Berikut kumpulan Puisi Karya Intan Anugrah Bathari
Satu Porsi Perasaan
Kita duduk di kedai Kota Batu
Kau minta satu porsi rujak sebagai menu pesananmu
Aneka sayur mewakilkan daftar tanya untukku
Pedas-pahit rujak sayur menggambarkan rasa yang pilu
Rasa resah ikut menjelma, tak berhenti berdebur
Kita duduk di kedai Kota Batu
Aku memberi es serut pelangi sebagai jawaban dariku
Dengan taburan maaf- khilaf dan rindu
Air bening menjadi tangis yang bermukim di pipimu
Kutawaran permen gula yang semestinya mendatangkan hibur
Kita duduk di kedai Kota Batu
Kini hanya ingatan luka yang tertinggal di piringmu
Bibirmu belepotan bumbu dengan milyaran kecewa bertalu-talu
Kutawarkan sapu tangan dari serat kenangan yang kita anyam dahulu
Hening. Telaga bisu menjelma, adalah jawaban akhir untukku
*****
Hikayat Perawan Tua
/1/
Tatkala gerimis menyiram lereng bukit,
Berdansa manja dengan prajurit angin,
Bersikukuh merengkuh tubuh gubuk petani
Dalam naungan hawa politik, juga masih pengaruh pandemi Covid,
Harapan selalu menyapa dari dinding ilusi,
Memaparkan keinginan dari sepokok kemaluan
Mendongengkan. Seorang perawan tua,
Mengikatkan jejak di kaki bukit, melukiskan tali kebosanan
Menolak lemas terpaan badai kehidupan
Matanya sayu memikul beban- pikiran
Bukan tentang pandemi Covid, tapi tentang tanggungan bacotan
Saban hari kenyang, memakan gerigi jiran,
Memahat luka di palung perasaan
/2/
Tatkala senja tergolek mencium langit
Datang merayu mentap menggelitik
Terpampang ayu- molek di atas langit
Dalam sistem kehidupan yang tak pernah ganti,
Pilih sembunyi atau siap dicaci berjinjit
Menyandang bulir status, tanpa kenal kredit pinjaman\
Meratapi. Tertahan hawa sesak di dada
Menahan panas bising di telinga
Mengharap resah revolusi diri tahunan
Kerutan sedih tertanam di pelupuk Bapak dan Emak
Menatap buah hati yang tercakar ocehan
Tentang si Anak peyandang perawan tua
Lupus, lemas ditundung usia
*****
Alunan Rindu
Nun jauh dalam usiaku, kurangkai sajak ini dilekuk kegaduhan negeri
Kurapati rasa dari setiap ruh kata yang akan terus mengalir
Bersama menggubah cerita sederhana
Bercerita tentang pokok angin dari dunia luar
Rungu, setia tersemat di setiap deru cerita
Berdua menggelar tawa, kala senja merintis hujan
Bertatap lembayung tua, tersipu menetap singgah
Manikmu menatap sayu. Berbicara, kelak kau akan menjadi nampan dari piring-piringku
Pelipur berjanji, “Aku akan selalu ada kala hujan turun dari pelupuk matamu”.
Kembalilah menuntun raga, melepas jerat nadi yang telah mengurat
Terima kasih sempat menyisih waktu, untukku menyemat ruang,
Hingga akhir, menggulung bait aksara dari setiap pijakan kisah
Mengingatmu, teringin terus menggulir dan menanam benih-benih waktu
-Di sana, terbesitkah alunan rindu?
*****
Rapuh
Aku meragi pagi sendiri
Ku hantam juga sepi dan dingin
Yang sebenarnya berada dalam pikiran dan hatimu
Aku meragi pagi sendiri
Ku terjang gerimis dan kubenamkan gigil
Tanpa payung dan anggaran, bertelanjang aku lari menuju rumahmu
Aku meragi pagi sendiri
Kini gerimis yang beriringan suara pantofel kian menjadi
“Jangan lewat jalan ini! Bangsat!” seruan keras di telingaku yang rapuh
Pagi yang telah kuragi sendiri
Mengantarkanku hingga ke hilir hari
Kuletakkan surat ini tepat di pintu rumahmu yang tak berdebu
Pagi yang telah kuragi sendiri
Membawamu tuk melihat surat cinta dan rinduku tentang keadilanmu
Kau ambil suratku, kau letakkan di bawah bantal, hingga akhir selalu saja begitu
*****
Ketidakwarasanku
Di batas kedipku yang lusuh
Inginku bermukim di keningmu
Mengupas peristiwa demi peristiwa
Dalam runguku yang rapuh
Inginku singgah di telingamu
Menelisik suara demi suara
Dengan tubuhku yang penuh peluh
Inginku menetap dalam ragamu
Menikmati senyummu di belantara yang rimbun
Aku bermimpi dalam jiwaku
Aku hanyut di telaga bisu dalam rupamu
Aku menikmatimu, kau menerima ketidakwarasanku