Menjelang Pemilihan Umum, media sebagai pilar dari Demokrasi diuji kematangannya. Kematangan pemahaman, mengolah isu, dan menjadikannya sebagai bahan layak konsumsi untuk Publik. Dalam ilmu pengetahuan Jurnalisme Politik, bahan layak konsumsi hari ini, ditengarai lebih banyak didominasi oleh Politainment. Segala sesuatu yang bersifat politik, keluar dari khittah tukar gagasan, dan cenderung membahas isu yang cenderung tinggi sensasinya.
Remotivi pernah mencatat isu-isu berikut: Sentilan Adian Napitupulu Sebut Projo Panik hingga Deklarasi Dukung Prabowo, Fahri Hamzah Vs Rommy PPP Debat Panas soal Pengkhianatan, Tanda Jokowi Dukung Prabowo Semakin Terlihat. Inilah jenis-jenis Berita Informasi yang berjenis Politainment. Berdasarkan catatan Stromback, salah seorang pakar Politik dari Amerika, sebab dari semaraknya berita-berita demikian adalah terjadi karena kombinasi antara pergeseran budaya kampanye politik dan semakin komersilnya industri media. Belum lagi jika bicara tentang, siapa menguasai media apa.
WatchDoc menyerap limbah, mengolahnya, mendaur ulang, menjadi handmade yang baik dari produk Jurnalistik. Program serialnya menjelang pemilu sudah muncul. Kali ini, serial Sexy Killers. Mulanya program ini bukan program serial, melainkan program film dokumenter (movie) yang hadir pada tahun 2019 lalu menjelang Pilpres. Film ini pertama kali keluar, guna membuka kanal informasi calon Capres-Cawapres, sumber dana pendukungan, dan siapa sebenarnya mereka dalam parlemen atau dalam dunia kerja mereka sendiri, selain sebagai politisi. Misalnya dalam film ini, tim mampu memberikan fakta naratif dan relatif mudah diterima oleh Masyarakat tentang jejaring pengusaha tambng Batu Bara yang berada di Pemerintahan.
Pada tahun ini, berdasarkan riset yang dilakukan Remotivi berita sensasi politik media-media semakin tinggi. Keberadaan Sexy Killer hadir kembali dalam bentuk Movie tapi dalam serial berkelanjutan. Tema pertama yang diagkat dalam serial ini, adalah Sejarah Pemilu dan Demokrasi Indonesia. Berbeda dengan karya-karya WatchDoc sebelumnya, yang cenderung menggunakan metode subjek dalam kamera, Watchdoc dalam judul serial pertama ini lebih menyorot kepada pendekatan narasi sejarah. Rentang sejarah pemilu di Indonesia, dalam konteks partisipasi aktif parlement, sejak era 55, semasa Multipartai, sampai pada era ketika Kaesang berdiri sebagai ketua PSI. Konteks ini, barangkali coba Watchdoc terjemahkan guna kepentingan memberikan angin segar dalam tumpukan sampah berita politik.
Film ini menjadi acuan paling sederhana, di tengah bising dan arus informasi yang sangat cepat. Bagaimana menerjemahkan, secara proporsional, antara pemilu, partisipasi sipil, subjek politik kenegaraan, sehingga Pemilu tidak dilempar sebagai isu pasif yang membuat publik larut menyimpan harapan pada basis ketokohan. Demokrasi Tanpa Nalar. Konsumsi informasi, media dan keinginan untuk menerjemahkan ulang, dengan cara memberi jeda, berpikir dan memilah frame yang cocok dalam serial Watchdoc, sepertinya menjadi patut dipertimbangkan oleh siapapun partisan nanti, khususnya adalah partisipan dari media. Katakanlah ini menjadi pintu pembuka Demokrasi dengan segala keburukannya, sekali lagi!