Tidak terasa, sore hampir berakhir dan malam mulai menyambut, kami sudah berada di Probolinggo. Satu hari perjalanan dengan sepeda motor akhir hayat yang tak lepas dari mogok membuat kami hanya menempuh 112km.
Menurut maps, sebenarnya bisa ditempuh dalam 1 jam 33 menit, dengan catatan motornya harus sehat walafiat loh ya, hehe.
Kembali ke nasib kami, kami memutuskan beristirahat dan bermalam di Probolinggo.
“Di mana kita akan beristirahat?, Tanya Turnip.
“Di mana saja asal ada tempat sedikit aman dan nyaman. Di situlah kenikmatannya kawan” sautku balik.
“Ada ide nggak?”
“Gimana kalo di alun-alun?” Turnip menyambar pertanyaanku.
“Oke, kita coba ya….”
Kami mengarahkan laju motor ke alun-alun Probolinggo.
Saat sampai di sana, tampaknya ramai dan tidak ada tempat istirahat sesuai kriteria kami; nyaman dan bersahabat. Oke, anggap saja jadi referensi, kita coba lihat tempat lain.
Kali ini aku yang menawarkan ide. “Di maps, ada pantai pelelangan ikan sekaligus tempat pelabuhan. Sepertinya menarik istirahat di sana sembari berwisata menikmati angin malam pantai.”
Kami sepakat, motor pun kembali melaju. Kira-kira 40 menit lamanya perjalan ke sana. Akan tetapi, karena hanya bermodalkan maps, kami berputar-putar di tempat asing itu.
Belum sampai di tujuan, motor pun lagi-lagi mati mesin. Kami turun dan memeriksa keadaan.
Kali ini bukan persoalan mesin, tapi habis bensin. Oalah … maklumlah motor tidak punya indikator bensin. Nikmat perjalanan mana lagi yang kau dustakan kawan!?
Motor pun kami dorong untuk mencari pom bensin atau eceran. Lumayan jauh juga kami mendorong, akhirnya menemukan penjual bensin eceran. Bensin diisi, duit berkurang, motor pun hidup kembali.
Akhirnya, sampailah kami di tujuan pantai pelelangan ikan. Badan terasa lelah menempuh perjalanan dekat tetapi dengan waktu yang lama, ditambah lagi emosi terkuras. Di pinggir pantai kami memarkirkan motor dan beristirahat.
Perut mulai keroncongan pertanda nasi tadi pagi sudah diolah habis, harus diisi kembali. Kami mencari warung terdekat lalu menyantap lahap. Lagi-lagi, duit yang sedikit semakin sedikit. Beruntung rasa kenyang mengabaikan kondisi itu.
Kami kembali bergerak mencari tempat istirahat sesuai tujuan awal. Melihat ada kapal nelayan yang terparkir di bibir laut, kami mendekatinya. Tidak ada orang di situ. Kami santai terlebih dahulu menikmati angin malam sembari memaknai perjalanan.
Kami turun dari motor lalu berjalan melihat nelayan sedang menebar ranjau kepiting. Seru juga. Jarang-jarang. Sssuihhh sshhzouhh…. suara angin mendesing.
Ditemani angin pantai yang mulai kencang, kami melihat seseorang berambut keriting dan berkulit gelap mendekati kapal nelayan tadi. Kami pun menghampirinya lalu berbincang. Ternyata beliau awak kapal nelayanan yang sedang parkir itu.
Segera kami memasang muka bersahabat, lalu menanyainya.
“Halo, kawan! salam kenal.”
“Kamu tinggal di kapal itu kah”
“Halo bung, saya awak kapal ini, biasa tidur di kapal ini kawan, sendiri”, katanya.
“Wah seru ya tidur di dalam kapal, tidak bahaya kah? Atau dingin?” Tanya kami lagi.
“Oo tidak kawan, kapal itu punya bagian khusus awak kapal yang sudah didesain anti air dan angin.”
“Oo gitu yaa keren keren, kami lontarkan pujian bercampur harap.”
Perbincangan itu lalu berlanjut bercerita perjalanan kami hari ini. Kami menanyakan apakah kami bisa istirahat bersama di kapal.
“Aaa boleh saja kawan, saya juga sendiri toh, sementara kamar awak kapal luas. Kita bertemu ini bukan kebetulan”, jawabnya
“Tidur di sini saja sudah” tawarnya pada kami.
Tanpa pikir panjang kami jawab “oke baik….” dengan muka sumringah. Lalu menitipkan motor di parkiran pelabuhan agar aman.
Malam itu, kami saling bercerita panjang di tengah kencangnya angin pantai di luar sana dan hangatnya kamar awak kapal.
Kawan baru kami ini ternyata berasal dari Merauke, Papua, namanya Bung Roma.
Biasanya kapal akan berlabuh setiap tiga bulan sekali mengikuti iklim dan musim panen ikan. Beberapa bulan lalu dia berlayar menangkap ikan dan kini waktunya kapal bersandar di Probolinggo.
Biasa ketika kapal bersandar, para awak kapal akan mencari penghasilan tambahan dengan menjahit jaring ikan, memperbaiki kapal, bantu-bantu di tempat pelelangan ikan, dan berbagai aktivitas lain.
Kami cukup antusias mendengarkan hingga tengah malam mata mulai mengantuk. Satu persatu izin untuk tidur. Kami terlelap pulas. Sungguh penginapan terbaik tak berbayar.
Hingga pagi menjelang, tepat jam lima pagi kami bangun menyaksikan sunrise dari atas kapal nelayanan pinggir pantai. Nikmat yang tidak terpikirkan sebelumnya, tapi disediakan oleh-Nya. Bersambung….