi Palestina dilatih selama 2-3 bulan menegaskan front perlawanannya sendiri.
Nyatanya perlawanan bukan hanya melalui senjata. Ada banyak usaha perlawanan melalui kesenian. Salah satu yang semarak digalakan dalam perlawanan Palestina adalah gerakan sinema pembebasan Palestina. Mustafa Abu Ali, sejauh ini adalah rekam jejak catatan awal sebagai penanda peristiwa sinematik. Pada tahun 1974, Mustafa bersama gerakan pembebasan membuat film berjudul They Do Not Exist (1974). Film ini menceritakan aktivitas harian orang-orang Palestina yang berada di wilayah pengungsian Lebanon. Kendati secara umum, film ini belum menyorot secara penuh fokus utama pertistiwa terhadap perempuan.
Aktivitas kesenian film di Palestina, pada akhirnya menarik banyak filmmaker luar. Sebagian besar yang turut terlibat adalah Jurnalis Timur Tengah yang bertugas meliput konflik di Palestina. Salah satu sineas yang penting, dengan pengaruh estetika dan politiknya, antara lain adalah Jean Luc-Godard. Sineas eksperimental asal Prancis yang banyak mempengaruhi pemberontakan Estetika dan Industri perfilman Prancis. Godard bersama dengan timnya, menjalin projek Kerjasama dengan PLO untuk membuat kelas perfilman, kendati kelas ini dilaksanakan di Lebanon. Setelah pengaruh interaksi sinema Palestina dengan sineas luar , perkembangan film-film Palestina semakin berkembang. Meskipun yang melakukan eksperimen di luar orang-orang perfilman masih ada, seperti para Jurnalis luar Palestina.
Dalam konteks isu keperempuanan, Sutradara dan Jurnalis Lebanon Jocelyn Saab, termasuk orang yang penting dalam perfilman Palestina, lebih khusus dalam film Dokumenter. Film yang berhasil menyoroti aktivitas keperempuanan, dalam tugas milisi maupun beban ganda yang dirasakan ketika seorang ibu menemani anak-anak kecil. Film itu berjudul Palestinian Women (1974). Film ini menyorot tokoh utama Leila Khaled, dalam bentuk dokumenter, ketika tokoh pentolan perempuan PLO ini mulai membentuk milisi dan menjalankan proses pembebasan perempuan yang akan terus berlanjut tanpa akhir. Baik dalam milisi maupun aktivitas rumah tanggga.
Saya ingin menampilkan gambar-gambar, yang saat itu jumlahnya sangat sedikit, tentang para perempuan pejuang Palestina di Suriah. Kita membicarakan hal ini sebelum kunjungan Sadat ke Israel, dan oleh karena itu situasinya sangat tegang. Saat saya sedang mengedit film di kantor Antenne 2, Paul Nahon, yang saat itu menjabat sebagai kepala departemen editorial luar negeri, mencengkeram kerah baju saya dan melemparkan saya keluar dari ruang penyuntingan. Perempuan Palestina dimasukkan ke dalam freezer dan tidak pernah ditampilkan di televisi.” Kata Jocelyn Saab dalam wawancaranya dengan komunitas sinema.